Tahun ke-3 setelah zaman para dewa/Tahun ke-819.
Kota Sudirman, Republik Samoa, Benua Ankhofasia.
"Itu sia-sia Jacob, kesenjangan ras yang terjadi di negeri ini sudah berada diluar kendali kita." Aku melihat Kakak ipar termenung di mejanya, dengan segelas anggur yang belum ia sentuh sama sekali. "Mau tidak mau kita harus mengambil langkah yang lebih berani, tegas, dan radikal. Aku yakin semua partisipan juga akan menyetujuinya. Ada saatnya kita harus berdiri tegak dan mulai membalas perbuatan mereka dengan mata dibayar dengan mata, nyawa dengan nyawa."
"Tunggu Kakak!" ini memang pemikiran yang naif, tapi jalan yang akan ditempuh oleh Kakak ke depannya bukanlah perdamaian tapi hanya akan menambah dendam-dendam kebencian. Aku percaya bahwa kebenaran yang tidak bersenjata dan cinta tanpa paksaan adalah satu-satunya kebenaran dalam perdamaian yang kita cari. "Hukum lama tentang 'mata dibalas dengan mata' akan membuat semua orang menjadi buta, 'nyawa dibalas dengan nyawa' hanya akan menguras air mata setiap manusia, 'dendam dibalas dengan dendam' akan membuat kehidupan di bumi menjadi binasa."
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Jacob?" Kakak Ipar menatapku dengan raut muka penuh amarah. "Kita telah mencoba semua yang kau katakan tentang tidak bersenjata dan cinta tanpa syarat, dengan bermusyawarah, dengan kekeluargaan. Tapi seharusnya kau sadar apa yang mereka lakukan sebagai balasannya terhadap kita?" Kakak Ipar melemparkan gelas anggurnya kepadaku dengan sangat kencang hingga gelas itu pecah, serpihan-serpihan kecil dari gelas tersebut mengenai wajahku hingga mengeluarkan darah. "Apa kau masih tidak melihat perlakuan mereka selama ini? apa kau masih berpikir pikiran naifmu itu akan membawa perubahan terhadap semua rasisme ini?"
Aku tahu seberapa naifnya pemikiranku. Tapi kekerasan sebagai jalan untuk mencapai keadilan benar-benar tidak praktis dan tidak bermoral. Iya aku juga tahu meski terkadang kekerasan seringkali membawa hasil sesaat. Tetapi itu hanya bersifat sementara, keadilan yang dibawakan oleh kekerasan tidak pernah bertahan secara permanen. Kita hanya akan mengembalikan kebencian dan melipatgandakannya, menambah kegelapan yang lebih dalam pada malam tanpa bintang. Kegelapan tidak bisa mengusir kegelapan; hanya cahaya yang bisa melakukan itu. Rasa benci tidak bisa mengusir kebencian; hanya cinta yang bisa melakukannya. Kebencian memperbanyak kebencian, kekerasan melipatgandakan kekerasan, dan ketangguhan melipatgandakan ketabahan dalam spiral kehancuran yang menurun.
Kakak Ipar bangkit dari tempat duduknya. "Terserah apakah kamu setuju atau tidak, yang jelas kali ini aku akan melanjutkannya sesuai dengan rencanaku." Ia berjalan pergi seraya meninggalkan satu koin tembaga di atas mejanya.
Sial, aku meminum anggurku dan hanya bisa memandangi kepergian Kakak Ipar. Sulit untuk membuka sebuah diskusi, Kakak Ipar sudah tersulut emosinya, kejadian yang terjadi sebelumnya pada anggota partisipan kami benar-benar mengacaukannya. Sebenarnya emosiku pun ikut tersulut ketika menyaksikan kejadian tadi, tapi entah mengapa hati nuraniku secara terus menerus mempertahankan kesabaranku.