Aku sudah pernah ke Staples Center beberapa kali sebelumnya, yang sekarang berganti nama menjadi Crypto.com Arena, untuk menonton turnamen basket dan konser musik. Cuacanya dingin dan cerah seperti biasa di Los Angeles. Aku membuka pintu pengemudi dan memakai kacamata hitamku, membiarkan angin menerbangkan rambutku ke belakang. Well, ini pasti seru.
Hari ini malam Natal dan seharusnya semuanya sudah dibereskan menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru, tapi Danny memberitahuku jika dia masih akan bermain di satu turnamen terakhir sebelum penutupan tahun. Ini bukan turnamen besar, hanya turnamen pertemanan antar klub, tapi tetap saja banyak diminati. Dan mereka berhasil mendapatkan Crypto.com Arena sebagai tempat turnamen mereka. Tentu saja itu membuat Danny senang bukan main, mengingat dia hanya pernah bermain satu kali di Crypto. Dan berita baiknya lagi, turnamennya dilaksanakan di tanggal 24 Desember.
Aku berangkat kemarin pagi dan sampai di Los Angeles sekitar sore hari, menempuh tujuh jam perjalanan yang mengejutkannya tidak terlalu ramai, dan menginap di hotel demi menyaksikan turnamen Danny. Aku bahkan membeli tiket turnamen yang premium, di mana aku bisa masuk dan menonton mereka saat pemanasan sebelum turnamen dimulai. Aku harap Danny akan senang dengan kedatanganku.
Setelah melewati bagian pengecekan, aku masuk ke arena utama. Sudah ada sekumpulan orang di bangku-bangku penonton, menyaksikan para pemain yang sedang berlari dan saling melempar bola. Aku berdiri di bawah tribun, mengamati setiap pemain sampai aku menemukan orang yang kucari.
Danny di sana sedang mendribble bola, melakukan crossover, lalu lari memutar dan melompat untuk menembak bola. Masuk. Aku bertepuk tangan. Dia mengenakan celana basket merah dan kaus putih dengan pola-pola warna merah. Dia belum melihatku. Aku membiarkannya menikmati waktunya tanpa gangguan.
Tidak lama kemudian, dia menoleh ke arah tempatku berdiri. Aku menegakkan tubuh dan melambaikan tangan. Senyuman bangga menghiasi wajahku. Danny menyipitkan mata beberapa saat, lalu wajahnya berubah terkejut dan kedua matanya melebar. Dia berbicara sebentar kepada seseorang, dan kemudian berlari menghampiriku.
“Liv! Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya sebelum dia benar-benar sampai di hadapanku. Danny langsung memelukku, dan tubuhku terangkat sedikit. Wajahnya berseri-seri.
“Apa lagi? Aku datang untuk menonton turnamenmu.” Aku menjawab setelah dia menurunkanku. Aku merentangkan kedua tangan sambil mengedikkan satu bahu.
Ekspresi Danny terlihat agak skeptis. “Kenapa? Kau tidak pernah mau datang setiap kuundang untuk menonton turnamenku.”
“Jika turnamenmu di Los Angeles. Aku sering menonton turnamenmu di San Francisco, kau lebih baik mengingatnya,” tudingku dengan nada bercanda.
“Tapi sekarang turnamennya kan di Los Angeles?”
Danny sepertinya belum benar-benar menyadari aku menempuh berjam-jam perjalanan untuknya. “Hmm, kurasa selalu ada yang pertama untuk segalanya.”
Danny hanya menatapku selama tiga detik. “Yah, apapun alasannya aku senang sekali kau sekarang di sini,” ungkapnya dengan cengiran lebar. “Kau sebaiknya tidak mengalihkan pandanganmu ketika turnamen nanti. Aku akan membuatmu terpesona sampai kau bersorak-sorak heboh.”