Bibi Helga adalah kakak perempuan pertama Mom. Dia tinggal tepat di seberang rumah kami bersama suaminya. Mereka berdua tidak memiliki anak, dan Bibi Helga menghabiskan sebagian besar waktunya berkontribusi dalam perkumpulan masak ibu-ibu setempat. Perkumpulan itu biasanya mengadakan acara-acara seperti bazar dan kegiatan amal. Bibi Helga dan para anggota yang lain juga sering menyediakan makanan dan minuman untuk berbagai acara dan kegiatan di luar komunitas mereka, seperti sekolah dan gereja. Aku tahu banyak soal komunitas memasak ini, yang isinya bukan hanya wanita-wanita yang sudah berumah tangga sebenarnya, karena aku sering ikut serta dengan Bibi Helga setiap dia berkegiatan di sana.
Paman Ronald bekerja di luar kota dan pulang saat akhir pekan, jadi Bibi Helga selalu seorang diri di rumahnya. Terkadang dia berkunjung ke rumah kami untuk menjagaku ketika orang tuaku sedang bekerja, tapi biasanya aku yang dititipkan ke rumahnya untuk bermain dan menghabiskan waktu. Candice sesekali bergabung bersama kami.
Umurku masih lima tahun setengah ketika pertama kali melihatnya membawa nampan besar berisi cupcake berhiaskan krim biru dan hijau dengan gula-gula menuju pintu depan rumah.
Aku langsung meninggalkan mainanku dan menghampirinya. “Bibi mau pergi ke mana?” tanyaku kepadanya, yang sebenarnya hanyalah basa-basi karena mataku hanya tertuju pada cupcake itu. “Untuk apa membawa cupcake?”
“Aku mau pergi ke komunitas memasak, Livy,” jawabnya. Dia mengambil kunci mobil yang tergeletak di rak meja. “Sore ini ada acara piknik bersama dan menu spesialnya adalah cupcake.” Bibi Helga membuka pintu rumah dan menahannya. “Ayo. Akan kuantar kau pulang dulu ke rumahmu sebelum aku pergi ke sana.”
Tentu saja Livy yang berumur lima tahun setengah tidak akan membiarkan cupcake dengan gula-gula itu menghilang begitu saja dari hadapannya. “Bolehkah aku ikut denganmu?”
Bibi Helga mengangkat sebelah alisnya. “Kau yakin? Bukankah kau mau bermain bersama Candice?”
“Candice bisa menunggu,” jawabku seringan bulu dan melangkah melintasi ambang pintu ke beranda depan. Padahal Candice ngambek kepadaku keesokan harinya karena telah “membohonginya” dan membuatnya harus bermain sendirian kemarin. Aku harus memberikannya es krim tiga scoop dari kulkas rumah agar dia mau memaafkan aku.
Akhirnya aku mengemudi bersama Bibi Helga menuju komunitas memasak itu, yang ternyata tidak begitu jauh dari rumah kami. Para ibu-ibu itu berkumpul di satu rumah, yang kata Bibi Helga adalah hasil iuran dari para anggota terdahulu untuk membeli satu tempat di mana mereka bisa berkumpul dan melakukan kegiatan, dan berseliweran ke sana-kemari sambil membawa berbagai macam hidangan.
“Pikniknya diadakan di halaman belakang. Ayo. Apa kau mau kuambilkan jus jeruk dingin?” Bibi Helga menggesturkan tangannya ke meja panjang, dan aku mengangguk. Sebelumnya ketika kami masuk ke rumah, Bibi Helga sempat berbincang dengan beberapa wanita dan mengenalkan aku sebagai keponakannya. Mereka tampak ramah.
Aku tidak menduga halaman belakangnya seluas ini. Dari ruang tengah, kelihatannya halaman belakangnya tidak terlalu besar. Tapi baru ketika aku menginjakkan kaki di rumput belakang pertama kalinya barulah kusadari bahwa halamannya tidak sekecil yang kusangka.
Hari pertamaku di rumah komunitas memasak Bibi Helga dipenuhi makanan dan minuman manis. Kau pasti sekarang sudah menduganya, bahwa sebenarnya aku adalah penggila manis. Aku menjejalkan apapun yang bisa kuraih dan kutanggung di dalam perutku, sementara Bibi Helga dan bibi-bibi lainnya bergosip ria.
***
Aku dan troliku tiba di depan Melrose’s Station. Yang kusukai dari Melrose selain barang-barangnya yang cukup lengkap adalah harganya yang lebih murah daripada toko-toko lain. Karena memang penyuka sesuatu yang estetis dan ekonomis, aku juga sering mampir ke sini untuk cuci mata.
Sambil melihat-lihat bagian dekorasi dan hiasan rumah, aku menimbang-nimbang apa yang harus kuberikan kepada Bibi Helga. Karena aku ingin membuatnya sendiri, aku terpikir untuk membelikannya semacam aksesoris yang kurangkai sendiri. Pilihannya adalah gelang, kalung, cincin, bros, dan, anting-anting. Tadinya aku ingin memberikan bros, tapi tampaknya terlalu biasa dan umum sekali digunakan ibu-ibu. Aku bergerak ke area printilan dan menemukan Melrose sedang mengadakan workshop kecil membuat gelang.
Aku mendekati selusin orang yang sedang duduk merangkai gelang mereka. Rata-rata mereka semua menggunakan warna-warna khas Natal. Seorang pegawai wanita mendongak ketika menyadariku mengamati.
“Hai! Selamat Natal. Apa kau tertarik dan ingin mencoba membuat gelangmu sendiri?” tawarnya dengan wajah bersahabat.
“Apa kalian hanya menyediakan pembuatan untuk gelang saja?” tanyaku padanya.
“Ya. Kami sudah membuka workshop untuk pembuatan kalung dan cincin kemarin, dan sekarang adalah gelang. Hari ini adalah hari terakhir.”
Oh, tentu saja aku tidak akan melewatkannya. Gelang pasti bagus untuk Bibi Helga, dan aku bisa meminta bantuan jika aku salah merangkainya. “Oke. Aku mau.”