Sam memarkir mobilnya di basemen. Kemudian ia menuju lift yang akan membawanya ke lantai lobi. Di depan lift Sam melihat dua orang perempuan sedang menunggu. Sam tak melirik barang semili pun, sikapnya tak acuh. Ia berdiri tenang dengan kedua tangan masuk ke dalam saku, sementara pandangannya hanya tertuju pada lampu petunjuk di atas lift.
Aroma campuran citrus, woody, vetiver, dan segarnya sage yang samar memancing dua perempuan muda itu menoleh ke arah Sam.
Sosok bertungkai panjang yang dibungkus dark blue jeans, torso tegap dengan bahu bidang yang ditutupi oxford shirt warna hitam, plus quarter brouge shoes dark brown bersol karet, rahang dan dagu kebiruan habis bercukur, messy hair dengan gel secukupnya, Kacamata tulang motif tortoise yang bertengger di tulang hidung yang tinggi, sukses membuat dua perempuan muda itu bertukar pandang dengan alis terangkat tinggi mengekspresikan kalimat wow-ganteng-banget.
Kemudian dua perempuan itu sibuk berbisik-bisik membahas betapa-tampannya-cowok-di-sebelah-kita, siapa-sih-dia, kenapa-kita-nggak-pernah-tahu-ada-cowok-sekeren-itu-di-gedung-ini. Sudut mata kiri Sam merekam semua, namun ia bergeming.
Ting! Bel lift berbunyi diikuti pintu yang terbuka. Dengan sikap gentleman sejati, Sam mempersilakan kedua perempuan itu untuk masuk lebih dulu.
“Terima kasih, Mas,” kata salah seorang dari mereka sambil memasang senyum semanis gula.
Sam membalas dengan anggukan pendek, ia mengambil posisi di pojok. Sementara dua orang perempuan muda itu saling pandang. Tanggapan dingin dan tak acuh seperti tadi, tidak pernah mereka terima dari laki-laki mana pun.
Dua-duanya berpenampilan menarik. Wajah mendekati sembilan. Rambut sempurna. Atasan rancangan desainer papan atas dan rok pinsil ketat membungkus tubuh sempurna, hasil siksaan instruktur pilates bersertifikat internasional. Tas kerja dan sepatu yang mereka pakai, menunjukkan posisi mereka yang bisa dibilang lumayan.
Perempuan yang tadi berterima kasih dibuat keki karena pancingannya tidak berlaku untuk Sam. Ia dan temannya saling menukar pandang lagi, dan tanpa suara mereka teriak berbarengan, “Gay?!” kemudian mengalihkan pandangan ke pintu lift, tak mengacuhkan lagi keberadaan Sam.
Sam sama tak acuhnya. Ia bahkan mengeluarkan kindle reader dari postman bag yang tersandang di bahunya, dan tenggelam dalam gawai itu. Sam baru mengangkat wajah saat pintu lift terbuka. Ia keluar dengan santai tak juga berbasa-basi dengan dua perempuan tadi. Kedua kakinya mengarah ke lift khusus untuk para eksekutif di pojok lobi. Ia menekan angka 24, lantai tempat ruangannya berada.
Kedatangannya disambut Pak Parmin, security lantai 24 dan Rena, resepsionis di lantai itu.
“Selamat pagi, Pak Sam. Saya turut berduka, Pak, yang tabah ya, Pak,” ujar Pak Parmin sambil meraih tangan Sam mengajaknya bersalaman. Sam tersenyum.
“Terima kasih, Pak Parmin. Saya sudah ikhlas,” sahut Sam mantap, sambil menjabat erat tangan Pak Parmin.
“Selamat pagi, Pak Sam, saya juga turut berduka,” sahut Rena sambil berdiri dan menangkupkan dua telapak tangan di dadanya. Bibirnya yang lebih glossy dari biasanya menyunggingkan senyum menawan.
“Terima kasih, Rena. Saya masuk dulu,” sahut Sam sambil melangkah melewati meja respsionis.
Rena langsung mengetik di ponselnya: duren datang. Pesan singkatnya langsung masuk ke WAG cewek-cewek kantor. Tanpa prasangka, Sam berjalan tenang melewati kubikel-kubikel yang mengisi bagian tengah ruangan seluas kurang lebih lima ratus meter persegi sambil membalas salam dari para penghuninya.
“Selamat pagi, Pak.”
“Selamat pagi, Pak Sam.”
“Selamat pagi ….”
Semua staf menyambut Sam dengan hormat. Tetapi Sam merasa semua staff perempuan menyambutnya dengan berbeda. Greetings mereka lebih merdu, lengkap dengan senyuman semanis madu, dan raut wajah berkali-kali lipat lebih semringah dari yang selama ini diingatnya.
Bukan hanya yang muda-muda saja yang bertingkah aneh hari ini. Bahkan karyawati senior seumur Bu Bety dari bagian HRD saja menyambutnya dengan senyuman keibuan selembut sutera. Seantero perusahaan juga tahu, kalau Bu Bety antisenyum, apalagi pada staff yang meminta perincian jam lembur. Sam tidak tahu, Bu Bety sudah bertekad senyum langka miliknya hari ini, ia pesembahkan demi masa depan puteri sulungnya yang masih belum menemukan jodoh di usia menjelang 30 tahun.
Kening Sam sedikit berkerut. Ada apa sih dengan mereka.
Akhirnya Sam bisa melihat pintu ruangan pribadinya. Ia mempercepat langkahnya demi bisa segera melenyapkan badannya di balik pintu itu. Sebelum masuk ia melirik kubikel Vino yang masih kosong. Huh, asisten macam apa datang lebih siang dari bosnya. Kutuk Sam dalam hati.
Dan begitu tubuh jangkung nan menawan Sam lenyap di balik pintu. Cewek-cewek langsung bergerombol di beberapa titik. Membahas betapa-tampannya-Pak-Sam-hari-ini. Padahal, mereka sudah melihat ketampanan Sam, setiap hari selama bertahun-tahun sesuai masa kerjanya. Tetapi, status Sam yang baru membuat nilai ketampanannya naik beberapa level di mata mereka.
“Duh, Lo, lihat nggak Pak Sam tadi. Makin gila aja nggak sih gantengnya.”
“Biar masih sendu gitu, tetap aja seksi.”
“Gila, Pak Sam pakai jeans gitu, bikin gua butuh kipas nih.”
“Aduh, tadi pengen meluk dia deh rasanya.”