"Ifone, ini aku bawain kamu jus apel. Persis kayak yang kamu suka," Raymond, si raja gombal kembali mendatanginya pagi ini sambil berlutut di depan gadis yang ia puja dan berlagak seperti seorang pangeran yang sedang mempersembahkan sebuah hadiah kepada putri raja.
Belum sempat Ifone menjawab dan menerima pemberian pemuda itu, Adrian, teman SMA-nya dulu, datang, duduk di sebelahnya dan menyodorkannya sebuah sundae stroberi yang juga sangat ia sukai. "Pilih mana? Dia atau aku?" Adrian mengerling padanya dengan genit.
Ifone menggeleng-gelengkan kepala tak percaya akan sikap kedua pemuda yang terus bersaing mendapatkannya. "Hei, kalian nih. Bisa nggak sih berenti?" Ia berdecak kesal. Ia berdiri dari kursi besi yang ia duduki sambil bergantian memandang mereka. "Lagian aku nggak akan pilih kalian berdua. Aku cuman mau pilih apa yang kalian bawa buat aku." Secepat kilat kedua tangannya merebut jus apel dan sundae stroberi dari tangan kedua pemuda yang kemudian menunjukkan kekecewaan di wajah mereka. Tanpa berpaling ke belakang, Ifone pergi meninggalkan mereka.
Setelah berjalan beberapa meter dan merasa sudah jauh dari para pemuda itu, Ifone berhenti. Ia meletakkan gelas jus dan sundae di atas sebuah kursi besi yang ada di dekatnya dan mengeluarkan pulpen perekam yang selalu ia bawa di tas. Ditekannya tombol 'Record' dan ia berkata, "Itu baru Raymond sama Adrian. Belum yang lain. Kaya biasalah. Bakalan ada dua puluh orang lagi yang bakalan gitu. Thomas, Danny, Ricky, Jonathan, etece lah. Dan aku siap," ia mendesah, membiarkan desahannya juga terekam lalu menekan tombol 'Stop'. Ia memasukkan pulpen perekamnya kembali ke dalam tas dan mengambil jus dan sundae-nya lagi lalu kembali berjalan.
Pulpen perekam itu bagaikan buku diarinya. Ifone tidak pernah absen merekam setiap aktivitas atau kejadian yang baginya penting atau bahkan sangat tidak penting setiap hari. Ia ingin setiap langkah dan cerita di hidupnya tersimpan jika suatu hari nanti dibutuhkan, karena sampai saat ini ia tidak selalu bercerita tentang segala hal pada kedua sahabatnya. Masih banyak hal yang ia simpan sendiri di dalam pulpen perekam itu.
"Wooooy!!!!" Hana dan Bridgette, sahabat Ifone, membuatnya melompat terkejut ketika mereka muncul dengan suara yang terlampau keras.
Ifone tidak berkomentar tapi hanya mendesis dengan keras untuk menunjukkan rasa kesalnya pada mereka sambil memicingkan matanya.
Hana dan Bridgette tidak merasa bersalah atas tindakan mereka barusan tetapi justru tertawa terbahak-bahak.
"Fone, ini sundae pasti buat aku, kan?" kata Hana lalu mengambilnya paksa dari tangan Ifone yang memelototinya sekarang.