Ia adalah anak yang mampu membuat segalanya bergerak
Hanya satu hal yang berada di luar jangkauannya
Hanya satu hal
Yaitu dirinya
Terlalu banyak cerita yang beredar di antara mereka, dari mulut ke mulut hingga seluruh penjuru desa mengetahuinya. Dari beberapa cerita yang kutahu, cerita keluhan orang tua terhadap tingkah laku anaknya kian merajalela. Aku berpikir dan berpikir, apa tujuan mereka membocorkan rahasia keluarga mereka. Bukankah dengan memberitahukan itu sama saja dengan menjual kekuranganmu demi sesuatu yang bahkan aku tak tahu apa. Satu-satunya alasan yang dapat kupikirkan adalah mereka yang datang ke dunia ini dengan wujud dewasa dan belum memahami bagaimana perilaku anak-anak. Mereka datang, bukan terlahir, mereka diberikan ingatan, bukan bualan, ya walaupun ada satu kekurangan yaitu pengetahuan. Entah mengapa rasanya aku berbeda dengan orang di desa, meskipun aku memiliki ciri tubuh yang sama. Kami memang sanggup berpikir, tetapi orang desa tak sanggup belajar. Mereka dapat mengetahui makna suatu kata tetapi tak tahu cara menggunakannya. Mereka memahami solusi tetapi tak tahu cara adaptasi. Ya, inilah salah satu alasan mengapa aku berbuat seperti ini, membantu tanpa henti hingga temukan suatu cara agar mereka mampu belajar dan berpikir mandiri. Menerima adalah jalan termudah, percaya bahwa kelebihan ini adalah alasanku berada disini.
Melihat manusia kecil yang terlahir ke dunia tanpa suatu alasan dan suatu pilihan ditambah dengan perlakuan yang tidak mengenakkan, membuatku geram. Orang yang dulunya hidup rukun, harmoni, dan penuh kedamaian, perlahan berubah menjadi suatu yang buruk karena muncul suatu hal yang tidak mereka ketahui yang kita sebut dengan anak. Dulunya kami sebut dengan manusia kecil tetapi karena tubuh mereka semakin besar dan tidak cocok dengan kata kecil. Akhirnya, kami menganti kata tersebut menjadi anak. Penyebutan wanita dan pria yang telah memiliki anak pun berganti menjadi orang tua. Mungkin akan aku bahas nanti, di bagian yang berbeda dengan nama bahasa dengan cerita indah dan duka dibaliknya.
Semua orang tua yang bergunjing tentang anaknya memang membuatku kesal tetapi ada satu pasangan orang tua yang memicu batas emosiku. Mereka memiliki anak yang bertubuh berbeda dari anak lain. Ia tidak bisa menggerakkan kakinya karena salah satu kakinya tidak memiliki bentuk yang sempurna. Kedua orang tua anak itu selalu mengeluh dan mengeluh kepada warga desa lainnya. Mereka bilang bawa mereka mendapat kesialan terbesar dalam hidupnya, mereka tidak beruntung, anak yang taunya hanya malas-malasan saja, tidak bisa membantu orang tua, dan bukan anak yang bisa dibanggakan. Entah apalagi yang mereka ucapkan, mengingat perkataan itu saja membuatku kesal.
Anaknya lebih tepatnya anak laki-lakinya memang tidak bisa membantu kedua orang tuanya melakukan pekerjaan rumah seperti anak lain. Menjadi anak laki-laki yang bisa pergi ke ladang bersama orang tua laki-lakinya hanya bisa ia wujudkan dalam angan. Di rumahnya, ia menghabiskan waktu dengan menulis buku atau menggambar berbagai hal aneh. Akan tetapi, itu bukan berarti bahwa ia hanya membuang waktu sia – sia. Ia ingin menghentikan kata orang yang menyebutnya sebagai anak “pemalas” yang hanya bisa bertompang pada tongkat. Ia berpikir mencari cara agar ia dapat bergerak seperti anak lainnya. Kemudian, aku memberinya sebuah buku yang aku tulis tentang cara membuat berbagai benda dan kegunaannya. Ia pun membaca buku itu, menulis, dan menggambar sesuatu dari apa yang telah ia peroleh dari buku pemberianku itu.
Kerja kerasnya membuahkan hasil. Ia datang ke pengrajin di desa untuk membuat benda bulat dan suatu alat yang telah ia gambarkan. Di rumah pengrajin desa adalah tempatnya menghabiskan waktu. Pengrajin desa merasa senang mendapat teman yang memiliki kegemaran yang sama. Lagi pula ia tak memiliki pasangan atau anak sehingga bersamanya, ia dapat mengobati rasa kesendiriannya.
Setelah beberapa hari berjalan, alat pesanannya telah selesai dibuat. Kemudian, ia mengambil kursi tak terpakai di rumahnya dan memasangkan benda bulat yang ia sebut dengan roda beserta alat aneh yang ia sebut gerigi. Ketika semua sudah terpasang, ia duduk di kursi tersebut dan ia dapat bergerak dengan memutar rodanya. Pengrajin desa kagum dengan alat baru yang anak itu buat. Ia pun meminta anak itu untuk membantunya bekerja menjadi pengrajin dan mengajarinya cara menciptakan alat-alat seperti itu. Dengan gembira ia menerima permintaan itu. Inilah pertama kali ia merasa diterima, berguna bagi orang lain, dan ia mampu membuktikan bahwa apa yang orang tuanya katakan adalah suatu kesalahan.
Ia pun pulang kembali ke rumahnya menggunakan kursi roda yang ia buat. Di sepanjang jalan, warga desa melihatnya dan tak jarang mereka menghentikan dia untuk bertanya tentang apa yang dinaikinya. Perasaan senangnya semakin memuncak. Raut wajahnya yang kemerahan beserta senyum lebar di mulutnya tak ia lepaskan semenjak keluar dari rumah pengrajin desa. Namun, semua kesenangan itu berakhir ketika ia meminta ijin kepada kedua orang tuanya. Mereka memang mengijinkan dia untuk membantu pengrajin desa bekerja sembari tetap merendahkannya.
“Iya, pergilah sana ke pengrajin. Di rumah kau tak mampu lakukan apapun, disana mungkin kau hanya merepotkan pengrajin. Alat yang kau buat ini hanyalah hasil dari pohon keberuntunganmu yang tak akan lagi berbuah. Setidaknya pohon itu pernah berbuah dan kau sekarang takkan lagi menyusahkanku.”. Itulah berkataannya, perkataan yang menunjukkan kegagalan mereka menjadi manusia. Mungkin aku juga tak pantas mengatakan hal itu. Aku tak pernah berhubungan dengan orang lain, aku tak mengalami, dan merasakan apa yang dia rasakan. Akan tetapi, ah, susah menjelaskannya. Aku rasa kau juga akan berpikir seperti itu kan.
* * * * *
Keseharian sang anak kursi roda setelah bekerja bersama sang pengrajin menjadi lebih baik daripada ketika ia hanya menghabiskan waktu di rumah. Ia pun membuat alat yang membantu warga desa yang meladang. Ia menggabungkannya roda, wadah, dan tangkai. Hasil dari penggabungan itu berguna untuk memudahkan warga desa mengangkut hasil ladang mereka. Biasanya mereka harus mengangkut hasil ladang mereka dengan tangannya dan merasakan beban berat itu di sepanjang jalan. Karena alat itu, mereka dapat mengangkut hasil ladang lebih banyak, cepat, dan tidak membuang tenaga. Alat itu ia namakan dengan gerobak.
Gerobak menjadi alat yang sangat membantu warga meladang. Kehadiran alat itu membuat sang anak kursi roda semakin dihargai di desa. Tak hanya itu, apa yang telah ia lakukan membawanya menjadi salah satu orang penting di desa. Selain itu, banyak warga desa yang sering mengajaknya berbicara hingga memintanya untuk mengajarkan cara membuatnya. Mereka juga sering mendekatinya, memberikannya makanan, dan menyapanya. Hal ini sangat berbeda dengan perilaku warga sebelum anak ini membuat alat buatannya. Mereka tak pernah berbicara dengan anak itu atau hanya sekedar menyapa. Mereka hanya membicarakan anak itu dari belakang. Ya, tentu saja kalian tahu apa yang mereka bicarakan.
Hal ini tidak berpengaruh dengan kedua orang tuanya. Mereka tak pernah mengunjungi anaknya bekerja atau memuji apa yang ia buat. Bahkan saat ini, orang tua wanita anak itu tengah berbadan besar. Sepertinya bukan karena makan banyak, tetapi karena ada manusia kecil lain yang akan lahir dari lubang miliknya. Sepasang kekasih itu lebih fokus pada manusia kecil yang belum menampakkan wujudnya daripada anak yang telah dilahirkannya. Mungkin mereka tak puas dengan kekurangan yang anaknya miliki dan memilih untuk membuat anak tanpa kekurangan daripada memperbaiki atau menerima yang mereka punya. Aku tak tahu harus mengatakan apa. Kita lihat saja rencana apa yang akan makhluk yang aku tak tahu siapa itu jalankan.
* * * * *
Sudah lama aku tak memperhatikan kehidupan sang anak dengan kursi roda itu. Kehidupannya yang terlihat lebih baik membuatku merasa tak perlu terfokus pada dirinya. Ia menjalani kehidupannya sebagai sang penemu di desa. Ia tetap membuat berbagai barang dengan kepala dan tangan yang luar biasa.Tentu saja dengan dua orang tua yang tak pernah berubah itu. Bahkan semenjak anak yang sesempurnanya itu lahir, mereka juga mempengaruhi agar anaknya itu membenci kakaknya. Oh iya, itu adalah kata baru yang digunakan untuk menyebut anak yang lebih tua. Sedangkan kata “adik” untuk menyebut anak yang lebih muda.
Ada suatu kejadian yang pernah dialami oleh adik dari anak berkursi roda ini. Suatu ketika ia pernah hilang dari desa. Ia tak nampak bermain bersama dengan anak seusianya atau bersama orang tuanya di rumah. Namun, ketika sore hari ia kembali ke desa. Dari arah di berjalan, dia pergi dari arah hutan. Kejadian ini menjadi salah satu alasan hutan menjadi semakin ditakuti dan menjadi tempat terlarang bagi anak – anak untuk bermain. Saat itu, sang kakak atau sang anak berkursi roda itu juga tak ada di desa. Banyak warga desa yang berpikiran bahwa sang kakaklah yang membawa pergi adiknya dan melakukan sesuatu yang jahat pada adik kecilnya. Pikiran jahat warga kepada sang kakak sepertinya memang tak dapat dihilangkan dari pikiran mereka. Akan tetapi, ketika mereka berhadapan dengan sang kakak, mereka akan tersenyum. Tentu saja mereka tak mau kehilangan bantuan dari sang penemu desa kan. Ya, itu adalah hal penting yang perlu kau catat tentang manusia.
Dari kejadian itu, perilaku sang adik berubah. Sebelumnya ia selalu mengabaikan kakaknya atau mungkin ia sudah melupakan bahwa ia memiliki kakak. Sekarang, ia terlihat sering mengintip dari jendela rumah sang pengrajin untuk melihat kakaknya. Ia juga sering mengikuti kakaknya pergi. Meskipun ia mengikuti dari jarak jauh dan tak pernah berhadapan langsung, setidaknya sekarang ia sudah memandang kakaknya.
Pendekatan yang dilakukan oleh sang adik kepada kakanya disadari oleh kedua orang tuanya. Pendekatan ini bukanlah suatu hal yang mereka inginkan. Mereka tak ingin anak sempurnanya bergabung bersama anak gagalnya. Ah, mencoba memikirkan pikiran dan perilaku mereka ternyata lebih mengesalkan dari yang aku kira. Sikap mereka yang sungguh tak tahu batas itu tak kunjung menghilang.
Cara yang kedua orang tua lakukan itu untuk menjauhkan sang adik dari sang kakak adalah mengawasi sang adik setiap waktu. Dua orang tersebut bergantian menjaga anaknya. Ketika pagi hingga siang, sang wanita mengantar dan menunggu anaknya bermasin bersama anak lain. Sang wanita tak melepaskan sedikit pun celah bagi sang adik untuk mendekati rumah sang pengrajin. Sedangkan, ketika sore atau ketika sang pria telah pulang dari ladang, giliran pria itulah yang mengalihkan perhatian sang adik dari sang kakak. Sang pria itu megajaknya entah untuk bermain atau berjalan – jalan. Saat malam hari, dua orang tua itu tak membiarkan anaknya untuk tidur di kamarnya sendiri. Mereka bertiga akan tidur bersama di satu tempat tidur. Keseharian itu berulang terus – menerus hingga saat ini.
Keseharian sang adik yang selalu mengahabiskan waktu bersama dua orang tuanya ternyata menjadi pemandangan dari balik jendela sang rumah pengrajin. Pemandangan itu tertangkap mata sang kakak dan membuat kesedihan dalam dirinya. Perasaan untuk disayangi yang tak pernah ia rasakan kembali meluap ke permukaan. Hal yang ia pendam itu telah memenuhi dirinya. Perasaan sedih dan marah sudah berada dalam mata dan kepalan tangannya. Dengan banyaknya waktu yang telah dihabiskan bersama, sang pengrajin dapat mengetahui apa yang sang kakak itu rasakan. Kemudian, ia mengalihkan perhatian sang kakak dari jendela itu dan memintanya mengatakan apa yang dia rasakan.
Bercerita atau berbicara tentang hal mengenai dirinya bukanlah hal yang pernah sang kakak lakukan. Akan tetapi, ia memberanikan diri untuk mengeluarkan apa yang ada di pikirannya. Toh ia berbicara dengan orang yang dapat ia percaya. Lalu, ia berbicara panjang dan mengeluarkan segala pikiran dan perkataan yang tak pernah ia sampaikan. Sang pengrajin tersenyum dan mengangguk – angguk tanpa berani untuk menyela sekali pun. “Ia memang butuh berbicara.”. Hanya itu kata yang sang pengrajin katakan dalam gumamnya yang tak terdengar oleh sang kakak.