A Day in My Life

Ariny Nurul haq
Chapter #5

Telkomsel Award


Maret 2016.

     Kalau cewek lain biasanya bangun pagi, aku justru bangun siang karena dari jam 12 malam sampai subuh begadang menyelesaikan novel. 

    Pagi-pagi sekali mimpi indahku buyar karena ada panggilan telepon.

      “Aduh, siapa sih yang pagi-pagi nelpon aku? Ganggu aku tidur aja!” aku mengomel sendiri. Dengan mata terpejam tanganku meraba-raba mencari HP. Tak berapa lama HP telah berhasil digenggam. Cepat-cepat menekan tombol Answer. Aku sudah hapal pencetan tombol HP jadi tanpa melihat pun aku tahu letak tombol answer.

Halo, dengan siapa dan dimana?” sapaku sambil merem.

“Halo, Mbak Ariny ya? Kami dari wartawan Kompas TV dan MNC TV. Kami mau interview Mbak Ariny bisa?”

Mata yang tadinya merem langsung melek ketika mendengar interview wartawan tv. “Serius? Tentu saja bisa. Kapan rencananya mau interview?”

“Ini kami lagi ada di depan rumah Mbak Ariny. Kami dapat alamat rumah Mbak dari dinas sosial.”

Mataku melotot. Astaga, ini wartawan mendadak banget. Aku sama sekali belum melakukan persiapan. Jangankan persiapan, mandi aja belum. “Oke, tunggu bentar ya.”

Tuuut… tuuut

Aku memutuskan telepon. Lalu aku ngacir ke kamar mandi. Bukan untuk mandi, tapi hanya cuci muka dan gosok gigi. Aku itu mandinya sekitar satu sampai jam. Kasihan kan wartawannya nunggu lama di luar.  

Setelah selesai cuci muka dan gosok gigi, aku telepon Mama, kebetulan Mama dan Abah lagi nggak ada di rumah. Masa ada wartawan orang tua nggak ada di rumah? 

Selang lima menit Mama dan Abah datang, wartawan juga tiba.

Wartawannya itu ada tiga orang. Wartawan satu ciri-cirinya badannya kurus, wajahnya lumayan lah, putih sedikit, dan mengenakan kacamata. Wartawan kedua badannya agak gemuk dan alisnya tebal, diibaratkan artis dia mirip Ridho Rhoma. Sedangkan wartawan ketiga karakter fisiknya nggak beda jauh dengan wartawan satu.

Aku persilakan wartawan itu masuk ke rumah. Mereka duduk di ruang tamu. Wartawan satu dan tiga lagi sibuk menyiapkan kamera. “Mbak Ariny, kita ambil 3 take ya. Take 1, Mbak Ariny dorong kursi roda dari pintu sana sampai ke ruang computer. Take 2 Mbak Ariny mulai ngetik computer. Take 3, Mbak Ariny memasukkan buku-buku karya mbak Ariny ke lemari,” ujar wartawan nomor 2 menerangkan aturan main.

Aku jadi garuk-garuk kepala yang nggak gatal. Ribet juga ya ternyata. Tapi mau nggak mau harus kulakukan demi masuk televisi. Pertama-tama aku naik kursi roda dulu. 

“Oke, Mbak Ariny siap? Camera rolling action!” teriak wartawan nomor 1.

Aduh, berasa kayak syuting sinetron aja. Oke, aku mulai dorong kursi roda sendiri sampai ke ruang computer. Lalu perlahan-pelan turun dari kursi roda, dan mulai melakuka take 2 ngetik computer. 

Take 1-3 berjalan lancar tanpa harus melakukan pengulangan, sehingga dalam waktu 15 menit sudah berhasil dilakukan. Selanjutnya sesi tanya jawab. Wartawan nomor 2 yang kepoin aku. Sedangkan wartawan nomor 1 dan 3 sibuk megangin kamera.

Pertanyaan yang diajukan hampir sama seperti wartawan-wartawan lainnya. Mulai nulis dari tahu berapa? Sejak kapan menyadari bakat nulis? Novel pertama judulnya apa? Genre karya-karyaku itu genrenya apa? Kendala menulis apa? Alhamdulillah, semua pertanyaan sudah berhasil kujawab dengan lancar.

“Apa sih tujuan utama Mbak Ariny jadi penulis?”

Deg!

Pertanyaannya kali ini bikin aku galau. Aku bingung mau jawab apa. Ingin sekali aku menjawab pertanyaannya seperti ini, “Tujuan utamaku itu Arizal Ridwan Maulana, cinta pertamaku di Solo. Aku ingin bersatu dengannya.”

Tapi kuurungkan mengucapkan kalimat itu. Takutnya nih pacarnya Arizal nonton liputanku ini, terus hubungan mereka rusak gara-gara ucapanku. Nggak keren banget kan calon penulis kece merusak hubungan orang lain? Akhirnya aku jawab aja seperti ini, “Tujuan utamaku ingin menunjukkan bahwa penyandang disabilitas itu bukan lemah, bisa sukses dengan caranya sendiri. Aku ingin masyarakat nggak memandang kaum disabilitas dengan sebelah mata lagi.”

“Waw, keren jawabannya. Pertanyaan terakhir nih, apa sih harapan Mbak Ariny yang berhubungan dunia literasi yang belum terwujud?”

Aku mengambil novel Kau Begitu Sempurna. “Harapanku simple, aku pengen novel Kau Begitu Sempurna difilmkan. Terus pemeran utamanya Dude Harlino.”

Wartawan nomor 1-3 malah senyum-senyum sendiri. “Kenapa jadi pengen pemeran utamanya Dude Harlino?”

“Gini loh, di novel ini itu ada tokoh Mas Adit. Karakter mas Adit, sosok cowok dewasa, pengertian, penyabar, murah senyum. Aku rasa karakter Mas Adit ada di jiwa Dude Harlino.”

“Oh, gitu.”

Lihat selengkapnya