Christie adalah teman terlamaku setelah Candice. Aku sudah mengenalnya sejak kami duduk di kelas 1 SD. Kami selalu satu sekolah sampai SMA, karena Chris sekarang berkuliah di Nevada. Pertemanan kami dekat, walaupun tidak seintens aku dengan Candice, tapi aku dan Chris selalu nongkrong bareng dari waktu ke waktu. Kami tetap menyempatkan memberi kabar kepada satu sama lain sesekali.
Chris adalah gadis yang tomboy ketika dia masih kecil. Dengan wajah tirus, rambut pendek bergelombang di bagian bawahnya, tubuh yang tinggi, dan bola mata hijau pucat. Chris boleh saja seorang gadis tomboy, tapi dia juga gadis yang sangat cantik. Dan yang pasti sudah diduga, banyak cowok yang menyukainya di masa sekolah kami. Seorang gadis cantik yang jago bermain sepak bola dan memiliki gaya yang cool? Bagaimana tidak?
Saat SD, aku dan Chris berada dalam satu kelompok yang sama berisikan empat orang gadis. Bisa dibilang ini adalah grup pertemananku ketika masih SD. Kami sering bersama ketika di sekolah dan pulang bareng saat pelajaran usai. Di masa itu, uang jajanku lebih banyak daripada Chris. Terkadang dia malah tidak diberi uang jajan sama sekali. Jadi biasanya ketika kami berempat sedang bermain bersama, aku akan dengan begitu dermawan membayari cemilan dan mainan-mainan kecil yang dibeli Chris agar dia tetap bisa diikutsertakan denganku dan yang lain.
“Kau ingat saat kita masih SD? Ketika kita nongkrong di 7-Eleven, aku sering mentraktirmu Slurpee dan membagi Cheetosku denganmu? Aku tidak menyangka dulu aku sebaik hati itu padamu,” ujarku kepadanya saat kami sudah SMA.
“Oh iya!” Chris berseru, seperti baru tersadarkan kembali atas perbuatan baikku setelah melupakannya sama sekali. “Terima kasih, shihu, terima kasih,” ucapnya sambil menyatukan kedua telapak tangannya dan menunduk-nunduk kepadamu. “Kedermawananmu yang berharga akan selalu kuingat.”
Chris juga cukup sering berkunjung ke rumahku, dan Tía juga menyukainya. Tentu saja karena rupanya yang cantik dan penampilan semampainya dengan aura yang cool. Maka dari itu Tía sesekali menggodaku dengan membandingkan aku dengan Chris dan cowok-cowok yang dekat dengannya secara natural. Untung saja, aku tidak tersinggung. Walaupun terkadang aku juga suka membayangkan diriku berada di dalam telenovela. Di mana seorang gadis jatuh cinta kepada teman lelakinya, tetapi sang teman lelaki malah menyukai perempuan lain. Menggelikan, aku tahu.
Di SMP, aku masih satu grup pertemanan dengan Chris di sekolah, namun sekarang anggotanya bertambah menjadi enam orang. Salah satu temanku di grup SD, Heina, tidak ada di satu pun kelas-kelas kami. Jadi dia kemudian terpisah dengan sendirinya.
Kami berenam satu kelas di kelas geografi dengan tempat duduk berdekatan, dan kadang-kadang suka mendapat proyek kelompok bersama. Nah, dari sinilah, asal muasal gosip tentang kisah cinta segitiga antara aku, Niall, dan Chris yang digembar-gemborkan Tía. Dengan alur cerita (menurut Tía, yang sebenarnya tidak benar) bahwa aku menyukai Niall, tetapi Niall menyukai Chris, dan Chris tidak diketahui menyukai siapa. Tía memang pembuat novel fiksi yang amatir.
***
Aku masih termenung di kaca pembatas di lantai tiga, memandangi keriuhan di lantas dasar dan orang-orang berlalu-lalang di lantai satu dan dua. Aku masih bimbang antara dua pilihan untuk kado Natal Chris, jaket hoodie putih Uniqlo atau headphone putih JBL. Tadinya aku sudah yakin untuk membelikannya headphone, namun kemudian lima menit yang lalu aku baru saja melewati Uniqlo dan melihat hoodie putih cakep yang terlihat seperti gaya Chris banget. Hmm.