Sebenarnya ini bukan sebuah kejutan kedatangan seorang pria yang tampan, melainkan sebuah mala petaka. Dia tersenyum di depan pintuku seakan-akan ia datang akan menghipnotisku, menculikku atau mungkin akan mencincangku--aku tidak tahu kenapa aku berpikir demikian, hanya saja ini jelas aneh. Kami baru bertemu hari ini. Hanya karena sebuah jaket dia datang mengikutiku sampai ke apartemen ini. Dan bagaimana caranya dia masuk ke apartemen ini, sedangkan butuh kartu untuk akses masuk?
Aku menggeleng kepalaku secara tidak sadar, membuyarkan ketakutan-ketakutanku. Aku ingin menanyakan maksud kedatangannya, tapi aku mendadak jadi salah tingkah. Aku tertegun melihat penampilannya saat ini. Sampai-sampai lidahku mendadak kelu, melihatnya di balut pakaian bernuansa hitam putih dengan rambut di tata dengan lembut. Tentu jelas berbeda dengan perawakannya pagi tadi dan di kantor. Dia juga memotong rambutnya, menyadari hal itu pipiku mendadak merah jambu.
"Hei, Bra merah..." Sapanya lagi.
Pesonanya yang tadi bersinar sontak menjadi redup gara-gara dia memanggilku dengan sebutan itu lagi, pipi ku yang mendadak panas kini menjadi lebih panas dengan suasana yang berbeda.
"Bagaimana kau bisa kesini?" tanyaku kesal. "Kau mengikutiku?"
Dia menyengir, lalu menaikkan tangannya membentuk simbol meminta. "Aku tidak berniat mengambil jaketku, tapi aku ada janji... Jadi berikan tiket nonton ku yang ada di jaket.”
Hah?
"Kau mengira aku mengikutimu?" nada suaranya berubah, mencoba mengelak.
Aku hanya tertegun, masih tidak percaya. "Bagaimana bisa kau masuk ke apartemen ini? Apa kau menyogok security?"
"Aku bahkan tidak punya uang, jadi berikan aku tiket nonton ku sekarang juga..." Dia melebarkan senyumnya.
Mau tidak mau, aku mengikuti saja perintahnya. Aku kembali masuk ke apartemenku dan membiarkannya di luar sana dengan pintu yang tertutup. Aku hanya tidak ingin terjadi insiden yang tidak ku inginkan 'seperti waktu itu' terjadi lagi.
Aku meraih jaket itu dan segera memeriksa kantongnya, benar saja ada dua tiket nonton berada di sana. Hanya saja aku masih binggung bagaimana dia punya akses masuk ke gedung ini? dan apa dia mengikutiku atau dia mencari alamatku di database kantor hanya karena ingin mengambil tiketnya, atau malah punya maksud lain.
Daripada jaket ini menjadi sumber alasannya yang aneh-aneh di kemudian hari, lebih baik aku mengembalikannya saja. Aku tidak berminat untuk bertemu dia lagi di masa depan.
Aku tidak membuka pintuku lebar-lebar hanya beberapa centi meter saja, aku menjulurkan tanganku memberikan jaket miliknya. Belum sempat aku mengatakan 'terima kasih' orang itu dengan jahil mengengam tanganku lalu menariknya keluar.
"Hei! Hei! Kau apa-apaan hah?" Ku harap aku sedang bermimpi buruk karena capek membersihkan apartemen. Aku hanya bisa berharap. Tapi rasa sakit bergesekkan dengan sisi pintu menyadarkanku kalau aku sedang berada di dunia nyata dan aku harus menghadapi malapetaka ini.
Masih mengengam tanganku, cowok itu mengambil jaketnya lalu menyematkannya ke pundak. “Temanku membatalkan janjinya... jadi... temani aku nonton... oke!” aku menghentakan tanganku dengan kuat agar terlepas dari gengamannya tapi percuma gengamannya lebih kuat dari hentakannku.
"Bagaimana bisa kau jahat sekali dengan perempuan hah?"
Dia melepaskan tanganku, "Oh, maaf. Kau juga sih tidak sopan. Masa memberikan jaketku dengan sembunyi-sembunyi begitu. Memangnya aku terlihat seperti penjahat? Lagi pula aku kan mentraktirmu nonton. Kurang baik apa aku." ia menyombongkan dirinya.
Aku menghela napas frustrasi. "Bapak Zenda yang terhormat. Kita bahkan baru bertemu pertama kali hari ini. Bagaimana mungkin...." dia geleng-geleng kepala dengan segera mengoreksi perkataannku.
"Aku juga baru menyadari bahwa kita baru bertemu hari ini. Tapi kenyataannya, kita sudah bertetangga selama tiga bulan. Aku hanya ingin menyambut tetangga ku dengan ramah saja memangnya tidak boleh?"
Apa?
Aku mendelik heran. "Tetangga?" Dia menyunggingkan senyum khasnya, di balik senyum manisnya sebuah tanda mengerikan menyeruak seperti akan melepaskan sarin dari tubuhnya itu.
"Aku baru sadar saat kau pulang tadi, ternyata kita bertetangga. Bukankah ini tidak kebetulan? Hanya saja kita--oh, tidak, mungkin kau yang tidak peka kalau aku tetanggamu... dan kenyataannya kita satu tim di kerjaan sekarang. Bukankah ini menarik? Ku rasa juga bukan takdir." Dia berbicara tanpa henti kemudian melanjutkan lagi. "Dan kau malah mengira aku mengikutimu.. oh tidak... tidak kau malah mengira aku membayar security... ckckckck" Dia berkacak pinggang.
Aku yang penasaran dengan segera bertanya, "Di mana apartemen... mu?" Aku binggung harus memanggilnya dengan formal atau .... masa bodohlah.
Dia melirik pintu di sebelah kiriku, pintu nomor 1012. Aku beringsut mundur menempel ke pintu apartemen ku dengan lemas. Bagaimana bisa aku bertetangga dengan manusia mesum seperti dia, apalagi kami malah harus satu pekerjaan.
"Kau tidak perlu kecewa. Aku sudah dua tahun disini. Jangan khawatir. Sepertinya hanya kau yang di takdirkan punya nasib yang ku rasa mengecewakan ya... tapi segera buang jauh-jauh pikiran itu. Aku tidak akan mengecewakan tetanggaku."
Di tengah kefrustrasian ku mataku menangkap sosok di depan pintu lift tidak jauh dari apartemen kami, sedang melihat kami berdua. Sontak aku kaget bukan kepalang, aku salah tingkah harus berlari masuk atau menyapanya.
Pria yang ada di depanku pun seketika merespon tindakanku. Bukannya segera menghampiri orang yang berada di depan lift, alih-alih menegur karena mereka saling kenal, dia justru mengancamku.
"Jadi kau akan temani aku pergi nonton, atau kau bersedia kalau aku menceritakan dia tidur di kamarmu minggu lalu?" Bisiknya, namun badan dan mimik wajahnya tidak sesuai dengan acaman itu. Ia melambai ke arah orang yang tidak lain adalah bosku. Menyambutnya dengan ramah.
"Ba...Bagaimana kau tahu?" tanyaku canggung.
Dia berbalik arah menghadapku. "Kau tinggal di sebelah apartemenku..." Dia tersenyum licik. "Dan aku pacarnya... bukankah yang ini orang di kantor semuanya tahu?" Dia mengedipkan sebelah matanya.
Aku mengatur napasku, tentu saja aku menjadi takut. Secara bersamaan aku di hadapkan dua orang yang paling berbahaya tepat di depan apartemenku. Dimana aku tidak punya apa-apa sebagai bahan pertolongan. Ruangan-ruangan yang kedap suara, meskipun aku berteriak nantinya kemungkinan kecil hanya beberapa orang yang bisa mendengarku. Belum lagi smarphone ku yang sengaja ku tinggalkan di dalam.
Bosku perlahan berjalan ke arah kami bersamaan dengan Zenda yang merangkulnya genit. Tatapannya mendadak ragu, ia tampak berpikir.
"Selamat malam," sapa ku mencoba ramah. Aku mengatur posisiku ku.
"Kalian sepertinya sudah makin dekat ya... Apa dia tahu kau tinggal disini?" Tanyanya ke Zenda.
Zenda mengangguk, ia mencoba terlihat imut. Benar-benar tidak sesuai dengan perawakannya.
Di lain sisi, aku masih mencerna perkataan Zenda barusan. Apa dia benar-benar orang yang selama ini di bicarakan di kantor? Bahkan dia mengaku sendiri kalau dia pacar si bos?
Aku menelan liurku dengan susah payah.
"Kalau begitu saya masuk dulu." Aku menunduk memberi hormat segera berpamitan.
Si bos yang terlihat serba salah mengangguk ragu mempersilahkanku menjauh dari mereka berdua, sedangkan Zenda berbeda dia memilih menahan pintu yang baru terbuka.
"Tidak jadi nonton?" Dia menatapku dengan tatapan mengintimidasiku.
Aku menggeleng tegas. "Aku belum mandi. Aku lelah. Selamat malam." Kembali aku menarik ganggang pintu.
"Apa kau siap untuk besok?" bisiknya lagi, aku tahu maksudnya kalau dia akan menyebar luaskan rumor itu. Tapi aku tidak peduli dan memilih masuk ke dalam apartemenku.
***
Aku bangun agak kesiangan, saat membuka mata semua badanku terasa kaku. Mendadak aku menjadi gugup, kuharap malam pertama ku di apartemen setelah insiden itu tidak terjadi lagi untuk kedua kalinya. Syukurlah, setelah menyadari cahaya matahari masuk ke dalam kamarku, aku segera memeriksa seisi ruangan. Tidak ada hal yang menganjal.
Baru menegakkan punggungku, teleponku berbunyi.
Tumben sekali Nina menghubungiku pagi-pagi sekali setelah ia menikah.