A Different Past

Bintu Syarif
Chapter #2

ADP #2

03 November 2014

“Jika aku memiliki satu permintaan, bolehkah penyakit jantung ini hilang? Atau perasaan yang menyakiti banyak orang lain, bisa berakhir bahagia?”

Sheila langsung membuka mata saat kata-kata pengantar tidurnya itu tiba-tiba terngiang-ngiang. Dia mengerjap-ngerjap beberapa kali, merasakan degup jantung yang bekerja lebih keras, lalu mengelap cucuran keringat di pelipis. Serasa mimpi buruk, ada satu ketakutan yang secara mendadak menyeruak.

“Sheila, ini udah pagi. Katanya ada kelas, kan,” teriak seseorang dari luar.

Beberapa saat, Sheila tercenung di atas tempattidur setelah mendengar suara yang selalu gadis itu rindukan sepuluh tahun terakhir.

“Cepat turun atau Mama beresin sarapannya, ya.”

“Mama!” teriak Sheila. Dia langsung loncat dari tempat tidur dan menghampiri sosok yang gadis itu teriaki.

“Mama!” Pandangan Sheila kabur melihat mamanya tengah duduk santai melihat acara gosip pagi.

Mama menoleh, menatap putrinya dengan tanya. “Kamu ini kenapa? Pagi-pagi udah teriak-teriak gini.”

“Ini nyata, kan?” Langkah Sheila lambat saat mendekati sang Mama, kemudian duduk di sampingnya.

Jari telunjuk Mama digunakan untuk mendorong kening Sheila, tetapi gadis itu malah menatapnya tidak percaya.

“Bangun, Shei. Jangan mimpi terus, deh.”

Dia langsung beringsut mendekati Mama dan memeluknya erat dari samping. Wanita berusia lima puluh tahun itu tampak keheranan.

“Cepat sarapan atau Mama kasih nasi goreng kesukaan kamu ke kucing, ya.”

Sheila terdiam, tak menghiraukan ucapan Mama. Dia begitu nyaman menikmati setiap aroma bunga yang telah lama hilang dari indera penciumannya.

“Ma, ini orang kenapa? Tumben banget pagi-pagi meluk Mama,” seloroh Handi, kakak sulung Sheila, langsung duduk di pegangan sofa. Tangan kirinya memegang sepiring nasi goreng yang tersisa sedikit lagi.

“Aku kangen sama Mama, Bang. Lo diem aja, deh,” balas Sheila.

Mama hanya mengedikkan bahu sebagai respon pada anak sulungnya itu.

“Tiap hari juga ketemu, Sheila. Lebay banget, lo,” lanjut Handi.

Pelukan antara ibu dan anak itu terlepas. “Bang, Mama itu meninggal pas gue masuk SMA tahu. Dan sekarang ....” Matanya masih berkaca-kaca saat menatap sang Mama. “Gue nggak mau bangun dari mimpi indah ini, Bang.”

Satu pukulan di kepala dan jeweran Sheila dapatkan bersamaan dari Handi dan Mama. Gadis itu meringis, menepis tangan Mama dan menatapnya tidak percaya.

“Kok sakit, Ma?”

“Ini nyata, Sheila Aznii. Berhenti halu, deh.” Piring Handi sudah kosong lalu diserahkannya pada sang adik yang masih diam dengan raut kebingungan. “Sekarang, lo bangun terus sarapan. Gue tunggu setengah jam lagi, terus kita pergi ke kampus.”

“Shei, sekali lagi kamu aneh kayak gini, Mama potong uang jajan, ya,” ancam Mama seraya menodongkan remot tv tepat di hidung Sheila.

“Mampus! Anceman Mama selalu bener, Shei.” Handi terkekeh melihat raut wajah Sheila memberengut sebal.

“Tapi janji, ya. Pulang kuliah nanti, Mama harus ada di rumah.”

“Ya, terus kalau nggak di rumah, Mama harus di mana? Di atap? Aneh kamu.”

“Udah, cepet sarapan.”

Tubuh Sheila terhuyun-huyun ditarik Handi sampai duduk di salah satu meja makan. Di hadapannya sudah ada sepiring nasi goreng udang favorit dan tentunya masakan Mama.

“Bang, lo ....”

“Berhenti ngomong yang aneh-aneh, kamu makan aja,” sela Handi, membuat Sheila kicep setelah tatapan tajam dilayangkannya. 

Meski banyak hal yang tak Sheila paham, terutama kehadiran Mama di rumah, gadis itu memilih untuk diam dan sepakat untuk mencari tahu sendiri.

“Bang, lo masih kuliah?”

“Nggak, Sheila. Lo itu amnesia apa gimana, sih? Gue lagi koas.” 

Setelah itu, hanya terdengar dentuman sendok yang beradu dengan piring. Tak ada Handi lagi di sana hanya ada Sheila meski raganya melayang ke kejadian yang terakhir diingat sebelum semuanya berubah. 

***

Sebelum turun dari mobil Handi, kakak beradik itu sempat beradu mulut. Lagi-lagi Sheila mengawalipembicaraan yang bagi kakaknya adalah halusinasi dan berakhir dia mengalah.

Langkahnya terhenti tepat di depan gedung fakultas teknik Universitas Cakrawala. Sheila tertegun menatap bangunan berlantai tiga yang didominasi warna putih kombinasi biru langit.

“Kenapa ke sini? Kan gue dulu kuliah jurusan desain.”

Lihat selengkapnya