Jeng, jeng, jeng, jeng, akhirnya kita tiba di kado Natal terakhir! Fyuh, lelah juga ya, kak. Pertama-tama, jangan mencoba-coba berpikir untuk menggodaku karena judul bab ini. Aku sudah berusaha selow-key mungkin untuk terlihat normal dan tidak terlalu terlihat seperti gadis yang sedang jatuh cinta, karena itu akan terkesan berlebihan dan aku ingin tetap mempertahankan citra eleganku. Seharusnya aku membeli kado untuk orang ini di bab-bab awal, tapi berhubung aku masih belum dapat memutuskan untuk memberinya kado apa, jadi kulewatkan saja. Hehe. Seperti yang sudah kubilang, simpan yang terbaik untuk yang terakhir.
Oke, dari mana aku memulainya? Danny Anderson, alias pacarku. Yap, teman-teman, aku mengatakannya. Pacarku. Sang atlet basket yang tinggi ramping tapi berotot, dengan rambut gelap dan mata hazelnya yang sipit. Dan tidak, namanya memang Danny. Bukan kependekan dari Daniel atau semacamnya. Aku sempat memikirkan tentang serial kartun Danny Phantom, salah satu kartun favoritku sewaktu kecil, saat awal-awal mengenalnya. Aku bisa membayangkan Danny Anderson yang lebih muda terlihat seperti karakter Danny dari serial itu, dengan perbedaan warna bola mata dan sedikit banyak dari kepribadian mereka.
Tidak seperti Danny di kartun yang memberikan kesan a good boy next door, Danny yang ini adalah seorang prankster. Aku tahu kami bertemu saat kuliah dan seharusnya orang-orang sudah menjadi lebih beradab, tapi tidak dengan Danny. Dia tetap senang berbuat iseng dan melakukan sesuatu dengan ide-ide gilanya yang patut dipertanyakan. Cengiran jailnya juga lebih sering membuat orang-orang ingin menjitak kepalanya.
Sebenarnya itu aku saja, sih.
“Liv, kau harus mengerti. Suatu hari nanti kau akan berterima kasih padaku karena sifatku yang asyik dan menarik ini telah membuat hari-harimu selalu menyenangkan,” kata Danny kepadaku di suatu sore ketika kami sedang nongkrong di McDonald’s.
Aku dan Danny sudah berpacaran selama dua tahun. Dan aku bisa berkata itu adalah salah satu dua tahun terbaik dalam hidupku, tidak seperti aku akan memberitahukannya kepada Danny. Kami jadian cukup awal di kampus pada akhir tahun. Kami berada di kelas yang sama dan dia sesekali akan mengajakku bicara. Lebih ke bercanda sebenarnya. Tapi titik awal di mana aku mulai sering mengobrol dengannya dan benar-benar menyadari kehadirannya di kelas adalah waktu dia mengirimiku pesan untuk pertama kalinya. Bukan seperti Danny tidak cukup mencolok di antara teman-teman seangkatan kami, hanya saja aku tidak terlalu mengenalnya. Ya, dia memang menarik, sih, tapi seperti “ya sudah” begitu, lho.
Bro, nanti turnamen basket jam berapa? Itu adalah pesan pertama yang dia kirimkan kepadaku. Aku tidak menyimpan nomornya pada saat itu, jadi aku tidak tahu siapa yang mengirim pesan.
Maaf, siapa ya? Aku membalasnya.
Eh, ini bukan Gavin Scott, ya? Dari yang kuingat, Danny membalas cukup cepat.
Siapa pula Gavin Scott? Aku hanya menjawab Bukan.
Lalu ini nomor siapa?
Aku mengerutkan kening. Dia yang mengirim pesan, dia juga yang bertanya siapa yang dikirimkannya pesan? Olivia Calvey. Jurusan produksi media. Aku merasa harus menambahkan jurusan kuliahku agar lebih jelas.
Oh! Kau berada di kelas publikasi juga, ya? Nomor tak dikenal ini bertanya lagi, yang membuatku sekarang terkejut.
Dari mana kau tahu? Memangnya ini siapa? Balasku langsung.
Danny Anderson. Kita satu kelas.
***
Lihat, betapa mulusnya pendekatan Danny waktu itu? Aku saja tidak habis pikir. Kenapa dia harus repot-repot bersandiwara alih-alih langsung mengajakku berkenalan lebih dekat saja? Danny hanya tersenyum congkak ketika aku menanyakan itu kepadanya. Dia bilang, tidak seru jadinya kalau dia langsung menyapaku, lebih baik membumbuinya sedikit.
Nah, mari kita kembali pada tugas penting di tangan yang harus segera diselesaikan. Sampai detik ini, aku belum tahu harus membelikan kado Natal apa untuk Danny. Semuanya terasa kurang dan tidak cocok. Aku bahkan sudah mengganti lima kali ide kado untuknya. Dari bola basket, parfum, sampai dengan botol termos ukuran sedang. Tidak ada yang benar-benar membuatku sreg.
[“Ya ampun, Liv, kapan kau akan tiba di sini? Aku sudah hampir lumutan menunggumu. Untungnya saja hari ini ada menu kopi beli satu gratis satu,”] celoteh Candice langsung ketika dia mengangkat panggilan telepon dariku.
“Sori. Aku hanya perlu membeli satu kado lagi, kok,” balasku agak merasa bersalah. “Tapi aku kesulitan memilih kado untuk Danny. Semuanya tidak ada yang menarik.”
Candice termenung sesaat. [“Kau tidak jadi membelikannya jersey NBA koleksi terbatas itu?”]