JAKE
Anak adalah sebuah anugerah terbaik yang pernah ada. Tidak semua orang akan menjaga anaknya seperti anugerah. Namun, aku bukan orang itu, aku akan menjaga anakku apa pun yang terjadi. Aku mempunyai satu gadis cantik, bernama Kaylin. Dia berusia enam tahun. Anak yang begitu manis dan cantik. Aku akan memberikan apa saja agar dia bahagia. Namun, itu saja tidak cukup untuk membuat dia bahagia.
Dia memiliki kanker yang membuat hidupnya tidak lama lagi. Mungkin kalian berpikir, bagaimana anak berusia enam tahun bisa terkena kanker? Itu adalah kesalahanku. Aku tidak bisa menjaganya ibunya dengan baik hingga putriku mengalami penderitaan seperti ini. Aku tidak pernah mengetahui apa yang istriku lakukan sehingga semuanya sudah terlambat. Itu yang membuat Kaylin begitu lemah. Aku bahkan terkejut anak itu masih bisa bertahan hidup hingga sekarang.
“Ayah, menurut Ayah. Kapan aku bisa sembuh?” tanya putriku yang terbaring diranjang rumah sakit.
“Segera. Kamu akan segera sembuh secepatnya. Ayah janji itu,” jawabku sambil tersenyum tipis.
Aku mengatakan itu hanya untuk menyenangkan dia. Baik aku maupun putriku, mengetahui kalau dia tidak memiliki banyak waktu. Aku sebagai seorang ayah hanya bisa mengucapkan kata-kata yang terdengar seperti kebohongan. Berbohong tidak baik, tetapi aku tidak tega berkata jujur kepada putriku.
“Kenapa Ayah terus bilang seperti itu? Ayah tahu aku tidak akan sembuh.”
“Jangan bilang seperti itu. Kamu pasti sembuh dan bisa bermain kembali.” Mendengar itu, putriku hanya bisa tersenyum.
Aku menemaninya hingga dia tertidur, baru aku pergi. Aku harus kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaanku. Aku sebenarnya, takut meninggalkan putriku. Aku takut sesuatu terjadi kepadanya dan aku tidak ada disisinya. Bayangkan jika itu terjadi, aku mungkin adalah ayah terburuk di dunia.
Di depan ruang rawat putriku, sudah ada adikku. Daphne, anak itu adalah pekerja sosial. Terkadang Daphne bercanda akan mengambil putriku, jika aku adalah ayah yang buruk. Namun, anak itu adalah bibi yang baik. Dia selalu sedia menemani putriku, sebagai sahabat putriku. Satu-satunya keluargaku, yang masih ada.
“Bagaimana Kay? Apa dia masih berpikir akan mati?” tanya adikku dengan enteng. Putriku benar-benar bilang kepada orang-orang terdekatnya, kalau dia akan mati. Itu membuat hatiku terluka dan tidak tahu harus bereaksi apa.
“Ya. Dokter bilang, Kay mungkin tidak akan bisa bertahan. Mereka sudah melakukan yang terbaik,” jawabku dengan nada pasrah.
“Apa kau sedih?” tanya adikku yang terdengar konyol.
“Tentu saja. Siapa yang tidak bersedih mendengar putrinya akan mati?” jawabku dengan nada sedikit tinggi.
“Kalau seperti itu. Kamu harus bilang kepada ibunya. Ibunya berhak tahu keadaan putrinya. Kau bahkan tidak bilang kepadanya Kaylin sedang sakit,” tegur adikku.
“Semua ini adalah salahnya. Hal terakhir yang aku inginkan darinya adalah jangan mengganggu putriku,” jawabku dengan kesal.
“Terserah kau,” balas adikku dengan kesal.
Aku langsung pergi. Aku tidak menyukai saat Daphne membicarakan tentang ibu putriku. Dia adalah ibu yang buruk dan Kaylin tidak pantas mendapatkan ibu seperti itu. Kaylin bahkan tidak mengingat ibunya sendiri. Aku bersyukur akan hal itu karena putriku tidak perlu mengingat orang seperti itu.
***
Di kantor, aku hanya sibuk dengan pekerjaanku. Aku menghindari percakapan dengan orang lain karena mereka pasti akan bertanya tentang putri kecilku. Aku tidak ingin mereka merasa kasihan dan tidak mungkin aku berbohong kepada mereka. Lebih baik mereka diam dan takut bertanya. Mungkin mereka sekarang akan menganggap aku sebagai atasan yang tidak ramah.
“Halo! Aku dengar orang-orang sedang membicarakan kamu. Kenapa muka kamu begitu jelek dan berantakan?” ucap Clara yang memasuki ruanganku tanpa mengetuk. Tipikal Clara.
“Aku ini masih atasan kamu. Jadi, ketuk pintu terlebih dahulu,” tegurku.
“Pintu itu terlalu cantik untuk dipukul. Lagi pula, aku kesini untuk melaporkan keuangan perusahaan. Ini adalah bukti kalau aku bekerja,” ucap Clara dengan sinis.
Clara, dia adalah manajer keuanganku. Dia juga temanku. Aku mengenalnya dari salah satu acara. Saat itu dia sedang menjadi pelayan. Aku tertarik kepadanya karena dia adalah anak yang berani kepada atasannya. Walaupun pada akhirnya Clara dipecat. Aku memberikan Clara pekerjaan. Clara sangat pintar memutar uang, maka dari itu aku menyukainya. Clara bilang uang adalah temannya.
“Aku tahu kamu bekerja! Kalau tidak kamu sudah aku pecat,” ucapku dengan kesal.
“Kamu tidak akan berani memecat orang sepertiku. Apa itu benar?” goda Clara sambil berkedip kepadaku.
“Aku tidak tahu, kamu gila karena uang atau kamu menyukai uang hingga gila,” sindirku.
“Seperti yang putrimu katakan. Aku menikah dengan uang.”
“Bagaimana keadaannya? Aku harap dia membaik,” ucap Clara yang membuat aku terdiam.
“Dia … waktunya tidak lama lagi,” balasku yang membuat Clara terkejut.