CLARA
Hari demi hari berlalu. Aku belum memberi jawaban kepada Jake. Aku tidak mengetahui, aku harus memulai hubungan bersama dia atau tetap menjadi teman. Semua perkataan Jake membuatku terharu. Namun, itu saja tidak cukup. Aku tidak pernah akan bisa menerima kenyataan, kalau Jake benar-benar menyukaiku. Semua perkataannya, tidak mungkin palsu. Aku rasa, aku hanya takut. Ketakutan yang tidak akan pernah hilang dariku. Jake sekarang sibuk mengurus Chloe, jadi kami jarang bertemu.
Aku membaringkan tubuhku di ranjangku yang begitu empuk. Hari ini aku begitu lelah, menghindari Jake. Jake terus-menerus bertanya tentang keputusanku. Dia tidak membiarkan aku bernafas dan berpikir dengan jernih. Aku bisa gila, menumpuk ini semua. Masalah pekerjaan, Aiden dan Jake. Semua itu berputar-putar dikepalaku. Daripada memikirkan semua hal itu, lebih baik aku tidur dengan tenang.
Saat aku ingin memejamkan mata, aku mendengar suara lemari terbuka. Aku langsung bangun dari ranjangku dan menyalakan lampu kamarku. Aku takut ada suatu hal masuk ke kamarku karena aku baru sadar jendela kamarku terbuka. Saat aku menyalakan lampu, secara tiba-tiba ada seseorang yang menutup mulutku dengan tangannya. Aku langsung panik dan memberontak. Orang itu melemparku ke kasur dan mengarahkan pistol ke kepalaku.
“Lama tidak bertemu, Clara.” Suara pria itu, masih sama seperti dulu.
“Apa yang kamu mau?” tanyaku dengan hati-hati karena pria itu masih menaruh pistol dikepalaku.
“Tidak ada sambutan atau apa. Aku ini masih ayah dari anak itu. Siapa namanya?” jawab pria itu yang menjauhkan pistol dari kepalaku.
Pria itu menjauh dariku dan mengunci pintu kamarku. Melihat jendela kamarku yang masih terbuka, aku langsung berlari ke arahnya. Namun, pria itu langsung menahan diriku dengan menjambak rambutku. Itu membuatku terjatuh di lantai dan tidak berdaya. Pria itu langsung menutup jendela dengan rapat, lalu menghampiriku. Senyuman di wajahnya seakan dia tidak memiliki dosa.
“Kita baru saja bertemu ... dan kamu ingin kabur. Tidak bisa,” ucap pria itu.
“Bagaimana kamu bisa masuk? Lalu, dari mana kamu mengetahui rumahku,” tanyaku.
Pria itu semakin mendekat hingga membuatku terpojok. “Banyak sekali pertanyaan. Aku tidak suka hal itu. Aku hanya ingin berkunjung. Kamu bahkan tidak menyebut namaku,” jawab pria itu.
“Aku lebih baik mati daripada menyebut namamu! Aku tidak bodoh. Jadi, apa yang kamu mau?!” tanyaku sekali lagi.
“Menyampaikan pesan dari seorang teman. Bilang kepada kekasih tersayang atau tercinta kamu. Katherine ingin bertemu dengan anaknya,” ucap pria itu.
Pria itu selalu saja bekerja untuk Katherine. Aku tidak terkejut Katherine menyuruhnya. Pria itu selalu menuruti Katherine karena Katherine membuatnya keluar dari penjara. Aku tidak mengerti, mengapa Katherine mengeluarkannya dari penjara. Namun, sekarang aku mengerti. Katherine menggunakan dia sebagai pesuruh. Itu menjijikkan. Sungguh menjijikkan. Sekarang, aku tidak mengetahui harus berbuat apa. Pria itu memegang pistol dan dia bisa menembakkan hal itu kepadaku.
“Sampaikan sendiri. Aku bukan pesuruhmu,” balasku.
Pria itu langsung marah dan menodongkan pistol ke kepalaku. “Dengar! Aku tidak punya waktu untuk melakukan hal ini. Kamu akan membujuk Jake agar Katherine bisa bertemu dengan anaknya! Kamu tidak ingin peluru menembus otakmu, bukan. Bawa anak itu atau aku akan mengambilnya sendiri. Jangan ragukan aku, Clara!” ucap pria itu.
Aku langsung menganggukkan kepalaku. “Gadis pintar.” Pria itu langsung tersenyum dan menurunkan pistolnya. Pria itu pergi dari kamarku menggunakan jendela kamarku. Saat pria itu pergi, aku baru bisa bernafas dengan lega. Hal itu sangat menakutkan. Aku takut. Aku tidak mengetahui harus berbuat apa.
Aku langsung menangis dipojokkan kamarku. Kejadian tadi, membuatku teringat masa lalu. Masa kelam yang pria itu ciptakan. Neraka yang pria itu ciptakan untukku. Pria itu sama sekali tidak mempunyai hati ataupun empati kepada diriku. Dia seakan ingin menghancurkan hidupku. Entah, berapa banyak hidup yang telah pria itu hancurkan. Orang seperti itu tidak pantas hidup sama sekali. Aku benci pria itu. Aku membenci pria itu lebih dari apa pun.
***
Keesokan harinya. Aku langsung menemui Jake di apartemennya. Aku harus segera meminta Jake menjelaskan semuanya kepada Katherine. Jika tidak, bukan hanya aku yang dalam bahaya. Namun, Chloe juga. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Aku mengetahui pria itu, semua kata yang keluar dari mulutnya adalah ancaman yang nyata. Saat pria itu mengancam, aku mengetahui kalau aku tidak aman sama sekali.
Jake mengusulkan kami berbicara dikamarnya karena Chloe sedang menonton televisi di depan. Jake tidak ingin Chloe mendengar apa pun yang kami bicarakan. Jake membawakan aku segelas teh hangat untukku. Teh melati kesukaanku. Jake tidak mengetahui, apa yang akan aku bicarakan. Dia terlihat begitu senang karena menghabiskan waktu bersama Chloe. Tidak ada yang bisa membuatnya tersenyum seperti itu, selain Chloe. Aku tidak menghilangkan senyuman itu dari wajah bodohnya.
“Jadi, kita tidak berbicara sejak terjebak macet waktu itu. Pertama, aku harus minta maaf karena terus memaksa kamu untuk menjawab atau membalas perasaanku. Kedua, aku senang kamu datang kesini,” ucap Jake dengan antusias.
“Jake ... aku datang kesini untuk membicarakan hal lain,” balasku.