A Day To Remember

tavisha
Chapter #2

#2

Ini mustahil terjadi, tapi kenyataan berkata sebaliknya. Aku sudah hidup di apartemen itu hampir tiga bulan, dan masih ada tiga bulan ke depan lagi untuk menyelesaikan masa sewa itu. Sayang sekali, memang jarang sekali ada apartemen semewah dan sekeren itu di sewa dengan harga yang sangat murah. Awalnya si pemilik menyewakannya untuk setahun, tidak, sebelumnya dia memasang iklan untuk menjual, tapi tidak ada yang berminat dan akhirnya dia memutuskan untuk menyewakannya. Dan jatuhlah pada aku si penyewa itu.

           Sebenarnya aku tidak berniat untuk menyewa apartemen itu, tapi teman-teman di kantorku menyarankan aku mengambil kesempatan itu, alih-alih agar aku tidak jauh pulang-pergi ke kantor, apalagi jika ada kebutuhan yang mendadak di kantor. Akhirnya ku ambil juga kesempatan itu, tapi aku memutuskan aku hanya menyewa selama enam bulan saja, sebagai uji coba apa aku nyaman atau tidak, jika aku merasa nyaman mungkin ke depannya aku akan menyewa selama setahun penuh, atau mungkin juga akan membeli apartemen itu. Sayang...sayang sekali... jika aku tidak menemukan bos ku ada di kasur ku malam ini, mungkin aku akan menambah waktu sewa ku selama setahun. Karena kejadian malam ini juga aku memutuskan angkat kaki dari apartemen itu. Untung saja barang yang ku bawa ke apartemen itu tidak banyak, hanya beberapa lembar baju, buku, dan beberapa barang lainnya yang masih bisa ku bawa dengan punggung dan kedua tangan ku.

           Aku pikir dia sengaja melakukannya. Ya, sengaja untuk menyewakannya kepada karyawannya. Untuk menjebak! Apartemen itu sebenarnya milik bosku... bosku itu, yang sedang tidur enak tanpa basa-basi di kasurku!

           Dia mempromosikannya saat kami makan malam bersama seusai rapat beberapa bulan lalu. Waktu itu dia hanya mempromosikan kepada karyawan laki-laki saja, tapi karena tidak ada yang berminat, dia mempromosikan juga pada kami, para perempuan. Sebenarnya para perempuan juga tidak ada yang berminat, mungkin karena sudah enak dengan tempat tinggal masing-masing, tapi seorang temanku mengingat kalau flat lama ku sangat jauh dari kantor dan harus membutuhkan naik kereta–jadi dia menyarankanku untukku mengambil apartemen itu.

           Jika mengingat hal itu aku sangat menyesal sudah mengambil keputusan menyewa apartemen itu. Sekarang aku malah luntang-lantung di jalan seperti orang yang diusir dari rumahnya sendiri. Syukurnya pukul lima pagi aku sudah menemukan penginapan khusus backpaker yang masih buka.

           Untung saja, penginapan itu punya loker pribadi yang luas untuk menyimpan barang-barang, dan sangat cukup untuk barang-barang yang ku bawa. Penginapan itu ku sewa untuk dua minggu, sayang sekali akhir-akhir ini aku banyak pekerjaan yang harus ku selesaikan jadinya tidak bisa membuatku menyempatkan diri untuk mencari flat baru.

           Setelah menyimpan barang-barang ke loker, tanpa ku sadari aku begitu saja terlelap di kasurku yang berbentuk seperti kapsul yang di lengkapi televisi kecil itu. Mungkin faktor kelelahan berjalan mencari penginapan.

            Aku bangun tepat pukul tujuh, setelah mendengar suara telepon masuk dan ketukan di dinding kasurku yang menyuruhku untuk mematikan suara teleponku. Setelah melihat siapa yang menelepon ku pagi-pagi begini, mendadak jantungku menjadi berdetak tidak keruan. Ada sebelas panggilan tidak terjawab, dan satu lagi sedang mencoba menghubungiku lagi, karena panik aku langsung mengeser tombol dial.  

           Itu panggilan dari bosku!

           Tidak lama kemudian sebuah SMS masuk.

[ Jennie, apa kau sudah lama pindah dari apartemen mu?] aku tidak membalas. Lalu SMS masuk lagi. [Kau pasti pindah karena kedatanganku yang tidak sopan ke apartemenmu ya? Aku benar-benar minta maaf. Sepertinya kulkas mu yang menyala dan sisa makan mu semalam membuktikan kau baru pindah. Karena aku ya... Ah, aku benar-benar minta maaf. Sungguh aku tidak bermaksud datang kurang ajar dengan kondisi mabuk dan tidur di kasurmu. Aku juga hampir gila saat mengetahui kenyataan ini. Sungguh aku tidak bermaksud. Aku benar-benar minta maaf. Sepertinya password pintu belum di ganti ya... sepertinya karena itu. Aku benar-benar tidak sadar. Pulanglah kembali, dan ganti password pintumu. Sungguh, kalau kau ingin menuntut ganti rugi. Aku akan terima. Ku mohon maafkan kekurang ajaranku (ikon menangkupkan kedua tangan).] tapi aku sama sekali tidak membalas SMSnya.

***

Aku memikirkan sangat lama untuk pergi kerja hari ini. Aku tahu hari ini sangat penting, tapi badai di diriku sedang mengamuk. Aku tidak ingin badai itu malah mengarah orang-orang disekitarku dan menghancurkannya satu persatu. Akhirnya aku meraih kacamataku dan tas kerjaku, memutuskan untuk bekerja, tidak ada alasan untuk tidak masuk hari ini. Baiklah mari mencoba berdamai dengan diri sediri.

           Sesampainya di kantor semuanya berjalan seperti biasa, tapi hatiku tidak. Aku memandang sekeliling ruangan sebelum menghampiri meja kerjaku. Si bos belum ada di ruangan kerjanya. Rapat yang akan di mulai pukul sepuluh masih ada setengah jam lagi. Masih ada waktu untuk mengatur perasaanku saat bertemu si bos. Aku tidak tahu perasaan apa yang akan ku rasakan saat bertemu dengannya nanti–mungkin aku bisa-bisa mengundurkan diri dari kantor ini.

           “Selamat pagi, pak!” Seru seorang pria dari ujung ruangan. Dia memberi salam kepada bos ku saat mulai berjalan masuk ke arah ruangannya... ke arahku?... tidak, seharusnya memang begitu, ruangan kantornya memang melalui arah yang ku lalui juga, eh... satu persatu orang-orang meyapanya dengan hangat, begitupun dengannya.

           Mata kami bertemu.

Aku buru-buru mengusir kecanggunganku lalu memberi senyum palsu di depan teman sekerjaku, kepadanya, bos ku. Begitupun dia, dia terlihat sangat canggung lalu berjalan cepat sambil menenteng jasnya di tangan kiri, dan tangan kananya memegang gelas kopi. Dia terlihat sangat santai sekali dalam ukuran seorang bos.

Mendadak aku menjadi lemas... aku tidak mengerti. Kenapa ingatan didini hari itu tegambar jelas di depan ku. Kemeja itu, kemeja biru muda itu... apa tadi malam dia memakai kemeja itu... atau kemeja warna putih? Celana kain hitam... Aku mengeleng dengan cepat lalu cepat-cepat menghampiri mejaku dengan wajah pucat pasi.

“Kau sakit?” Tanya Natal, teman kerja ku yang tiba-tiba muncul di atas kubikel.

“Kenapa kau berpikir begitu?” tanyaku sambil menaruh tas ku di atas meja yang berbentuk huruf L itu.

“Wajahmu pucat banget... kelihatan dari jauh...” Katanya sambil menaruh dagunya di atas kubikel.

“Ah enggak kok...” elakku. Sambil mencari draf ku yang tertumpuk kertas-kertas lain.

“Atau habis lihat hantu...” Katanya sambil menyengir.

“Hoh...” aku mengiyakan sambil menarik paksa sticky note dari kawanannya tanpa perasaan.

“Serius... dimana?” Dia mengangkat kepalanya lalu berdiri di sampingku dengan penasaran.

Aku menarik napas ku sedikit putus asa. Sejenak ku alihkan pertanyaan Natal untuk sibuk menyalin pesan yang ku dapat dari email ke atas kertas sticky note lalu menempelnya di bawah monitor komputerku. Seketika aku mengingat rekan ku yang berada di area sama dengan ku dan Natal, mereka Tania dan Desi yang duduk di seberang mejaku dan Natal–hanya di batasi dengan kubikel.

“Tania dan Desi kemana?” 

“Mereka kan ada jadwal lapangan... gimana kau gak ingat.” Aku mengangguk lalu mengetikan sesuatu di badan surel–mengirimkan pesan untuk kunjungan studio proyek di Colombia bulan depan. “Serius kau lihat hantu dimana.”

“Guys, lima belas menit lagi ya.” Nadia si sekretaris mengingatkan para peserta rapat untuk bersiap-siap ke ruangan rapat, lalu duluan pergi ke ruangan rapat untuk menyiapkan sesuatu.

“Gak ada tambahan evaluasi atau rencana lain?” Tanyaku ke Natal yang sedang menatapku dengan wajah cemberut.

Lihat selengkapnya