“Mi, umi kakak ingin main.” Ujarku sambil menarik bajunya umi, umi menatapku dengan dingin lalu pergi meninggalkanku.
“Mi?...” tanyaku sambil mengikuti umi, aku mendekatinya lalu mengambil tangannya umi, umi menatapku dengan dingin lalu menepis tanganku. “Main sama temanmu atau adikmu, umi tidak punya waktu untuk bermain denganmu.” kata umi sambil pergi meninggalkanku lalu melihat hpnya, aku terdiam tidak mengatakan apa-apa dan menatap ke bawah lantai.
Sambil memegang bonekaku dengan erat, aku pun keluar dari rumah, ada beberapa anak kecil yang sedang bermain dengan teman-temannya, aku mendekati grup anak-anak kecil yang sedang berbicara dengan teman-temannya. “Mau tidak main denganku?” tanyaku, beberapa anak kecil itu menatapku dengan sinis.
“Tidak boleh, pergi sana!” seru salah satu anak tersebut, aku hanya mengangguk kecil lalu pergi meninggalkan mereka dengan wajah lesu, aku duduk di sebuah kursi lalu bermain dengan bonekaku.
Aku mulai merasa kesepian, aku berharap kalau ada seseorang yang menghampiriku dan bermain denganku, tetapi tidak ada yang menghampiriku. Aku menatap anak-anak yang mengusirku. Mereka kelihatan bahagia dengan teman-temannya mereka. Aku ingin punya teman. Kenapa tidak ada yang mau bermain denganku?....
Tiba-tiba, aku mendengar suara seseorang sedang menangis, aku pun berdiri dari kursiku sambil membawa bonekaku, kemudian mengikuti suara itu, aku menemukan anak gadis yang mempunyai rambut berwarna coklat tua yang sedang menangis.
Aku menghampiri anak itu kemudian menepuk bahunya, anak tersebut menoleh dan menatapku, matanya dipenuhi dengan air mata. Aku bisa melihat dua warna matanya yang berbeda. Dia pun membersihkan air matanya kemudian menatap mataku.
“Ada apa? Kamu kesini untuk menggangguku kan?...” tanya gadis tersebut, aku menggelengkan kepalaku lalu menggengam tangannya, anak itu menatap tangannya yang sedang digengamku lalu memandangku, aku hanya tersenyum kecil.
“Aku ingin jadi temanmu!” seruku dengan nada bahagia, matanya membelak, dia menatapku dengan bingung. “Kenapa kamu ingin menjadi temanku? Aku kan punya dua warna mata yang berbeda.” tanya gadis tersebut.
“Menurutku, matamu itu keren! Beda warna lagi! Aku ingin punya mata seperti kamu! Cantik dan unik!” sahutku dengan senyuman yang manis. Wajahnya hanya memerah, dia pun mulai menjadi malu.
Aku hanya cekikikan saja melihat gadis itu salah tingkah. Dia memasang wajah cemberut lalu memalingkan wajahnya.
“Tidak pernah dapat pujian ya?” tanyaku, dia hanya mengangguk saja. Mukanya masih memerah. Aku pun mengelus kepalanya.
“Oh iya, namamu siapa?” tanyaku, dia menatapku lalu membuka mulutnya. “Putri... kalau kamu?” tanya Putri aku pun hanya tersenyum.
“Namaku Nufail! Senang bertemu denganmu Putri!” cakapku dengan bahagia, tersimpul sebuah senyuman manis di bibirnya Putri.
“Mau main petak umpet?” tanyaku, Putri mengangguk. Kita pun mulai suit dan Putri kalah. Dia pun menutup kedua matanya dengan tangannya. Aku pun mulai mencari tempat bersembunyi. Aku bersembunyi di dalam sebuah rumah yang tua.
Sambil menunggu Putri menemukanku, aku pun memeluk bonekaku dengan erat. Aku mendengar Putri sedang mencariku sambil memanggil-manggil namaku. Aku hanya mesem sambil cekikikan.
Tiba-tiba...
“Ketemu!” seru Putri sambil menangkapku. Aku pun terjatuh ke lantai, Putri juga ikut terjatuh. Kita menatap satu sama lain lalu tertawa.
Kemudian...
BEEP! BEEP! BEEP! BEEP! Terdengar suara alarm yang berbunyi. Aku pun membuka mataku secara perlahan lalu memerhatikan alarmku, aku mematikan alarmku lalu menatap plafon.
Aku mengambil bantal lalu menaruhnya diatas wajahku. Aku menyingkirkan bantal tersebut dari wajahku kemudian bangun dari kasurku dengan kepala yang pusing dan berkunang-kunang, dengan malas aku turun dari kasurku dan berjalan dengan lemas ke kamar mandi.
Setelah mandi, aku pun keluar dari kamar mandi lalu menguap. Ya tuhan, aku ngantuk banget. Aku pun bersiap-siap dan memakai seragamku lalu memasukkan barang-barang yang dibutuhkan untuk ke sekolah ke dalam tasku.
“Hallo Nuf, barusan bangun ya?” Tanya Putri yang tiba-tiba muncul di sampingku, aku hanya mengangguk lalu turun dari tangga. Putri menyusulku, aku mengambil makananku lalu duduk di lantai dan mulai makan.
Putri hanya memperhatikanku, aku menatapnya memberikan sinyal bahwa aku merasa tidak enak dia memperhatikanku makan, dia hanya mengiyakan lalu pergi dari pandanganku.
Aku berlanjut makan lalu menaruh piringku di tempat cuci piring, aku pergi ke kamar kedua orang tuaku, aku membuka pintu. Umi dan abi kelihatannya sibuk dengan pekerjaannya.
“Mi, abi, kakak pergi ke sekolah dulu ya.” ujarku, mereka berdua hanya mengangguk saja, aku pun menutup pintu kemudian pergi keluar dari rumah dengan menundukkan kepalaku dan masuk ke dalam sekolah.
Sekolahku ada di samping rumahku, jadi sekolahku sangat dekat. Setelah masuk ke dalam sekolah. Aku pun berjalan ke tempat dudukku kemudian menaruh tasku di bawah meja.
Sudah ada beberapa anak yang ada di sekolahku. Aku duduk di kursiku lalu menaruh kepalaku di atas meja dan menutup mataku secara perlahan, aku pun tertidur.
“Oi Nuf!” seru seseorang sambil menepuk bahuku dengan keras, aku bangun dengan kaget lalu mendongak ke sampingku, Rizki ada di sebelahku sambil tersenyum, aku menatapnya dengan sinis. Dia mundur sedikit.
“Jangan begitu dong Nuf aku kan cuman ingin menghampirimu.” Aku hanya memasang muka datar dan menatapnya dengan dingin lalu menaruh kepalaku di atas meja. Rizki mendengus dengan kesal.
“Ish! Kamu ini. Kenapa sih kamu kayak gini terus?!” sahut Rizki, aku tidak mendengarkannya dan hanya terdiam. “Sudahlah. Terserah kamu lah.” Rizki pun menjauh dariku dan berbicara dengan teman-temannya. Aku menghela nafas yang panjang.
Angga mendekatiku lalu melambaikan tangannya di depanku. Aku mendongak, dia tersenyum aku mulai merasa tidak nyaman dan merasa senyuman itu palsu. Aku mulai merinding, Angga menatapku dengan bingung.
“Ada apa Nuf? Kok kamu kayak gitu?” aku masih terdiam, tidak berbicara apa-apa, dari dalam aku mulai panik tidak tahu mau mengatakan apa tetapi aku memasang muka yang datar lalu menatapnya dengan dingin. “Kenapa kok kamu menatapku dengan begitu? Aku kan sahabatmu.” Ujar Angga sambil tersenyum.
“Sahabat darimana? Kamu dari dulu buat candaan kenapa aku harus mati meskipun sudah dibilang berkali-kali kalau aku tidak suka digituin” batinku di dalam hati dengan kesal, aku menatapnya dengan senyuman palsu meskipun aku merasa kesal dengan Angga, Angga tersenyum balik. Seseorang memanggil Angga, Angga menoleh lalu menghampiri Azra dan bercakap dengannya.
Aku menghela nafas dengan lega, akhirnya Angga tidak menggangguku lagi, laki-laki itu benar-benar menyebalkan, kenapa sih aku setuju jadi sahabatnya? Aku benar-benar orang yang bodoh.
Tapi.... Aku tidak mau meninggalkannya begitu saja.... Aku tidak mau menyakiti perasaannya... Ahhhhh! Mengapa sih aku harus mempunyai empati yang besar?! Benar-benar menyebalkan aku benci diriku sendiri!
“Nufail!” tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang, aku menoleh ke belakang dan melihat Hanif yang sedang memelukku, aku hanya tersenyum kecil. “Oh, Hanif, ada apa?” Tanyaku, dia melepaskan pelukannya
Hanif merupakan sahabatku di sekolah, yah, satu-satunya orang yang kuanggap sebagai saudara dan temanku sendiri. Dia selalu membuatku merasa aman dan aku selalu senang setiap kali dia ada di sekitarku.
Tiba-tiba Hanif langsung melepaskan pelukaknku san menggoyangkan tangan sekaligus mengusap tubuhnya.