Selama rapat berlangsung, tak sedikit pun fokus Sheila teralihkan dari sosok pria tampan yang sedari tadi memimpin jalannya diskusi hari ini. Sesekali dia tersenyum tipis di balik map warna biru berisi catatan absensi anggota BEM.
“Ada yang ingin kamu sampaikan?” Kepala Bian menoleh ke arah Sheila, gadis itu duduk di sebelah kanannya terhalangi oleh Kai.
Merasa semua anggota BEM menatapnya sekarang, Sheila mulai gelagapan. “Ng-ggak ada,” katanya lirih, menatap kedua kakinya yang terlipat.
“Baiklah. Shei, semuanya udah dituliskan?” Lagi dan lagi pertanyaan Bian membuat gadis itu menggigit bibir bawahnya kuat, meski map masih menghalangi.
“Dia udah tulis, kok. Nanti gue cek lagi kalau ada yang kurang,” sela Kai. Dia mengedipkan sebelah matanya ke arah Sheila.
“Ok. Hari ini cukup. Kita rapat lagi setelah semua bahan untuk acara terkumpul dan jangan lupakan proposalnya, Shei.” Kini, tatapan tajam Bian menghunus mata Sheila. Perlahan, gadis itu bersembunyi di balik tubuh Kai dan merasa aman di sana.
Melihat Sheila menciut di balik tubuhnya, Kai terkekeh, kemudian membalikkan tubuhnya setelah Bian pergi sembari menenteng tas ransel dan tangan kiri membawa dua buku.
“Eh, sejak kapan lo lihatin si Bian, Shei? Sampe lupa nyatet hasil diskusi segala.” Kai menyerahkan selembar HVS hasil tulisannya merangkum rapat yang baru saja usai. “Lain kali, fokus, Shei. Gue nggak mau jadi tameng lagi supaya lo nggak kena semprot Bian,” lanjut Kai.
Dengan raut wajah kebingungan, tangan Sheila terulur untuk menerima kertas pemberian Kai dan langsung dia lipat, disimpan di antara halaman buku yang sedari tadi di atas pahanya.
“O-oh, makasih, Kai,” katanya sembari menatap mata Kai yang tengah menyipit karena tersenyum.
“Lo ada kelas lagi nggak, Shei?”
Sheila paham kok, ke mana maksud tujuan Kai bertanya. Maka dari itu, dia menggeleng. “Dosen pada nggak masuk semua, berujung tugas. Mau ngajak jalan?”
Tak berselang lama, Kai tersenyum lebar. “Peka banget lo. Gimana? Mau nggak?”
“Kalau ajakan lo ini gratis, gue mau. Tapi kalau harus bayar juga, gue mau pulang aja.”
Jawaban Sheila berhasil membuat Kai tergelak. Dia pun tampak menyugar rambut yang bergaya slicked back ke belakang setelah tawanya hanya berlangsung sepuluh detik. Meski sekarang tatapannya agak serius, tetapi senyuman untuk Sheila tak pernah menghilang.
“Gue ini cewek, Shei. Ngajak jalan lo, ya berarti gue traktir alias gratis. Lagi pula, lo belum makan siang, kan?”
“Beneran gratis, Kai?” Pria di hadapan Sheila mengangguk mantap. “Nggak ada alasan buat gue nolak.”
Senyum Kai semakin melebar. Dia sempat mengacak-ngacak puncak kepala Sheila dan menatap lamat-lamat iris kecokelatan gadis itu beberapa detik.
Sheila sadar, ada makna lain di balik tatapan Kai. Apalagi perlakuan Kai yang membuatnya sekarang masih duduk. Sentuhan kecil seperti itu terkadang membuat seorang gadis salah tingkah.
Segala dugaan langsung ditepisnya begitu mata Sheila tak sengaja melihat sosok Bian di balik jendela dekat pintu. Begitu pandangan mereka bertemu, pria dengan tinggi satu meter delapan puluh tujuh senti itu langsung pergi begitu saja.
“Shei, jadi nggak? Atau gue tarik lagi, nih, penawaran yang sangat langka dari seorang Kaindra.”
Tubuh Sheila langsung berdiri dan mengaitkan tas selempang ke bahu. “Makanya, lain kali jangan ngacak-ngacak rambut gue,” sungut Sheila.
“Apa kaitannya?” tanya Kai.
“Gue baper kalo digituin,” jawab Sheila asal tetapi membuat langkah Kai terhenti, lalu memandangnya.
“Bagus, dong.”
“Bagus apanya, Kai? Becanda mulu, ah.”
Baru saja satu langkah di depan Kai, lengan Sheila dicekal dan ditarik ke belakang sampai wajah gadis itu membentur dada bidang Kai.
“Kalau gue suka sama lo, gimana? Masih mau bilang gue becanda?”
Kepala Sheila mendongak untuk melihat ekspresi wajah Kai yang berubah serius dan senyum tipisnya, sukses membuat gadis itu kesulitan meneguk salivanya. Tidak ada jarak di antara keduanya, membuat pipi Sheila memerah bak kepiting rebus ketika Kai menatapnya dengan intens.
“Sumpah, Kai! Becanda lo nggak lucu tahu bawa perasaan segala,” desis Sheila. Gadis itu langsung membuang muka dan berusaha melepaskan cekalan tangan Kai.
Kai tersenyum miring. Dia lalu memojokkan tubuh Sheila sampai menyentuh dinding. “Wajah gue kurang serius, ya?” tanya Kai polos.
“Lo kan nikahnya sama Lintang, bukan gue, Kai. Kita ketemu aja baru dua kali,” jawab Sheila.
Mendengar nama Lintang disebut-sebut, cekalan tangan Kai melonggar dan dia pun membalikkan badan, memunggungi Sheila. Embusan napas kasar terdengar darinya.
Merasa kondisnya sudah aman meski degup jantung Sheila masih menggila, dia berkata lagi, “Beneran, deh. Lo itu nanti nikah sama Lintang, Kai.”
“Gue sama Lintang udah putus, Shei.” Kai membalikkan badannya lagi untuk menatap wajah Sheila. “Dan sebelum gue jadian sama Lintang, lo cewek pertama yang gue suka di sini.”
Mata Sheila membulat. Tetapi bukan karena pengakuan Kai yang menurutnya sebuah lelucon, melainkan sosok pria tinggi di belakang Kai yang tengah menatap mereka dengan tajam.
“Bian,” panggil Sheila lirih, tetapi masih bisa di dengar Kai.
Begitu Kai menoleh, bibirnya langsung tersenyum hambar. “Lo suka sama dia, Shei?” tanya Kai sebelum Bian datang di antara mereka.