Behold, teman-temanku sekalian, ini adalah cerita yang telah kau tunggu-tunggu. May I warn you, cerita ini akan terdengar begitu dreamy sehingga kau berangan-angan dan berpikir apakah dirimu berada di dalam negeri dongeng. Baiklah, mungkin aku terlalu berlebihan. Tapi mari kita ubah sedikit setting tata cerita untuk bab ini. Aku akan membumbuinya dengan segenggam bubuk peri berkilauan. Cerita ini dimulai ketika aku menemukan sebuah kerajaan baru di dataran nun jauh, alias masuk universitas, dan bertemu dengan seorang pemuda tampan dan baik hati bernama Randy Alvarez.
Dari namanya saja sudah terdengar seperti seorang pangeran, bukan?
***
Hari itu semua penduduk diwajibkan untuk menghadiri penobatan putri raja sebagai seorang ratu. Sang raja berpikir sudah saatnya dirinya menyerahkan kepemimpinan kerajaan kepada putrinya yang cerdas dan tangguh. Maka dari itu, si gadis, yang baru saja pindah ke wilayah tersebut, juga ikut serta menghadiri acara penobatan sang putri.
Si gadis menyiapkan dirinya dengan sempurna. Dia mengenakan gaun terbaiknya dan juga bandana, tidak lupa sepatu boots cokelat kesayangannya. Rumahnya cukup jauh dari istana. Jadi dia harus berangkat lebih awal dan berharap tidak terlambat untuk tiba di sana.
Ketika si gadis sampai di istana, dia sangat terkejut melihat seluruh penduduk mengenakan jubah putih. Si gadis sama sekali tidak tahu tentang ini. Apakah para penduduk setempat mengenakan pakaian tertentu saat menghadiri acara kerajaan? Si gadis hanya memiliki satu teman di kota ini, dan dia tidak melihat temannya di mana pun. Dia melihat-lihat isi keranjangnya, tapi dirinya memang tidak membawa jubah putih. Si gadis menjadi gelisah.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak penduduk kerajaan yang datang, dan semuanya mengenakan jubah putih. Si gadis mengawasi seluruh halaman istana sambil menggigit bibirnya. Dia memutuskan untuk menghampiri dua orang pemuda yang sedang bercakap-cakap di dekat gerbang.
“Permisi,” sapa si gadis. “Aku ingin bertanya. Apakah mengenakan jubah putih diharuskan ketika menghadiri acara kerajaan? Soalnya aku tidak membawanya.”
Kedua pemuda itu saling berpandangan. Pemuda yang bertubuh lebih gempal menjawab. “Wah, kami kurang tahu. Tapi dari dulu semua penduduk selalu mengenakan jubah putih setiap ada acara dari istana.”
“Apa kau tahu di mana aku bisa mendapatkan jubah putih itu?” tanya si gadis lagi.
“Jubah ini diberikan langsung oleh pihak istana. Kami tidak tahu tempat lain untuk mendapatkannya.”
Si gadis kecewa. Dia lantas mengucapkan terima kasih pada kedua pemuda itu dan kembali celingak-celinguk memerhatikan setiap orang di halaman. Sejauh ini, dia tidak melihat satu pun penduduk yang tidak mengenakan jubah. Si gadis mendesah. Dia berharap paling tidak ada satu orang lagi saja yang tidak mengenakan jubah seperti dirinya.
Kemudian si gadis menemukan segerombolan perempuan muda di dekat air mancur. Salah seorang dari mereka tidak memakai jubah. Secercah harapan muncul di benaknya. Dia dengan sigap menghampiri perempuan itu dan bertanya. “Apakah kau tidak membawa jubah juga?”
Perempuan itu mendongak. “Tidak. Aku membawa jubah,” jawabnya. Perempuan itu seperti menatapnya dengan ketus. Wajahnya tidak ramah.
Bahu si gadis merosot. “Oh, kukira kau tidak membawanya.”
“Aku bawa.” Perempuan itu kembali membalas si gadis dengan datar.