Angin melolong membawa wewangian Tuhan yang akan mengubah dunia selamanya. Jauh menuju sebelah barat daya dari Sevengard, saat suara biola menggemakan melodi abadi akan kerinduan yang teramat sangat, membangunkan dunia dengan nyanyiannya. Cahaya bulan medusa dan secunda yang perlahan-lahan sirna, meninggalkan ranting-ranting patah di musim panas yang sedang dalam asuhan mereka. Lautan putih nan luas di ujung sayap secunda dan suara deburan ombak pasang yang menghantam karang, kini telah mengantarkan dia kembali... kembali ke tanah Haven.
Daylan Walter memang baru tiba di kastil keluarganya yang terletak di ujung tebing beberapa bulan yang lalu. Dengan latar ladang hijau menghadap lautan luas yang menembus cakrawala, di bawah kastil itu terdapat sebuah kota yang padat dan terlindungi oleh tembok raksasa. Sore hari di kota itu jelas terasa begitu indah, karena kamu bisa melihat merahnya matahari terbenam, tenangnya deburan ombak yang menyanyikan nyanyian alam— teratur bagai partitur sebuah simfoni, ditemani dengan lembutnya semilir angin laut yang meraba-raba kulit halusmu di sepanjang pantainya, bayangkan jika ini terjadi padamu setiap hari!
Dari dulu, kota Haven memang menjadi daya tarik tersendiri bagi rakyat kerajaan Vanderhall karena keindahan kotanya, pantainya dan sumber daya lautnya. Di sana ikan laut sangat melimpah dan murah, hanya satu koin perunggu untuk satu ikan atau satu koin perak untuk sepuluh ikan dan satu koin emas untuk seribu ikan. Kerinduan inilah yang selalu dikenang Daylan saat pulang, karena bisa memakan segala jenis ikan di sini. Hal yang tak dapat dinikmatinya selama di Sevengard.
Diam, melamun— berdiri, memandang kaca. Ia sadar segalanya telah berubah. Jika tahun lalu, ia selalu memakai baju zirah yang kaku dan terasa berat di pundak, kini pakaian sutra yang di balut dengan warna merah dan emas benar-benar memancarkan kewibawaan sosoknya, ditambah rambut panjangnya yang tertata rapi sampai ke bahu, semakin menambah keanggunan sisi kebangsawanannya. Rambut panjang memang menjadi simbol tersendiri bagi para darah biru di kerajaan Vanderhall.
Tiba-tiba, suara ketukan pintu memecah kesunyian kamarnya.
“Tuan Daylan, apa kau sudah bangun?” tanya sebuah suara yang dikenalinya dengan baik dari balik pintu, itu adalah suara Giovanni, sahabatnya.
“Masuklah Bajingan, kau tidak perlu mengetuk seperti itu padaku.”
“Wow,” kata Giovanni menghampirinya lalu memeluknya bagai sahabat yang lama tak berjumpa. “Kau memang benar-benar berubah, Tuan Daylan, lihatlah dirimu yang sudah rapi di pagi hari.”
“Lima tahun menjadi prajurit di Sevengard benar-benar mengubah segalanya. Jika bukan karena keputusan kakakku, aku mungkin akan menetap di sana.”
“Yah! Tuan Samuel memang telah memutuskan bahwa beliau tidak ingin menjadi Adipati dua tahun setelah kau pergi ke Sevengard.” Giovanni kemudian mengangkat kursi, lalu membalikannya dan duduk di situ. “Jadi, bagaimana kabarmu, Tuan Daylan? Aku tidak melihat wanita di kamar ini, ada apa denganmu? Apa kau memang benar-benar berubah secara keseluruhan?”
Daylan tertawa. “Lucu sekali Giovanni, aku baik-baik saja dan yah, aku masih menyukai wanita, cuma aku rasa ini bukan waktu yang pantas mengingat isu anathema di timur, juga kepergian ayahku dan kakakku nanti siang untuk bergabung dengan pasukan maharaja di sana.”
“Apa kau percaya dengan isu itu?”
“Yang aku dengar hanya bangsa Pimea yang mulai banyak bermunculan di hutan Atyn, sedangkan Darkfiend belum terlihat sama sekali. Jadi aku pikir ini hanya perang biasa melawan para Darkwisp, bukan anathema.”
“Kau pernah lihat bangsa Darkwisp sebelumnya?”
Daylan menggelengkan kepalanya. “Kalau kau?”
“Aku pernah membaca bahwa mereka makhluk berkepala kucing, berkuku tajam dan berkulit hitam pekat dengan gumparan pasir yang berputar-putar mengelilingi tubuh mereka. Mereka tidak dapat berbicara, tidak dapat berpikir dan hanya memiliki satu tujuan saja dalam hidup mereka— untuk mencari delapan dewa yang di kubur Herra di pulau terkutuk Eimlaren dan mengkontaminasi dewa itu menjadi monster menakutkan bernama Darkfiend agar memimpin mereka menghancurkan dunia. Jika darah kita terkena debu pasirnya, aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi. Hanya membacanya saja sudah membuatku ngeri, apa lagi jika harus bertemu dengan mereka... hiiii...”
Giovanni memang benar, bangsa Darkwisp bukanlah lawan yang di anggap remeh. Walaupun mereka telah jarang muncul di dataran Era karena kemenangan yang terjadi setengah abad yang lalu saat anathema ke empat berakhir, bangsa Darkwisp masih menjadi momok yang menakutkan bagi penduduk Era. Khawatir akan perasaannya terhadap ayah dan kakaknya, Daylan mencoba menghilangkan pikiran-pikiran kusut yang mencoba mengukir di kepalanya itu— tidak mudah. Namun, dengan mengingat isu itu sudah pasti mustahil terjadi, itu cukup membuatnya merasa sedikit tenang. “Ngomong-ngomong, dari mana saja kau? Aku belum pernah melihatmu sejak aku datang ke sini.”
“Aku disuruh ayahmu menjaga desa Galian. Ada pembangunan pusat pembelajaran Faithry di sana dan ayahmu tak ingin jika ada para bandit yang memalak pembangunan itu lagi.”
“Ayahku memberi tahuku tentang pembangunan itu setahun yang lalu, aku pikir pembangunannya telah selesai.”
“Memang ada sesuatu yang tidak beres di sana, ayahmu sempat marah pada tuan Dillon karena tak kunjung selesai.”
“Tuan tanah Swanford?" tanya Daylan sambil mengerutkan dahinya. "Untuk apa beliau ikut campur dengan Galian?”
“Pembangunan tempat itu merupakan proyek kerajaan, makanya tuan Dillon juga ikut mengurusi proses pembangunannya. Tapi masalah itu sudah beres sekarang, karena itu aku disuruh ayahmu kembali ke sini. Bagaimana perasaanmu akan menjadi seorang adipati?”
“Yah, ehm! Tentang itu." Daylan mengelus-elus dahinya. "Aku belum menjadi adipati sepenuhnya.”
“Oh, ya? Aku dengar ibumu juga akan pergi meninggalkan Haven agar kau bisa menjadi adipati seorang diri di sini selama kepergian ayahmu membantu maharaja.”
“Aku tak tahu akan hal itu.”
“Coba saja tanya ibumu." Giovanni kemudian berdiri dari kursinya. "Baiklah kalau begitu, aku ke sini cuma berkata 'hai' karena aku juga baru sampai di sini, sampai ketemu nanti siang, tuan Daylan.”
“Ya.”
Setelah pintu kamarnya menutup, Daylan termenung memikirkan bagaimana aksinya jika ia menjadi adipati memerintah Haven. Apakah akan seru? Bagaimana jika malah gagal dan menghancurkan Haven? Mengapa ibu juga pergi? batinnya beryanya-tanya. Tampaknya, ia akan seorang diri mengurus keadipatian Haven. Ia memang telah belajar tentang ilmu sosial politik dan hukum semenjak ia kembali, ia memang siap, tapi ia tak pernah mengira akan secepat ini mempraktekannya.
***
Waktu berlalu begitu cepat saat suara derapan langkah kaki para prajurit Haven yang menyusun barisan di halaman depan kastil itu memecah keheningan. Suaranya, bahkan dapat menggema sampai keluar gerbang kastil, dan tepat di waktu matahari seperempat naik itulah seorang pria tua sepertinya tahu bahwa perjalanannya telah berakhir. Langkahnya saat mendekati gerbang benar-benar menarik perhatian penjaga kastil.
Menunduk, menyilangkan tangan di depan dada— penjaga kastil itu menunjukkan rasa hormat atas kedatangan pria itu, tak lama kemudian penjaga yang lain menghampiri dan melakukan hal yang sama terhadap pria itu.
Siapa orang itu? Mengapa penjaga mengawalnya masuk? Dari atas balkon kamarnya, Daylan tidak begitu jelas melihat wajah pria itu. Namun, ketika pria itu masuk menyusuri sela barisan prajurit, para prajurit menunduk hormat pada dirinya. Jelas dia orang penting, terlihat dari simbol di baju zirahnya yang membuat Daylan ingat pernah melihat simbol itu di suatu tempat.
Sesaat setelah pria itu masuk ke dalam kastil, tiba-tiba pintu kamar Daylan kembali mengetuk. Suara itu memanggil, “Tuan Daylan, Anda dipanggil ayah Tuan di ruang tahta.”
“Baiklah, sebentar lagi aku ke sana!” Daylan kemudian segera berbalik menutup pintu yang mengarah ke balkon, lalu pergi meninggalkan kamarnya. Ia menyusuri lorong yang mengarah ke ruang tahta yang terletak di lantai dua, tepat di tengah bangunan kastil. Kastil itu sangat luas, didominasi dengan warna biru— warna keagungan keluarganya, dan juga tinggi, karena selain terletak di ujung tebing, kastil itu juga memiliki dua menara yang menempel pada sisi kanan dan kirinya. Jika kamu melihat kedua menara itu dari kota Haven saat matahari ada di sisi barat, maka kamu dapat melihat pantulan cahaya matahari ke menara-menara itu membentuk bayangan huruf “W” di halaman depan gerbang kastil— Iya, kamu benar! Menara itu memang sedikit condong. Kastil tua yang sudah ditinggali oleh para leluhur keluarga Walter itu memang dibangun oleh tangan-tangan para jenius di masa lampau.
Daylan memasuki ruang tahta dari pintu samping, karena jarak kamarnya dengan ruang tahta sangat dekat jika ia masuk melalui pintu samping. Ketika akan masuk, ia sedikit terkejut melihat ayahnya bersama dengan tuan tanah Swanford, di dekat kursi tahta itu. Ia berpikir, Dari mana tuan Dillon dapat masuk? Karena semenjak tadi, saat ia melihat sekitar halaman kastil dari balkon kamarnya, ia tidak melihat tuan Dillon masuk. Mungkin hanya perasaannya saja atau ia yang kurang memperhatikan. Meskipun begitu, Daylan tahu bahwa ayahnya dan tuan Dillon adalah seorang sahabat lama, jadi tidak perlu terlalu dalam memikirkan pikiran-pikiran buruk akan hal itu.
Daylan segera mendatangi mereka.
“Tuan Daylan, sudah lama aku tak melihatmu, senang bisa melihatmu lagi," kata tuan Dillon menyodorkan tangannya.
“Aku juga, tuan Dillon!” kata Daylan membalas sodoran tangan itu.
“Jika saja Emerald ikut bersamaku dan melihatmu saat ini, mungkin saja besok ada perayaan besar-besaran di sini," lanjut tuan Dillon sambil melirik ke arah ayahnya yang diselingi dengan tawaan.
“Oh, kau harus berusaha keras untuk itu Djarot, putraku yang keras ini adalah burung yang bebas, butuh waktu lima tahun bagiku untuk mengembalikan dia ke sini. Herra memberkati hatinya.”
“Kau benar, Thomas!” lanjut tuan Dillon masih dengan senyumannya. “Seorang temperamental yang sesuai dengan kemampuan bertarungnya, kerja bagus, Thomas!” Tuan Dillon menepuk kedua tangannya. “Kerja bagus!" Kini tuan Dillon melirik ke arah Daylan. "Em! Tapi, tuan Daylan, kau mungkin harus melihat Emerald yang sekarang, aku yakin kau pasti akan suka dengannya.”
Daylan hanya membalas dengan senyuman canggung kala mendengar perbincangan bapak-bapak itu. Dari dulu, tuan Dillon memang berusaha menjodohkan dirinya dengan putrinya. Itulah salah satu alasan mengapa dirinya tidak begitu menyukai tuan Dillon. Ia memang pernah melihat Emerald sebelumnya, tapi gadis itu masih terlalu muda untuknya, dan ia tidak yakin hubungan itu akan berhasil. “Aaa ... ku yakin bukan untuk itu tujuanku kemari, kan?”