Sudah sebulan berlalu sejak kembalinya Dasa dari ‘antah berantah’. Rahardi memutuskan untuk tetap merawat Dasa di rumah. Kondisi mental Dasa mulai membaik, meski berbanding terbalik dengan fisiknya. Vonis dokter terbukti. Dasa mengalami kelumpuhan. Yang bisa dia lakukan hanya mengedip. Bahkan, untuk bernapas pun ia masih dibantu kanula nasal.
Mengenai kondisinya sekarang, Dasa menerimanya dengan lapang dada. Ia memasarahkan semuanya pada Allah. Ia tidak ingin menggugat apa-apa lagi. Bahkan di tengah-tengah ketidakberdayaannya sekarang, Dasa luar biasa bersyukur. Mungkin manusia memang harus diempaskan dulu baru bisa sadar, betapa nikmatnya hidup yang selalu saja membuatnya gagal puas.
Apalagi sekarang, orang-orang terdekatnya malah mencurahkan semua perhatian untuknya. Bahkan kamarnya selalu ramai tiap hari. Gerald, Junior, serta Ramon dan kawanannya selalu menyempatkan diri ‘mengganggu’ Dasa. Sejak kondisi Dasa stabil, kamarnya memang jadi main monopoli atau PS.
Seperti hari ini, saat Dasa baru beberapa menit tertidur setelah sakaw semalaman, teriakan Junior menyentaknya.
“Eh, giliran gue lah!”
Dasa terbangun kaget. Kepalanya menyentak, dan jantungnya berdebar.
“Das, lo kebangun?” Windu yang duduk di samping tempat tidurnya bertanya.
“Ada yang sakit nggak?”
“Telinga gue sakit.” Dasa menjawab dalam hati, sambil berharap dengan begonya kalau Windu bisa mendengar suara hatinya.
“WAH, LU JANGAN CURANG!”
Dasa tidak tahu itu suara siapa. Ia menutup matanya dengan bergumpal-gumpal kekesalan.
“Mereka ribut banget, ya?” Windu bertanya lagi.
“Iya.”
Saat Dasa membuka mata, Windu sudah tidak ada di sampingnya. Windu sudah melangkah menghampiri Gerald, Junior, Ramon, dan Komar yang sedang main monopoli.
“Guys ....” Windu merapatkan telunjuknya ke bibir sebagai isyarat bahwa mereka tidak boleh ribut.
“Dasa baru tidur beberapa menit lalu. Semalam nggak bisa tidur lagi,” ucap Windu pelan.
“Elu sih, Jun.” Komar menyiku Junior yang duduk di sebelahnya.
“Eh, Bang Komar tuh yang suaranya gelegar,” sahut Junior tak terima.
“Eh, udah!” Ramon menengahi. Suaranya yang kalem dan terkesan dingin membungkam Junior dan Komar.
Windu menghela lega. Ia kembali duduk di samping tempat tidur Dasa. Mata Dasa sudah terpejam lagi, tapi keningnya mengerut.
“Apa yang sakit, Das?”
Dasa membuka mata. “Tadi gue kebangun gara-gara kaget. Makanya pala gue sakit banget.”
“Kepala lo sakit?” Windu mencoba menebak. Dasa menghela pelan sebelum mengedipkan mata sekali. Windu sudah bisa membaca isyarat kedipan dari Dasa. Kalau Dasa mengedip sekali, berarti ia menjawab ya. Kalau ia mengedip beberapa kali, berarti ia menjawab tidak.
Tangan Windu mulai bergerak memijit kepala Dasa. Rasanya nyaman.
Dalam kondisi seperti itu pula, Dasa baru menyadari betapa nikmatnya hidupnya selama ini. Dia bisa melakukan apa pun dengan alat inderanya. Bisa menikmati rasa makanan dan minuman, bisa pergi ke mana saja dengan kaki, bisa bernapas dengan normal ....
“Lo demam lagi. Bentar, gue ambil kompresan.”
“Maafin gue, Du.”
Windu bergerak cepat mengambil handuk dan air hangat, mencelupkan handuk itu ke dalam air hangat, memerasnya, lalu meletakkannya di atas dahi Dasa.
“Mau gue panggilin Mama atau Papa, nggak?”