Ada satu masa di mana Bibi Helga tidak tinggal di seberang rumahku selama beberapa tahun. Paman Ronald mendapatkan tugas kerja di New Jersey, dan membawa Bibi Helga ikut serta bersamanya. Kedua suami istri itu hanya mengunjungi rumah mereka beberapa kali dalam setahun. Waktu itu umurku dua belas menjelang tiga belas tahun, dan kurasa di masa-masa itulah pertama kalinya aku bertemu dengan Tía.
Aku tahu. Tía adalah kata dalam Bahasa Spanyol yang berarti bibi atau tante. Sebenarnya itu juga bukan nama aslinya. Aku hanya senang memanggilnya dengan sebutan itu hanya untuk meledeknya.
Nama aslinya adalah Mauria, tapi dia selalu memperkenalkan diri dengan nama Meria. Katanya sih, Meria terkesan lebih modern dan menarik daripada Mauria yang terdengar seperti seseorang yang sudah berumur. Dia orang Amerika Latin, bermigrasi bersama keluarga besarnya dari desa kecil mereka di Meksiko. Dan awal kenapa aku bisa memanggilnya tía sesungguhnya sederhana saja, karena keponakan-keponakannya memanggilnya begitu.
Tía tinggal dua blok dari rumahku. Karena Bibi Helga pindah, dan orang tuaku sibuk dan tidak bisa membiarkanku sendiri di rumah atau menyerahkan pekerjaan rumah tangga kepadaku karena aku tidak bisa diandalkan (serius), jadinya mereka mempekerjakan seorang remaja berusia tujuh belas tahun sebagai asisten rumah tangga paruh waktu. Sebelum bekerja untuk orang tuaku, Tía sudah pernah dua kali bekerja sebagai pengasuh anak. Yang pertama bertahan selama hampir satu tahun, dan yang kedua hanya empat hari saja karena Tía tidak sanggup mengurus bocah yang kelewat hiperaktif dan juga ditemani oleh seorang nenek yang membuatnya merinding. Sebagian besar karena neneknya.
Aku tidak ingat bagaimana awalnya aku mengobrol dengan Tía atau bagaimana pertama kali kami berkenalan. Momen yang kuingat adalah di satu sore ketika pulang dari sekolah, aku melihat seseorang yang asing menuruni anak tangga dari lantai dua mengenakan celana pendek kotak-kotak. Aku mengabaikannya karena kupikir orang itu ada keperluan dengan Mom atau Dad. Lalu setelah itu aku menemukannya sedang mencuci pakaian.
“Ahh…” aku hanya berdiri canggung di ambang pintu ruang cuci ketika melihatnya.
Tía menoleh dan bertanya ringan. “Kau ingin mencuci pakaian itu juga?” dia mengarahkan pandangannya pada jaket yang ada di tanganku.
Kurang lebih memori itu saja yang kuingat dari masa awal pertemuan kami. Tía terasa seperti seseorang yang sudah kukenal sejak lama sampai-sampai aku lupa hari di mana aku tidak mengenalnya. Kurasa kami cepat menjadi akrab setelah itu. Jalan-jalan sore dan memanggang roti, menonton serial drama Korea dengan semangkuk es krim, dan yang paling sering tentu saja berceloteh tentang berbagai hal random dan membicarakan cowok-cowok.
***
Aku berjalan melintasi rak-rak elektronik di Ace Hardware sambil melihat-lihat. Awalnya aku ingin menghadiahi Tía sheet mask Korea dan produk perawatan kulit Korea lainnya, mengingat dulu dia yang pertama kali mengenalkanku pada drama Korea, tapi tidak jadi karena kurasa hadiah itu kurang menarik. Aku sempat tiga kali mengganti pilihan kado Natalnya karena agak sulit menentukan hadiah untuk orang itu, karena sebenarnya Tía akan menerima apa saja. Terpikir juga untuk membelikannya jam tangan, namun kurang cocok dengan gayanya. Lalu ketika sedang berselancar di Youtube berminggu-minggu setelahnya, ada satu iklan yang menayangkan alat-alat elektronik untuk dapur. Dan karena Tía juga sering membuatkanku makanan, akhirnya aku memutuskan untuk membelikannya alat pembuat waffle.
***
Sama seperti remaja-remaja perempuan pada umumnya, kami juga terkadang bertengkar dan adu mulut. Kami pernah bertengkar karena suatu hal yang membuatku sangat marah padanya. Dia menyebutku egois dan aku menyebutnya tidak tahu diri. Saat itu aku memutuskan untuk tidak akan pernah mau berbicara lagi padanya selamanya, kejengkelanku benar-benar sudah di puncak. Namun keesokan harinya dia mendatangiku dengan santai sambil membawa sandwich dan semuanya baik-baik saja.
Aku tahu. Aku memang semurah itu. Seharusnya aku menahan amarahku lebih lama lagi karena memang Tía yang salah dan bersikap menyebalkan. Tapi, ya, masalahnya amarahku tidak tersisa terlalu banyak jadi, mau tidak mau, bisa dibilang kami berbaikan begitu saja. Atau pertengkaran kami kemarin hanya angin lewat saja. Itu juga menyebalkan. Karena Tía memang kadang-kadang bisa menjadi sangat memuakkan dan pantas mendapatkan perlakuan marah yang bertahan cukup lama dariku. Huh.
Waktu aku baru masuk SMP, Tía punya seorang pacar yang tidak pernah ditunjukkannya kepadaku.
“Namanya Nicky.” Dia selalu membicarakan cowok itu. “Dia cinta pertamaku. Kami berpacaran sejak masih kecil. SD kali, ya? Cinta monyet. Putus-nyambung. Sekarang kami balikan lagi, dan sepertinya akan bertahan lama kali ini. Lucu sekali dulu dia suka mengirimi aku surat-surat.”
“Surat-surat apa? Terus si Nicky di mana sekarang?” tanyaku, yang dengan cukup antusias mendengarkan ceritanya.
“Dia masih di Meksiko, tapi pernah bekerja beberapa kali di California. Serabutan, sih. Sekarang Nicky masih tinggal di desa kami.”
“Terus yang surat-surat?”