A Born Beauty

Yohana Ekky Tan
Chapter #3

Chapter 2

Kelas Pak Charles, Fonetik dan Fonologi, tidak selama biasanya karena beliau mendapat panggilan untuk mengikuti rapat dosen mendadak. Tentu saja hal ini merupakan hal yang paling disukai oleh mahasiswa, termasuk Ifone. Rencananya hari ini untuk mendaftar ke UKM Musik yang baru saja dibuka kembali oleh kampusnya dapat lebih cepat ia lakukan. Ia tak perlu lagi takut kehabisan kuota. Tanpa menunggu lama, sesaat setelah pak Charles keluar dari kelas, Ifone pun berlari keluar secepat kilat setelah memberi tahu kedua sahabatnya mengenai rencananya.

Gedung UKM [1] letaknya cukup jauh dari gedung kampus Ilmu Budaya. Ia membutuhkan waktu sekitar limamenit lamanya untuk sampai di sana. Namun perjalanan itu tidak menjadi masalahbaginya. Bahkan ia berpendapat bahwa masalah ada sebagai batu loncatan untukmencapai tempat yang lebih tinggi—impiannya. Di sepanjang perjalanan, senyumpun tidak pernah hilang dari wajahnya karena ia yakin bahwa kemampuannyabernyanyi dan bermain piano akan membuatnya langsung diterima.

Kerumunan orang merupakan pemandangan yang pertama kali Ifone lihat saat ia sampai di depan ruang UKM Musik. Beberapa di antara mereka pun terlihat berebut dan saling mendahului saat mengantre. Terlihat jelas sekali bahwa mereka benar-benar menginginkan sebuah tempat di UKM Musik. Tidak heran mengapa mereka seperti itu. UKM Musik sudah seperti jalan menuju ketenaran. Gate of Rising Stars, begitulah cara setiap orang menyebutnya. Siapa pun yang menjadi anggota dari UKM Musik, walaupun posisi yang mereka dapatkan hanya sebagai penyanyi latar yang kelihatannya tidak penting, nama mereka sudah pasti menjadi pembicaraan seluruh mahasiswa.

Hanya saja, bukan itu yang Ifone inginkan. Walaupun ia tidak akan menolak untuk mendapatkan ketenaran, hal lain yang lebih penting dari semua itu adalah menunjukkan keberhasilannya pada orang tuanya. Ia yakin dapat meraih impiannya tanpa dukungan penuh yang seharusnya mereka berikan.

"Hei, kamu nggak ngantri?" Ifone merasakan tepukan ringan di bahunya, lalu berpaling dan menemukan seorang pemuda yang belum pernah ia kenal sedang memandangnya.

Ifone menaikkan alisnya. "Kamu ngomong apa?" tanyanya.

Pemuda itu mendesah kesal sambil memutar kedua bola matanya. "Udah ketelen," sahutnya sinis lalu meninggalkan Ifone yang terngaga mendengar responsnya.

"Orang aneh," Ifone menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. "Nyebelin banget. Awas aja kalo ketemu lagi. Nggak bakalan aku ladenin. Dasar cowok nggak sopan." Ia mengentakkan kaki kirinya karena kesal dan tak sengaja menjatuhkan salah satu buku modul yang belum sempat ia masukkan ke dalam loker.

Dengan gerak refleks, Ifone berjongkok untuk mengambil buku itu kembali. Namun bukannya memegang buku itu, tangannya menggenggam sebuah tangan yang sudah lebih dulu menyentuh bukunya. Akibatnya, ia terkejut dan jatuh terduduk ke belakang saat melihat seorang pemuda lain yang tidak ia kenal bertatapan dengannya dalam jarak yang begitu dekat.

"Kamu nggak papa?" Pemuda itu mengulurkan tangannya pada Ifone.

Sementara itu, Ifone dengan masih terduduk di atas jalan berpaving tak berkedip memandangi pemuda itu.

Sempurna adalah sebuah kata yang Ifone dapat gambarkan mengenainya. Iris matanya berwarna abu-abu, hidungnya mancung, bibirnya seksi, rambutnya lurus berwarna cokelat tua dan bergaya fauxhawx [2], model rambut kebanyakan selebritas Hollywood; benar-benar tidak dapat digambarkan dengan kata-kata.

"Halo?" Pemuda itu melambaikan tangannya di depan wajah Ifone dan membawanya kembali ke dunia nyata.

"Eh, iya. Maaf," Tak tahu apa yang harus ia katakan, Ifone hanya meringis.

Pemuda itu mengulurkan tangannya kembali dan Ifone menyambutnya. Dengan bantuan pemuda itu, ia berdiri kembali.

"Ini buku kamu," disodorkannya buku itu pada Ifone yang menerimanya sambil masih tersenyum.

"Makasih ya," Ifone berkata sambil mengangguk pelan.

"Ya udah. Lain kali hati-hati ya."

Dengan anggukan ringan Ifone menanggapi.

"Mm, aku harus pergi sekarang," kata pemuda yang mulai merasa ada yang lucu dengan sikap Ifone sehingga ia tertawa kecil. "Sampai ketemu lagi."

Ifone mengangguk dengan masih terbuai walau setelah pemuda itu pergi cukup lama. "Ganteng banget, sih?" Ia tersenyum sendiri. "Kira-kira namanya siapa ya? Aku kok nggak pernah lihat sih dia di sini sebelumnya?"

Begitu lama ia terbuai dalam khayalannya akan pemuda itu sampai pada satu titik ia terkejut dengan tingkahnya. Ia menggeleng-gelengkan kepala, lalu mengetuk-ngetuk dahinya dengan jari-jari tangan kanannya berkali-kali seolah untuk membuat dirinya sadar akan apa yang telah terjadi pada dirinya. Seumur hidup, ia belum pernah bertingkah seperti yang baru saja ia lakukan. Ia terheran akan dirinya sendiri.

Lihat selengkapnya