A Day in My Life

Ariny Nurul haq
Chapter #9

TVRI


15 September 2016.

Sejak aku diundang Hitam Putih, aku menerima undangan dari TV lokal. Hari ini jadwal hadir di TVRI. Acara ‘Panggung Prestasi Anak Banua’

Berapa lama lagi aku harus menunggu? Jika telat hanya 10 sampai tiga puluh menit, aku masih bisa memaklumi. Lah, ini sudah keterlaluan. Telat dua jam. Sebenarnya mereka niat jemput atau tidak? Jangan-jangan acaranya batal. Untuk memastikan dugaanku benar atau tidak, aku menelepon pihak TVRI.

Terdengar Ring back tone lagu Utopia ost. 7 Manusia Harimau.

“Hallo, Mbak Ariny. Maaf banget kami telat jemput, soalnya sopir khusus jemput bintang tamu ada acara keluarga.”

“Terus gimana dong? Aku nggak jadi dijemput?” tanyaku dengan nada tinggi.

“Mbak tenang ya, kami sudah menemukan sopir baru. Ini lagi di jalan menuju rumah Mbak Ariny.”

Klik. Aku memutuskan sambungan telepon. Fyuh ... menyebalkan. Kubuka blezzer sasirangan warna puschia. Panas. Setelah itu aku membuka laptop. Jarak antara Martapura dan Banjarmasin itu 1,5 jam, masih sempat jika aku gunakan untuk menghitung biaya cetak orderan hari ini. 

“Ririn ... tuh mobil jemputan TVRI udah dateng!” teriak Athiyah. Dia tak lain dan tak bukan adalah sahabat sekaligus asisten pribadiku yang paling setia.

    Aku bernapas lega. Pucuk dicinta ulampun tiba. Bergegaslah aku mematikan laptop dan kembali mengenakan blezeer.

***

Sepertinya tema hari ini adalah MENUNGGU. Tadi tiga jam menunggu jemputan, begitu sampai di studio TVRI acara belum mulai. Padahal di undangan tertulis acara mulai pukul 20.00. Sekarang sudah pukul 20.30. Andai aku tahu seperti ini, lebih baik bawa laptop biar bisa sambil mengurus orderan buku.

    Di tengah rasa bosanku tiba-tiba muncul seorang ibu berusia sekitar 40-50 tahun. Ibu itu masih cantik dan berisi. Dilihat dari penampilannya, seperti istri pejabat atau ibu artis. “Maaf, apa benar kamu Ariny?” tanya ibu itu.

    “Iya, Anda siapa ya?” Aku bertanya balik pada ibu itu.

    “Perkenalkan nama saya Umi Kulsum, biasa dipanggil Umi. Saya liat kamu di Hitam Putih. Jujur saya kagum sama kamu, masih muda tapi sudah sukses jadi penulis.” Berbagai pujian lain terlontar dari mulut ibu itu. Sedangkan aku hanya menanggapi pujian dengan senyum manis.

    Selang beberapa aku mengobrol dengan Umi, muncullah pria di hadapanku. Dia mengenakan kemeja sasirangan warna biru. Mataku tak berkedip melihatnya. Walaupun tak setampan aktor favoritku, Ammar Zoni tapi aura kharismanya keluar. Berulang kali aku mengerjap mata, lagi-lagi pandanganku tetap sama.

    Deg!

    Dia adalah Agus Sasirangan, chef asal Banjarmasin yang lagi naik daun. Kabar yang beredar dia bukan hanya sukses jadi chef, namun juga sukses di bidang wirausaha. Kesuksesanya itu berawal ketika dia dinobatkan sebagai runner up ajang memasak diselenggarakan stasiun TV swasta ternama di tanah air. Ternyata jika dilihat secara langsung lebih tampan daripada yang aku lihat selama ini di layar kaca.

    Lebih mengejutkan lagi dia duduk di sebelahku. Seketar suhu AC di studio ini meningkat drastis membuat tangan dan kakiku dingin seolah-olah berada di kutub utara. Bukan hanya itu saja, aku juga mendadak susah napas. Oh Tuhan, kenapa hal ini terjadi lagi? Terakhir aku mengalami seperti ini ketika bertemu dengan Aditya Haris Susanto. Itupun sudah 8 tahun yang lalu. Hubunganku dengannya sudah berakhir sejak 5 tahun yang lalu. Nanti aku jelaskan di babak terakhir.

Lihat selengkapnya