Ting! Pintu lift lantai 25 terbuka. Sam berjalan keluar dengan langkah lebar. Pak Adi dan Jono, security dan office boy lantai 25 menyambutnya seperti pagar bagus di acara-acara pernikahan, lengkap dengan senyum tulus dan ucapan belasungkawa. Sam balas mengucapkan terima kasih dengan senyum lemah.
Sesungguhnya, ia sangat menghargai perhatian tulus dari rekan-rekan kerjanya di kantor ini, tetapi setiap kali ia menerima ucapan belasungkawa, hatinya kembali terasa perih.
Di meja resepsionis, Lita menyambutnya dengan senyum dan wajah semringah. Tapi ….
“Maskara kamu nggak ketebalan, Lit?” Itu yang pertama diucapkan Sam begitu melihat keanehan di wajah Lita. Pertanyaan Sam membuat Lita tersipu malu dan menundukkan kepala yang tak diangkatnya lagi sampai Sam berlalu melewati pintu masuk. Duh.
Tadi waktu mendengar berita dari Sita kalau Pak Sam dipanggil bos, Lita langsung sibuk dengan cermin kecilnya. Menambahkan ini itu yang dirasa perlu untuk menambah kesegaran wajahnya. Ia merasa matanya kurang menyala walau sudah dilapisi bulu mata hasil extension dua lapis, dengan niat ingin menatap Pak Sam dengan mata cantiknya, ia nekad menambahkan beberapa kali usapan maskara. Hasilnya, bukannya jadi cantik, bulu matanya malah tampak gondrong mengerikan.
Sita menyambut Sam dengan sikap profesional yang wajar. Sam bersyukur ada cewek yang normal di kantor ini. Bukan karena status Sita yang sudah menikah, tetapi pembawaan Sita memang seperti itu. Tenang, tidak berlebihan, dan rasional. Sifat Sita mengingatkan Sam pada Heni. Mereka mirip.
Sita mengetuk pintu ruangan bosnya, Marketing Director PT Kilau Pesona Nusantara, kemudian membukanya sambil mengumumkan kedatangan Sam.
“Bu Dewi, Pak Sam sudah di sini.” Sita mengangguk pada Sam memberi isyarat untuk masuk.
Sam melangkah tenang memasuki ruangan seluas rumah tipe 45 itu. Di belakangnya Sita menutup pintu sambil tersenyum dikulum. Ia bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Hai, Sam … Sam … Oh, Sam … saya turut berduka cita atas kepergian istrimu,” ucap seorang perempuan yang langsung berdiri dan mengitari meja kerjanya begitu melihat sosok Sam.
Panggilan yang paling dibenci Sam, karena bosnya ini selalu memanggil namanya dengan “Sem” bukan “Sam”. Sem … Sem … oh, Sem. Padahal sudah berulang kali Sam mengingatkan supaya bosnya memanggil namanya dengan benar, tetapi tidak berhasil.
Dewi Villyawangi Jiwosutejo, makhluk paling dihindari di kantor ini. Perempuan akhir tiga puluhan, masih lajang, berambut lurus panjang tanpa ikal yang dicat warna pirang. Sikapnya ramah dan sedikit menggoda pada pria-pria lajang, tetapi sinis dan nyinyir pada staf-staf perempuan yang masih muda. Hanya Sita dan Denise, staf perempuan yang selamat dari semburan racun jiwanya. Tidak heran jika akhirnya julukan “Devil” merebak di kantor ini, akronim dari namanya Dewi Villyawangi = Devil.
Ketika julukannya berubah menjadi Red Devil, bukan karena ia seorang pemuja klub sepak bola Manchaster United. Ceritanya begini, suatu waktu, Bu Dewi ini, patah hati. Kabarnya ia sudah akan bertunangan, namun tunangannya itu memutuskan hubungan dan kabur ke luar negeri. Bu Dewi tidak ingin larut dalam keterpurukan, dan ia mengobarkan semangat kebangkitan dengan simbol warna merah. Interior kantornya diubah dengan nuansa merah, termasuk outfit kantornya pun selalu bernuansa merah, from head to toe.
Sam siaga menyambut semburan racun jiwa Red Devil. Oleh karena itu, saat Bu Dewi menjabat tangannya, dan siap cipika cipiki, Sam menahannya dan membalasnya dengan senyuman mempesona. Sesaat, Bu Dewi tampak salah tingkah, tapi segera menguasai suasana.
“Duduk, Sam.”
Dan kesalahan Sam dimulai sejak ia mengambil posisi di ujung sofa. Bukannya mengambil tempat di kursi tunggal. Sam mengira, Ibu Dewi akan mengambil tempat di kursi tunggal di ujung satunya, seperti biasa setiap kali dia memimpin briefing terbatas dengan Sam dan dua asistennya. Prediksi Sam salah.
Bu Dewi melihat peluang itu. Ia segera mengambil tempat di sofa yang sama. Sudah tidak mungkin lagi bagi Sam untuk pindah ke kursi tunggal, karena tindakan itu singguh tidak sopan. Sekarang jarak mereka hanya berselang satu seat saja.
“Apa kabar, Sam. Maaf saya tidak ikut hadir di pemakaman,” katanya membuka suasana.
“It’s okay. Sekarang sudah baikan, Mbak.” Sam memanggil bosnya dengan “Mbak”, sesuai perintah sang bos yang tidak mau dipanggil “Ibu” olehnya.
“Sudah siap bekerja kembali, dong.” Pasti ada yang diniatkannya, sehingga perempuan lajang usia matang itu menyilangkan kaki. Rok vinil merah mini yang dipakainya terangkat beberapa senti. Ujung stileto merahnya mencuat.
“Iya, Mbak.” Tenggorokan Sam terasa kering. Sam membuang pandangan ke arah rak berisi buku-buku dan plakat-plakat.
Sita masuk membawa dua cangkir teh. Kentara sekali sekretaris senior itu menahan raut wajahnya untuk tidak tertawa. Ia meletakkan cangkir-cangkir dengan tenang.