03 November 2019
Harta, keluarga dan calon suami yang tampan. Apalagi yang kurang bagi seorang Sheila Aznii? Itu sebagian pendapat orang-orang yang belum mengenal gadis berusia dua puluh lima tahun itu. Meski wajah cerianya sering tampak di layar televisi sebagai desainer muda ternama tahun ini, tetapi di balik itu selalu ada luka setiap harinya.
Seperti sekarang ini. Dia terduduk di ruangannya beserta robekan-robekan kertas berceceran di meja. Wajah cantik Sheila begitu murung setelah percakapannya dengan Abian Mahardika, sang calon suami yang selalu membuat kepala gadis itu pening. Perdebatan tak dapat dielakkan setiap kali mereka bertemu.
Embusan napasnya terdengar begitu hampa. Sorot mata Sheila begitu kosong menatap langit-langit ruang kerja, telinganya seakan mendengar percakapan yang tadi dia lakukan dengan Bian.
“Kenapa tidak bilang habis dari rumah sakit?”
Sheila gelagapan. “K-kata siapa?”
“Terserah kamu mau ke rumah sakit atau tidak. Aku sama sekali tidak peduli. Yang menjadi masalahnya, kenapa kamu mengadu pada ayahmu kalau aku tidak mengurus putrinya yang penyakitan ini dengan baik?” Nada bicara Bian terdengar sarkas, menusuk tepat ke ulu hati Sheila.
Perempuan itu terdiam di kursinya dengan mulut bungkam dan tangis yang tak bisa dia tahan. Sungguh, Sheila benci saat kelemahannya itu selalu muncul di hadapan Bian.
“Sudah cukup kamu menyiksaku sejak kita terpaksa menjalin hubungan.” Bian mengusap wajahnya kasar. “Kamu tidak terpaksa karena itu maumu, sedangkan aku harus menjadi budakmu. Melayani tuan putri ke mana pun pergi dan tak bisa mencintai wanita yang aku inginkan.”
Terdengar isak tangis dari Sheila. Dia masih diam dan berusaha menahan semuanya sendiri. Sebisa mungkin, meski ini bukan hal pertama. Bodoh memang. Dibodohi rasa cinta yang membuatnya merasa diinjak-injak. Setiap kali ingin menjawab, bibirnya seperti ada lem yang menempel.
“Jika bukan karena utang budi pada keluargamu, aku tak pernah menginginkan rencana pernikahan kita ini.”
Setelahnya, hanya ada Sheila sendiri. Dia menangis tanpa suara, meraih kertas yang masih kosong, menyobeknya dan dilemparkan ke udara.
“Aku tidak pernah mengadu apa pun pada Ayah,” katanya lirih. Tak peduli pada siapa dia berbicara.
Sheila melirik kalender di meja, berdampingan dengan fotonya dan Bian saat tunangan. Keduanya tampak serasi dengan baju serba biru dan senyuman yang menawan meski dia tahu kalau pria itu merasa sangat terpaksa.
“Dua minggu lagi.” Dia berkata lirih setelah melihat angka dua puluh pada bulan oktober dan dilingkari tinta merah.
“Maaf, aku memang egois.” Diraihnya bingkai foto itu, lalu diusap-usap sampai air mata jatuh ke permukaannya.
Ketukan pintu membuat Sheila sadar dari lamunan. Dia bisa melihat Lastri, karyawan butik masuk sembari membawa segelas air putih juga beberapa pil obat yang selalu membuatnya muak.
“Sopir keluarga Mbak Sheila tadi ke mari membawa obat yang ketinggalan.” Lastri menyimpan gelas beserta obatnya tepat di hadapan Sheila. “Ini sudah waktunya minum obat,” katanya. Dia sempat melirik Sheila, melihat mata gadis itu sembap.
Bukan sekali dua kali Lastri menyaksikan pertengkaran dua insan manusia itu. Beruntung saja karena selalu di waktu mereka sedang sepi pengunjung.
“Makasih,” jawab Sheila. Tak sedikit pun menoleh pada pegawainya itu.
“Sama-sama, Mbak. Kalau begitu, saya permisi.”
“Yang mau fitting baju hari ini sudah datang?”
Lastri menggeleng di ambang pintu. “Janjinya sekarang, tapi ini sudah lewat sepuluh menit.”
“Dua puluh menitan lagi tidak ada, kita tutup butik dan kamu bisa pulang lebih awal. Saya juga ingin istirahat,” pesan Sheila sebelum membiarkan langkah Lastri sampai di luar ruangan. Menutup pintu warna cokelat itu dan membiarkan Sheila sendiri lagi di dalam.
Sepeninggal Lastri, Sheila hanya menatap enam obat yang entah apa fungsinya itu. Yang dia tahu, hanya untuk membantu jantungnya tetap berdetak.
“Bisakah dengan obat ini aku kembali ke masa lalu?” Ujung bibirnya tertarik ke atas. “Andai dulu wajah Bian tak pernah muncul, mungkin ceritanya akan lain.”
Satu pesan masuk mengurungkan niat Sheila untuk mengambil obat, beralih menekan gawainya bermaksud melihat satu pesan yang dikirimkan oleh sang ayah, Pak Hermawan.