Oke, pada waktu ini kau mungkin sudah berpikir bahwa aku memiliki banyak sahabat. Tapi perlu ditekankan kalau aku bertemu dan berteman dengan mereka di fase-fase yang berbeda dalam hidupku. Jadi seperti aku punya beberapa orang terdekat yang tinggal di sekitar rumahku, tentu saja ada yang dari masa sekolah SD, SMP, dan SMA (dari SD ke SMP rata-rata orang-orangnya sama), lalu ada lagi yang dari perkemahan musim panas. Belum lagi dari masa kuliahku sekarang. Jadi… oke, well, aku memang punya cukup banyak orang untuk dibicarakan.
***
Nama berikutnya adalah Sonia. Dia adalah sahabatku dari awal masa SMA. Sebenarnya aku, Sonia, dan Bethany berada di kelas yang sama waktu di sekolah. Ini adalah salah satu momen di mana aku tidak bisa mengingat bagaimana tepatnya aku bisa menjadi akrab dengan seseorang. Sepertinya aku dan Sonia tiba-tiba selalu bersama saja. Selain di sekolah, aku juga jadi sering jalan bareng dengannya ke mall atau menonton bioskop. Itu semua terjadi begitu saja dan kami langsung klop.
Gallerya adalah tempat jalan-jalan favoritku dengan Sonia. Sonia suka belanja dan juga window shopping— hanya melihat-lihat saja. Dia termasuk pembeli yang belanja dengan cepat. Kalau dia menyukai sesuatu, dia akan langsung mengambilnya tanpa harus berpikir atau mempertimbangkan barang yang lain dulu. Dalam hal uang, Sonia sama royalnya dengan Bethany. Bahkan mungkin lebih royal.
“Eh, baju yang ini bagus,” ujarnya. Ia mengambil satu baju saat kami sedang berada di toko pakaian. Sonia memegang baju itu di hadapan wajahnya. “Sekarang makin panas di sini karena sudah pertengahan Juli. Aku perlu kaus tipis yang flowy dan adem.”
Aku muncul di belakangnya. “Di bagian sana lebih banyak baju-baju yang lebih lucu dan estetik. Bahan-bahannya juga nyaman,” kataku seraya menunjuk arah dari mana aku datang.
“Nah, aku akan membeli yang ini saja,” jawabnya dan langsung membawa baju itu ke kasir. Sonia bahkan tidak repot-repot mencoba ukurannya setelah menemukan bahwa baju itu cocok dengannya.
Sama halnya ketika aku dan Sonia sedang berdiskusi mau menonton film apa di bioskop. Tidak jarang sebenarnya kami juga tidak tahu ingin menonton apa, tapi hanya ingin menonton saja. Sonia akan dengan santai membuka setiap trailer film-film yang sedang diputar pada saat itu dan memilih mana yang paling bagus atau cukup bagus untuk ditonton. Sebagian besar waktu, aku lebih memilih untuk tidak menonton jika memang tidak ada yang membuatku tertarik, tapi tidak dengan Sonia. Dia cenderung senang memilih film secara acak dan mengikuti alurnya, kemudian memutuskan apakah film ini bagus atau tidak.
Aku rasa dia hanya memang sangat menyukai menonton film.
Dan itu adalah persamaan paling utama di antara kami. Aku dan Sonia sangat menyukai film, terutama film-film fantasi. Kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam membicarakan tentang dunia sebuah film dan fangirling terhadap karakter-karakter di dalamnya. Kami juga sering membicarakan tentang novel, karena banyak film-film fantasi yang diangkat dan diadaptasi dari buku. Aku memahami dirinya dalam hal tersebut and dia juga memahamiku.
“Aku sempat mendengar kalau mereka akan memproduksi film Narnia yang keempat, The Silver Chair, tapi sampai sekarang malah tidak ada kabarnya lagi,” keluhku, ketika beberapa konten tentang Narnia lewat di beranda Instagramku.
Sonia mendongak dari ponselnya. “Memangnya mereka pernah mengatakan itu?”
Aku hanya mengedikkan bahu. “Kupikir aku pernah membacanya di suatu tempat.”
“Tahu tidak apa yang akan lebih baik,” ujar Sonia. “Seharusnya mereka membuat serial Narnia dari buku pertama. Ya, aku tahu ceritanya tidak melulu tentang Pevensie bersaudara, tapi The Chronicles of Narnia ini bukunya sudah terkenal sekali. Pasti franchisenya bagus jika dieksekusi dengan benar.”
“Aku setuju denganmu,” balasku sambil mengangguk-ngangguk. “Tapi kalau mereka membuatnya sekarang sudah terlambat, sih. Para aktornya sudah pada dewasa. Aku tidak bisa membayangkan Edmund yang lain,” tambahku dengan telapak tangan menangkup pipiku.
“Aku pikir Peter jauh lebih baik daripada Edmund. Dia lebih bijak dan bertanggung jawab.”
“Tapi Peter juga terkadang menyebalkan. Dia jarang memikirkan situasi Edmund.”
“Itu karena Edmund ketus dan suka menyendiri, bukan?”
Aku menggeleng-geleng. “Tidak, tidak, tidak.” Sebenarnya aku hanya tidak ingin berpikir logis karena Edmund Pevensie adalah karakter fiksi pertama di televisi yang kutaksir.
Sonia memandangku dengan tatapan yang sayu dan sabar. “Liv, kau harus melihat kenyataan.”
“Selalu ada alasan lain yang tersembunyi dari setiap tindakan-tindakan para karakter. Kalau begitu, kau juga harus menerima kenyataan kalau Draco Malfoy memang aslinya tidak ramah dan licik.” Aku memberikan argumen lain.
Mata Sonia menyala. “Ih, tidak ya! Draco itu terpengaruhi oleh keluarganya!”