A Gift For Everyone

Fann Ardian
Chapter #4

Summer Camp Initiate Group

Hmm, sepertinya aku akan melewatkan namanya dulu. Simpan yang paling menarik untuk yang terakhir, bukankah begitu?

Oke, nama selanjutnya. Ah, orang ini termasuk salah satu orang terdekatku dan juga sahabat baikku. Kupersembahkan kepadamu, Joshua Cross, alias Josh Cross. Aku sempat mempertanyakan kenapa semua orang yang bernama Josh selalu adalah kependekan dari nama Joshua? Sepertinya tidak ada satu pun orang yang nama aslinya memang hanya “Josh” saja.  

Dan omong-omong, mencari kado Natal untuk Josh sangat mudah. Aku akan membelikannya sepasang sepatu Nike Air berwarna hitam dan oranye. Aku memang berniat untuk membelikan Josh sepatu olahraga yang sepertinya cocok dengan seleranya, namun kemudian seminggu yang lalu kami berdua nongkrong di Gallerya dan Josh sempat berkata dia menyukai sepatu itu. Semoga saja stoknya masih ada di toko. Seharusnya sih masih ada.

Karena pencarian kado yang satu ini tergolong mudah, aku akan menceritakan sebuah cerita bagaimana awalnya aku dan Josh bisa menjadi the best of friends— teman terbaik dari semua teman, dan tentunya selain itu kami juga duo yang kompak. Aku tidak melebih-lebihkan, aku dan Josh memang seasyik dan senyambung itu. Kami sebaya, tapi Josh lebih muda satu tahun dariku. Pertemanan keren ini berasal dari sebuah perkemahan musim panas beberapa tahun lalu, di mana aku dan Josh ditempatkan di dalam satu grup yang sama.  


***


Pada musim panas sebelum tahun kedua SMA, aku memutuskan untuk mengikuti perkemahan musim panas seorang diri. Yap, benar sekali, aku mendaftar sendiri tanpa mengenal siapapun di perkemahan itu. Bahkan teman-temanku juga tidak tahu bahwa aku mengikuti perkemahan musim panas, mereka hanya pernah mendengar selewat aku mengatakannya. Dan kemudian boom, sampai jumpa San Francisco dan halo Salt Lake City.

Sebenarnya alasanku mengikuti perkemahan adalah karena ingin menemukan sesuatu yang baru, dan tanpa orang-orang yang kukenal atau lingkungan yang familiar. Bisa dibilang semuanya terasa menjemukan waktu itu, bahkan ketika sekolah berakhir dan liburan dimulai. Jadi, aku pergi. Ini adalah satu dari perjalanan-perjalanan pertama yang kulakukan secara solo, dan aku masih bisa mengingat perasaan antisipasi dan pembawaan mandiri yang menyertaiku saat aku menjalaninya. Terasa asing dan dekat dalam waktu yang bersamaan. 

Aku turun dari bus sekitar pukul sepuluh pagi, tepat di depan sebuah gapura kayu yang bertuliskan Selamat Datang. Sambil menggendong tas carrierku, aku memasuki area perkemahan yang berada di sebelah danau yang sudah dipenuhi banyak orang. Aku menghampiri seorang pemandu dan dia memberitahuku kabin nomor berapa yang akan kutinggali. Kabinku berisi delapan tempat tidur tingkat, dan untungnya aku mendapatkan tempat tidur bawah. Aku baru sempat berkenalan dengan dua orang gadis ketika suara keras dari megafon mengangetkan kami. Seluruh campers, sebutan untuk anak-anak yang mengikuti perkemahan, diharapkan untuk berkumpul di tepi danau.

“Kami akan membagi kalian semua ke dalam grup-grup kecil untuk satu minggu ke depan, yang kami beri nama grup inisiasi.” Direktur camp, Cady Singh, mengumumkan. “Setiap akan diadakannya permainan atau aktivitas berkelompok, kalian akan melakukannya bersama grup kalian ini. Baiklah, aku akan membaginya sekarang. Terry Dawn! Grup satu. Nora Albert! Grup dua…”

Lima menit kemudian, aku sudah duduk melingkar bersama grup baruku. Aku dan Josh duduk berhadapan. Pertama kali aku melihatnya, aku menganggap dia cowok yang tampan. Dengan kulit putih, rambut ikal cokelat tua, mata cokelat, dan hidung yang lebar. Aku belum bicara padanya saat itu. Ketika semua orang saling berkenalan, Josh hanya bersikap acuh tak acuh dan langsung pergi begitu saja ketika sepertinya sudah tidak ada yang mau dibicarakan lagi.  

Kami bertemu lagi di malam pembukaan api unggun. Cady berdiri di panggung dan memperkenalkan konselor-konselor yang akan memandu kami selama camp. Entah dari mana awalnya, aku dan salah seorang teman segrupku, Ethan, sedang membicarakan film Bollywood 3 Idiots dan berdebat apakah Shah Rukh Khan memerankan film tersebut atau tidak. Josh yang duduk di depan kami, membalikkan tubuhnya dan menimbrungi obrolan.

“Yang membintangi 3 Idiots itu Aamir Khan, bukan Shah Rukh Khan,” kata Josh kepada kami, tepatnya kepada Ethan. 

“Kan!” seruku pada Ethan. “Aku tahu persis tidak ada Shah Rukh Khan di 3 Idiots karena aku sudah menonton film itu dua kali.”  

Ethan masih terlihat tidak mau mengakuinya. “Tapi waktu itu aku melihat ada dia…”

Setelah itu kami bertiga mengobrol tentang film-film Bollywood yang lain. Tapi sebelum Josh menimbrungi obrolan aku dan Ethan, dia menatap ke arah kami dengan senyuman penuh harap. Aku menyadari tatapannya dan sempat bertanya-tanya di dalam hati kenapa bocah ini tiba-tiba menatap kami? Seperti ingin diajak mengobrol. Josh selalu menyangkalnya setiap kali aku mengungkit momen itu. Dia bilang dia tidak seputus asa itu ingin diajak ngobrol. Tapi, bung, aku tahu apa yang kulihat.

Ternyata, Josh berasal dari Sacramento. Wah, itu dekat dengan San Francisco, jadi aku merasa senang ada orang yang berasal dari negara bagian yang sama denganku. Josh baru pertama kali mengikuti perkemahan musim panas dan dia sendirian juga. Aku merasa kami akan cocok.  

Di hari-hari berikutnya, Josh kembali bersikap acuh tak acuh lagi. Dia lebih banyak menyibukkan diri sendiri, atau sesekali datang menimbrungi obrolan para anggota grup inisiasi dengan antusias lalu pergi lagi entah ke mana. Aku menemukan sikapnya itu cukup mengganggu.  

Lihat selengkapnya