Ding… ding… diing… diing… Selamat berlibur, semuanya! Semoga keajaiban dan semangat Natal selalu menyertaimu sepanjang akhir tahun~
Itu adalah musik dan kalimat pertama yang kudengar ketika aku mendorong masuk troliku melalui pintu kaca ganda otomatis. Yap, kau mendengarnya dengan benar. Natal hanya tinggal seminggu lagi dan di minggu berikutnya kita sudah berada di tahun baru, yippee, betapa menyenangkannya. Satu-satunya hal yang mungkin agak kusesali adalah tidak ada salju di California Selatan. Sejauh mata memandang selalu ada sinar matahari dan warna-warni pemandangan di San Francisco. Di sini kami mempunyai sebutan seperti Warm Christmas— wilayah hangat saat Natal dirayakan, bukan jenis White Christmas di mana semua tempat tertutupi oleh putihnya salju. Tapi lampu-lampu cantik dinyalakan di setiap bangunan pada malam hari jadi semuanya masih oke-oke saja. Suasana libur akhir tahunnya tetap dapat.
Dan ternyata pusat perbelanjaan ini sangat penuh.
Hampir semua orang pasti akan datang ke Gallerya saat musim libur, karena tempatnya memang besar dan lengkap. Ada dua gedung mal, wilayah terbuka yang dipenuhi toko, dan lapangan luas di mana kios dan tenda berjejer dengan banyak barang-barang bekas dan diskon. Aku sampai agak kesulitan mengarahkan troliku menembus lautan manusia. Kupikir tidak akan seramai ini mengingat Natal masih seminggu lagi…
“Livy, kau harus mulai berbelanja kado Natal hari-hari ini,” kata Mom dua minggu yang lalu, dan waktu itu aku berkata sekarang masih terlalu awal. “Tidak ada namanya ‘terlalu awal’ dalam hal belanja kebutuhan Natal. Tahukah kau orang-orang sudah memasang pohon dan pergi belanja dekorasi tepat sehari setelah Thanksgiving?”
Yeah, aku seharusnya mendengarkan Mom.
Lantai dasar memang seramai itu. Semua orang berbicara dan banyak sekali mainan atau apapun itu beterbangan di sekitarku. Rasanya seperti berada di pabrik mainan besar Santa Claus. Aku melajukan troliku menghindari segerombolan orang tua yang sedang mengamati penjelasan dari seorang sales, anak-anak kecil yang berlarian, dan cewek-cewek sebayaku yang sedang mencoba tester riasan wajah dan parfum. Untung saja, ketika aku sudah naik ke eskalator dan sampai di lantai dua, keramaiannya mulai berkurang.
“Oke.” Aku menghela napas, menempatkan troliku di dekat eskalator. Aku merogoh saku jaketku dan mengeluarkan ponsel, membuka aplikasi catatan untuk memeriksa daftar hadiah apa saja yang harus kubeli. Walaupun aku termasuk agak terlambat untuk membelinya, aku sudah menyiapkan daftar ini jauh-jauh hari dengan segala perhatian dan pengamatan.
Mari kita mulai bekerja.
Nama dan foto Candice, my homie— sahabatku, muncul di layar ponselku.
Aku mengangkatnya di dering kedua. “Halo?”
[“Liv, kau di mana?”]