Aku termenung cukup lama di depan lift sebelum akhirnya memutuskan memencet tombol ke lantai di mana ruangan kerjaku berada.
Aku memandangi diriku cukup lama di pintu lift yang memantulkan bayangan tubuhku di balut dengan jaket dari orang asing yang tanpa basa-basi lagi ku pakai, aku tidak memikirkan apakah aku akan tertular penyakit kulit karena jaket ini yang mungkin tidak pernah di cuci berbulan-bulan, entahlah. Setidaknya aku cukup berharap jaket ini cukup wangi dan segar untuk ku pakai. Intinya aku hanya ingin menutupi bajuku yang mendadak transparan karena ketumpahan kopi barusan, tidak hanya menerawang, noda kopi itu tidak begitu membuatku percaya diri datang ke kantor dengan kondisi seperti itu.
Bersamaan dengan pintu lift terbuka, nada dering dari ponsel yang tak kusadari keberadaanya sebelumnya di kantong jaket ini bersaut-sautan dengan lagu yang terputar di lobi gedung ini. Ah, ini bencana, ku pikir tidak akan bertemu dengan manusia mesum itu lagi. Gara-gara ponselnya yang mungkin sengaja di tinggalkannya aku harus bertemu dengannya. Atau mungkin ku titipkan saja dengan seseorang?
"Halo?" Jawabku ragu-ragu. Pintu Lift tertutup aku tidak jadi masuk dan memilih untuk menjawab panggilan entah dari siapa ini. Nama yang tercantum dalam panggilan itu hanya tertulis "Bunny Booster" mungkin saja pacarnya.
“Hei cewek bra merah... kau dimana? Hape ku ternyata ketinggalan di kantong jaketku... ayo berikan dulu, kalau kau mau ambil jaketku juga tidak apa-apa, jaketnya juga belum aku cuci setahun.” Dia tertawa cekikikan, tanpa menerka-nerka lagi aku sangat yakin si manusia mesum itulah yang menelepon. Padahal jaket ini terlihat segar dan masih wangi, itu juga tidak menimbulkan gatal-gatal di kulitku.
Jelas saja aku marah, "Kau sengaja kan, meninggalkannya? Apa yang ingin kau perbuat di masa depan?"
"Emm.. aku belum memikirkannya. Jadi kapan aku bisa mengambilnya? Apa kau sudah jauh dari cafe itu? Aku bisa menyusulmu kesana kalau kau sudah jauh."
"Aku akan mengembalikannya setelah aku selesai rapat. Aku sibuk sekarang!”
“Wuah, ternyata kau seorang pekerja ya? Ku pikir kau hanya perempuan pengangguran yang patah hati.” dia cekikikan lagi.
“Akan ku tutup teleponnya, kau bisa memastikan lagi setelah jam sebelas nanti.” Ujarku buru-buru mengakhiri percakapan.
Untung saja aku tidak perlu menunggu lama pintu lift terbuka. Segera aku masuk sesaat mengecek jam tanganku yang sudah menunjukan hampir jam sepuluh. Aku saja tidak terasa waktu cepat berlalu.
Baru saja pintu lift tertutup, panggilan dari bosku yang akhir-akhir ini ku hindari masuk ke ponselku. Apakah kali ini dia akan menerorku dengan kabar apartemennya?
Aku menggeleng cepat sesaat mengingat kejadian malam beberapa waktu lalu.
Aku juga khawatir kalau dia menanyakan pekerjaan, tapi pekerjaan apa jika aku harus berurusan langsung dengannya? Sedangkan selama ini aku harus melalui manajerku untuk persetujuan-persetujuan proyek yang harus di approve-nya.
Baiklah akan kuabaikan lagi dia kali ini.
Tidak menunggu beberapa lama nada dering itu menghilang, panggilan dari nomor yang tidak ku kenal masuk. Tentu saja aku tidak mau sembarang mengangkat dari nomor asing. Abaikan saja.
Ting
Pintu lift terbuka, dan SMS dari nomor asing yang tadi menghubungiku mengirimkan pesan,
[ Selamat Pagi, Saya Anita, Admin dari departemen Kontruksi. Bu Jennie, sebentar lagi kita akan ada rapat di ruangan Cluster 1. Segera menuju keruangan ya. Terima kasih.]
Ah, ternyata Admin yang akan bekerjasama denganku nanti. Bagiamana bisa aku berpikiran buruk dengan orang baik yang ingin mengingatkanku ini.
[Baik terima kasih atas informasinya.] Jawabku segera
Aku baru masuk ke dalam ruangan, namun suasana menjadi aneh, hampir setiap sudut menjadi riwuh, berbisik-bisik, seakan-akan ada kabar yang tidak boleh ku dengar. Tatapan menjadi fokus ke ruangan si bos. Aku tidak bisa menerka apa yang sedang menjadi trending topik di ruangan ini, aku tidak merasakan apa-apa, ku rasa tidak ada kaitannya denganku.
Dari jauh, Natal melambaikan tangannya mengodeku untuk cepat menghampirinya, ekspresinya begitu gemas, seperti ada sesuatu yang harus banget di ceritakan padaku.
Aku berjalan buru-buru menghampirinya, sesekali melirik ke kanan kiri para karyawan, sekekali juga melirik ke ruangan si bos yang jendelanya di buramkan, agar kami dari luar tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi di dalamnya.
“Ada berita heboh!” Natal menarik ku segera duduk kemudian menyambut gelas kopi miliknya.
Aku yang masih belum mengerti hanya mengodekan alisku sembari bertanya ‘ada apa?’
“Kau tahu, pacar si bos yang,” dia mengode dengan bibir dan alisnya, bermaksud membicarakan pacar sesama jenis si bos yang pernah bikin heboh satu gedung. Aku hanya mengangguk. Sejujurnya aku tidak ingin mendengarkannya, tapi ya sudahlah, ku dengarkan saja. “Dia datang!” Seru Natal sambil memukul-mukul lenganku.
“Memangnya kenapa?” aku yang masih naif hanya menanggapinya demikian. Ya, ku pikir selagi dia tidak merugikanku, aku masa bodoh saja jika dia memang mau datang ke kantor atau tidak.
“Wuah sudah lama sekali, bukan…” sebenarnya aku tidak pernah tahu kapan terakhir kali pacarnya datang ke kantor, aku mengangguk saja. “Aku benar-benar di buat dilema. Andai saja pacarnya tidak secakep itu…” dia menghela napasnya.
Aku manggut-manggut sembari mencuri-curi ambil kesempatan untuk mengambil buku catatanku, bersiap untuk ke ruang rapat.
“Hei!” Serunya membuatku tersentak kaget. “Perasaanku, kau tadi hanya berkemeja? Kapan kau pakai jaket?”
Aku salah tingkah.
“Ini kayaknya model cowo deh, kau tadi ketemu pacarmu ya!” Godanya dengan senyum menyelidiki.