A Gift For Everyone

Fann Ardian
Chapter #6

Tough One, Kinda Interesting

Setahun kemudian setelah mengenal Josh, aku menginap di rumahnya selama tiga malam sebelum kami berdua berangkat ke perkemahan musim panas. Orang tua Josh sangat baik kepadaku. Mereka bahkan menyiapkan kamar tidur tamu senyaman mungkin untukku. Josh mempunyai seorang adik perempuan, Mary, dan seekor anjing jenis basset hound bernama Bob. 

Josh punya seorang teman baik sekaligus tetangga sebelah rumahnya, Nico DiSalva, seorang keturunan Italia-Amerika dengan logat Italianya yang masih kental. Pertama kali aku melihatnya, Nico terlihat seperti orang Amerika dengan sentuhan wajah Italia pada umumnya, tidak ada yang spesial dari cowok itu. 

Aku dan Josh sedang bermain tangkap baseball di halaman depan ketika Nico muncul dari dalam rumahnya. Dia menggenggam ponsel di samping telinganya, menelepon entah dengan siapa, dan berjalan lurus menghampiri Josh. Aku tidak begitu mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi Nico sepertinya menyebut sesuatu tentang kunci mobil dan ingin mengantar seseorang. Mereka berdua kemudian bergegas menuju rumah Josh. Sembari menunggu Josh masuk ke dalam rumahnya, Nico menunggu di beranda. Selama itu juga, Nico sama sekali tidak mengacuhkanku. Josh kembali dan memberikan kunci mobil kepadanya, mengenalkan Nico sebentar kepadaku, aku dan Nico bertukar sapa singkat, dan kemudian dia pergi.   

Aku membungkuk untuk mengambil bola baseball di rumput. “Itu Nico yang pernah kau ceritakan?” tanyaku. Josh sempat beberapa kali menyebut-nyebut tentang teman dekatnya yang tinggal di sebelah rumah. Aku memang sudah berkunjung beberapa kali ke rumah Josh, tapi aku belum pernah melihat Nico sebelumnya. 

“Yep.” Josh mengangguk. “Dia ingin pinjam mobilku untuk mengantar kakaknya. Mobilnya sedang berada di bengkel,” jelasnya sambil kembali memakai sarung tangan. 

Pada mulanya, pagi tadi aku berniat untuk pergi berenang, tapi tidak jadi karena kolam renang yang ada di lingkungan perumahan Josh sedang ditutup. Renovasi. Menyebalkan sekali. Menjelang sore, aku memutuskan untuk mengajak Josh pergi denganku mencari kolam renang lain karena aku masih ingin berenang.

“Ih, sudah sore juga matahari masih terik sekali,” keluhku, menudungi kedua mata dengan telapak tangan. Aku tidak suka berjemur, dan tidak suka kulitku menjadi gosong karenanya.  

“Namanya juga musim panas,” celetuk Josh. Dia duduk di kursi beranda. “Jadi bagaimana, mau tetap pergi berenang, tidak?”

Kami, lebih tepatnya aku, masih berkutat di beranda rumah dengan pilihan tetap pergi berenang dan tersengat sinar matahari atau tidak jadi pergi berenang dan makan es krim di kedai terdekat ketika mobil Josh menepi di jalur masuk rumahnya. Nico keluar dari dalam mobil, melemparkan kunci mobil kepada Josh, dan duduk di pagar beranda.

“Hari ini panas sekali, bro,” ujar Nico, kepada Josh, sambil mengipas-ngipas leher dengan kausnya. “Mau berenang, tidak?”

“Tuh, dia juga mau berenang.” Josh menganggukkan dagunya ke arahku.  

Nico tidak menggubrisnya. “Berenang yuk.”

“Tapi mataharinya menyengat. Ini sinarnya membakar sekali, lho,” timbrungku, yang kuingat terdengar cukup riang. Aku merasa ini waktu di mana orang-orang mulai berteman. 

Lagi, Nico tidak menggubrisnya. Tatapannya tetap tertuju pada Josh. “Mau tidak? Lebih baik kau ambil handuk sekarang.”

Aku kembali mengulang kalimatku yang terakhir.

Lihat selengkapnya