A Day in My Life

Ariny Nurul haq
Chapter #22

Pacar Pertama

Saat aku sibuk mengurus naskah Arsha Teen, tiba-tiba ponsel di sebelah laptop berdering. Kulirik layarnya. Di sana tertulis nomor nggak dikenal sedang memanggil. Aku angkat nggak ya? Sebenarnya malas angkat telponnya, paling nelpon dari cowok iseng yang modus kenalan atau lebih parah telpon dari petugas asuransi, tapi kalau nggak diangkat sayang. Takutnya dari wartawan atau penerbit mayor.

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya kuputuskan menerima telpon darinya. Kugeser ikon telepon warna hijau ke warna merah, tanda menerima panggilan.

“Halo, Rin.” Terdengar suara seseorang di seberang telpon.

“Halo, kamu siapa ya? Kok tau namaku?”

“Aku Dimas.”

Dimas, nama panjangnya Adipati Dimas. Dia temannya Mas Adit. Mas Adit itu pacar pertamaku, tapi sekarang sudah jadi mantan. Aku pacaran sama dia sejak tahun 2007 sampai akhir 2009. Kisah cinta kami sudah ada di Novel Kau Begitu Sempurna.

Cinta kandas gara-gara nggak direstui sama mamanya Mas Adit. Siapa sih yang mau punya mantu cewek cacat kayak aku? Belum lagi pendidikanku hanya lulus MTs. Sedangkan keluarga Mas Adit keluarga pendidik. Punya warisan sekolah MTs dan MA dari kakeknya. Jelas kami nggak sekufu.

Akhirnya dia dipaksa nikah oleh mamanya sama Mbak Ayu tahun 2010. Pernikahannya nggak bertahan lama, cuma dua tahun. Abis cerai dia mengejar cintaku lagi.

2013 sempat balikan, tapi putus lagi di pertengahan 2013. Mas Adit nggak kunjung ada perubahan memperjuangkanku di depan keluarganya.

Dulu aku juga berteman dengan Dimas, bahkan dia sempat jadi gebetanku. “Oh lu toh, Dim. Gue kira siapa. Eh, tumben lu nelpon gue? Ada apa nih?”

“Mas Adit lu lagi sakit tuh.”

“Mas Adit sakit kok lu nelpon gue? Emang gue dokter?”

“Mas Adit itu sakit gara-gara kangen sama lu. Lu datang ya ke rumah sakit Ratu Zalekha.”

“Males ah. Ntar gue dicibir lagi sama nyokapnya mas Adit yang galak.”

Masih inget banget, terakhir mamanya Mas Adit memakiku dengan kata-kata, “Yakin mau sama cewek cacat ini? Apa kata keluarga kita? Nambah beban baru.”

“Kalo soal itu, lo tenang aja. Nyokapnya Mas Adit lagi pulkam ke Boyolali kok. Lu harus datang, takutnya lu nanti nyesel karena nggak liat Mas Adit untuk terakhir kalinya.”

Tuuuut…tuuut

Dimas memutuskan sambungan telpon. Aku mendengus kesal. “Dimas, apa-apaan sih. Masa dia ngomong kek gitu? Kayak Mas Adit mau mati aja.” Aku mengomel sendiri.

“Mas Adit lagi sakit ya, Rin?” tanya seseorang di belakangku.

Aku membalikkan badan. Eh, ternyata ada mama. Aku pikir mama lagi di warung. “Iya, Ma. Mas Adit lagi sakit.”

“Lu mau nengokin dia nggak di rumah sakit?”

“Pengen sih. Tapi…”

“Nggak ada tapi-tapian. Pokoknya sekarang lu ganti baju, biar mama yang nganterin lu ke rumah sakit. Mama juga sekalian nengokin tetangga yang habis melahirkan bayi kembar. Dia dirawat di rumah sakit,” ujar mama seolah tahu apa yang ada di pikiranku.

Lihat selengkapnya