DAPHNE
Tiga tahun berlalu. Kakakku masa merasa sedih akan kepergian anaknya. Orang itu mulai meminum alkohol setiap hari untuk menghilangkan rasa sedih. Aku tahu itu berbahaya dan itu bisa membuatnya sakit. Mungkin itu adalah yang kakakku inginkan. Dia sudah tidak punya semangat hidup lagi dan tidak tahu ingin melakukan apa dengan hidupnya. Aku benci melihatnya seperti ini.
“Apa kau mabuk?” tanyaku kepada Jake yang terlihat sempoyongan.
“Tidak,” sangkal kakakku. Aku bukanlah orang bodoh yang percaya dengan ucapan itu.
Aku langsung membawa kakakku ke kamarnya dan menaruh orang itu di kasur. Pasti Jake pergi ke bar malam hanya untuk minum-minum. Aku tidak mengetahui harus apa dengan kakakku. Dia sungguh hancur dan tidak ada yang bisa menolongnya. Setidaknya alkohol bodoh itu membuat rasa sedihnya hilang. Namun, saat mabuk kakakku malah selalu mengingau tentang kesedihannya.
“Daphne, apa kau marah?” tanya kakakku yang terdengar sungguh bodoh.
Aku langsung mengambil bantal dan memukul muka orang itu sebanyak-banyaknya. Masih saja bertanya jika aku marah, aku itu murka. Orang itu bertanya seakan hal yang dia lakukan bukanlah hal yang begitu buruk. Di mana otak kakakku hingga tidak bisa berpikir? Aku rasa otaknya hilang bersama akal sehatnya.
“Kau tahu, jika tidak ada aku dan Clara. Kamu sudah menjadi pemabuk jalanan!” ucapku dengan kesal.
“Kay … bagaimana kabarnya?” tanya kakakku, sepertinya dia lupa apa yang telah terjadi.
“Dia sudah tidak ada,” jawabku dengan nada datar.
“Kalau dia pergi, suruh dia kembali. Aku merindukannya.”
“Aku juga merindukannya. Namun, aku tidak menahan kesedihanku hingga menjadi pencandu alkohol! Kau membuatku stres.”
“Kau tidak akan mengerti …”
Ya, memang aku tidak mengerti. Namun, aku ingin berusaha mengerti apa yang kakakku alami. Aku lelah mendengar alasan itu karena Jake sendiri tidak pernah menjelaskan. Bagaimana orang bisa mengerti jika Jake tidak bercerita sama sekali. Aku tahu Jake tidak ingin dikasihani, tetapi ini sudah kelewatan. Terkadang aku tidak mengerti apa yang sebenarnya kakakku pikirkan.
Jake, aku tidak mengerti sama sekali apa yang kau pikirkan. Kau menolak untuk bersedih, menolak pertolongan orang lain, dan menolak untuk merelakan putrimu. Itu bukanlah hal yang sehat. Aku khawatir kau akan membunuh dirimu sendiri dengan memendam semua itu, Jake. Kau tidak berdaya dan kau tidak ingin mengakui hal itu. Bodoh sekali.
“Apa kau tahu? Selama ini aku merasa, aku bukanlah ayah yang baik. Ayah yang baik tidak akan membiarkan anaknya menderita. Kau tahu itu, bukan. Mungkin ibunya akan berpikir aku bukanlah ayah yang baik,” ucap Jake dengan setengah kesadarannya.
“Kau bukanlah ayah yang buruk. Aku bertemu orang tua bajingan setiap hari. Kau bukanlah salah satu dari mereka. Kau tahu itu,” balasku.
Jake tidak menjawabku dan langsung tertidur. Aku tidak mengetahui berapa banyak alkohol yang dia minum hingga seperti ini. Aku hanya bisa pasrah dan menyangkal setiap kalimat buruk yang keluar dari mulutnya. Dia adalah ayah yang baik walaupun dia tidak menyadarinya. Namun, aku tidak mengetahui mengapa dia selalu mengatakan dia adalah ayah yang buruk.
Aku menyelimuti Jake, lalu pergi dari kamarnya. Aku lelah membicarakan hal yang sama setiap tahunnya. Kakakku menolak setiap bantuan dan enggan meminta pertolongan. Aku benar-benar tidak mengerti cara kerja otaknya. Aku merindukan kakakku yang selalu ceria dan bukan seorang pemabuk.
***
Keesokan harinya. Aku kembali bekerja karena lelah dengan semua kelakuan Jake. Jake sepertinya juga tidak memedulikan aku. Jake terus-menerus mengambil cuti kerja hingga beberapa orang kewalahan. Terkadang aku mengambil cuti kerja untuk menjaga Jake. Aku terdengar seperti mengurus anak kecil. Namun, apa boleh buat.
Hari ini, aku pergi ke kantor polisi untuk berbicara dengan seorang anak kecil. Kantor polisi adalah hal yang lumrah untuk diriku. Aku biasanya membantu mencarikan panti asuhan untuk anak yang orang tuanya di penjara. Terkadang beberapa anak sulit dibujuk karena mereka tidak ingin meninggalkan orang tua mereka. Namun, aku rasa anak yang kali ini sungguh berbeda.
“Nama kamu Chloe, bukan. Nama yang cantik,” pujiku saat bertemu anak itu.
“Siapa nama Bibi?” tanya anak itu.
Anak itu memiliki postur tubuh yang kurus dan tinggi. Aku rasa usianya sekitar delapan atau sembilan tahun. Ada beberapa luka di wajahnya, tetapi anak itu masih tersenyum. Aku sudah membaca berkas kedua orang yang mengadopsi anak itu. Perbudakan anak kecil, banyak anak kecil yang di perbudak. Namun, Chloe yang paling lama.
“Kamu bisa memanggil aku Daphne. Jadi, Chloe. Sebelumnya kamu tinggal di panti asuhan, ya. Bagaimana panti asuhan itu?” tanyaku.