A Hot Daddy Chronicle

Ina Inong Ina
Chapter #3

Selalu Ada Hari Pertama untuk Segalanya

Sam menghentikan mobil di depan sebuah rumah. Rumah mungil berlantai dua, tempatnya menghabiskan hari bersama keluarga kecilnya. Ia menekan tombol remot satu kali, pintu pagar dan garasi terbuka bersamaan secara otomatis. Sam mengarahkan Mercedes G-Class antik kesayangannya memasuki carport, terus sampai ke dalam ruang garasi.

Di dalam garasi, Sam mengembuskan napas lewat mulutnya. Dadanya terasa sesak lagi melihat Honda Jazz hitam metalik yang sedikit berdebu. Mobil Heni. Cahaya lampu neon yang tidak terlalu terang, menambah muram suasana di garasi. Setelah menekan tombol mesin untuk menutup pintu pagar dan garasi, Sam membuka pintu yang menghubungkan garasi dengan ruangan dalam rumah. 

Tanpa berniat menyalakan lampu-lampu, Sam berjalan menuju tangga ke lantai dua. Dengan langkah berat, ia menapaki anak tangga satu demi satu. Pandangannya lurus ke depan. Laki-laki itu tahu ia tak akan sanggup menatap foto-foto hitam putih di sepanjang dinding menuju lantai atas. Foto-foto, di mana suasana yang terekam di dalamnya semuanya indah, penuh tawa, dan bahagia.

Sam berhenti di depan pintu pertama. Tangannya sudah siap memutar tuas pintu. Namun, ia tampak ragu. Sebelah tangannya yang lain menyisir rambutnya. Sam melepas tangannya dari tuas pintu. Menengadah dengan mata berkaca. Mengembuskan napas berat, kemudian melewati pintu itu.

Langkahnya menuju ke kamar yang terletak paling ujung.  Sam membuka pintu dan tertegun. Kepalanya jatuh tertunduk. Ia diam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya melangkah masuk dengan sikap yang ditegar-tegarkan. 

 

Sam duduk di pinggir tempat tidur, kemudian menyalakan lampu kecil di atas nakas. Matanya menangkap bingkai foto berukuran sedang dekat lampu. Untuk beberapa saat tatapannya terkunci di sana. Heni dan dirinya duduk berdampingan, saling bertatapan sambil tertawa renyah. Entah apa yang mereka tertawakan saat itu. Rengganis yang masih bayi juga tertawa renyah di pangkuannya. 

Momen kehilangan itu akan menyerangnya kembali. Sam berusaha bertahan. Ia menarik napas dalam-dalam. Tangannya membuat bingkai foto itu menelungkup di atas nakas. Kemudian ia merebahkan diri di atas kasur. Tatapannya menerawang menatap langit-langit, sementara sebelah tangan membelai ruang kosong di sebelahnya.

Terbayang kembali semua kenangan bersama Heni di kamar ini. Tingkah iseng Sam setiap kali menjahili Heni yang sedang tidur lelap, pembalasan Heni yang mengganti krim cukur Sam dengan mayonaise, sampai momen kemesraan mereka.  Heni yang tak pernah lupa hari ulang tahunnya dan Rengga. Heni yang selalu sigap merawat mereka bila sakit. Heni yang keibuan. Heni adalah isteri sempurna baginya.  Keluarga kecil mereka begitu harmonis. Semua kenangan itu bergerak bergantian dalam benak Sam.

Setelah menarik napas untuk kesekian kalinya, Sam bangkit dan mengeluarkan ponsel dari saku celana. Raut wajahnya seperti sedang memikirkan sesuatu. Kemudian ia menelepon seseorang.

“Halo, Vin,” sambut Sam setelah mendengar sapaan dari seberang sana.

“Eh, Man. Di mana, Lo?” Vino setengah berteriak untuk mengatasi suara musik berisik di belakangnya. Ini malam minggu, untuk party goers macam Vino, Saturday night is perfect for party.

“Gua lagi di rumah. Tapi ….” Sam tidak meneruskan kata-katanya dan nada suaranya seperti tercekat.

“Lo udah di Jakarta? Are you alright, Man?” Sekarang musik yang tadi berdentum-dentum tak terdengar lagi. Vino sudah mencari tempat aman untuk menerima telepon dari Sam.

“Yeah, nggak terlalu sih … gua butuh bantuan, Lo.”

“Sebut aja, Sam. Lo, butuh apa?” Suara Vino terdengar sigap. Dirinya dan Sam sudah kenal selama sepuluh tahunan. Waktu selama itu yang cukup untuk membuat mereka dekat satu sama lain.

“Rasanya gua belum sanggup tinggal di rumah. Gua butuh tempat baru buat sementara, Lo bisa cari nggak?” Sam menghela napas lagi.

“Lo nggak balik aja dulu ke rumah The Cakrawangsa?”

Vino selalu menyebut keluarga Sam dengan “The Cakrawangsa”. Sebutan itu memberikan kesan berat,  tipikal keluarga terpandang, masih ada garis keturunan bangsawan, latar belakang akademik yang hebat, sekaligus pengusaha yang berhasil. Kalau istilah Vino lagi, bibit, bobot, bebet grade platinum.

“Nggak mungkin. Gua lagi clash sama Ibu.”

“Oke, kasih gua waktu tiga puluh menit, nanti gua kabarin,” jawab Vino meyakinkan.

“Gue nggak ganggu kan, Man. Lo sama Asti?” Sam tiba-tiba sadar ini malam minggu, jadwal Vino hangout sama pacarnya. 

Lihat selengkapnya