“Sam, hellooo ….” Vino mengetukkan laser pointer ke meja di ruang meeting.
Saat ini ia dan anggota timnya sedang rapat persiapan pemotretan kain tenun Baduy bersama Sam. Baru saja Vino memaparkan laporan persiapan akhir dan time table pemotretan yang akan dilakukan mulai siang nanti. Tetapi, tampaknya Sam tidak memperhatikan presentasinya.
“Eh, sorry, gimana, Vin?” Sam gelagapan karena kepergok tidak menyimak, malah terus memperhatikan ponselnya.
“Iya, tadi gua udah selesai melaporkan time table buat pemotretan. Kayaknya, Lo lagi nggak fokus,” tembak Vino.
Sam menatap ke seluruh ruangan. Semua mata yang hadir tertuju padanya. Ia jadi merasa bersalah.
“Maaf semua ya. Saya lagi nggak fokus. Tapi saya yakin, semua sudah rapi dan aman. Lanjut eksekusi aja, Vin. Nanti siang gua nengok deh ke studio,” ujar Sam sambil beranjak dari duduknya tanda rapat juga harus bubar.
Vino membuntuti Sam sampai ke ruang kerjanya. Feelingnya mengatakan ada yang tidak beres. Ada masalah serius yang sedang dihadapi Sam.
“What’s wrong, Man?” tanya Vino sambil menutup pintu.
“Rengga.”
“Kenapa Rengga?” Feeling Vino benar. Sam sedang ada masalah yang menyangkut anaknya di Bandung.
“Dari pagi gua nggak bisa kontak dia. Nggak biasanya deh.” Kentara sekali kalau Sam sedang gelisah. Ia menyusur rambutnya.
“Udah coba telepon mertua Lo?”
“Nggak aktif ponselnya. Telepon rumah juga nggak ada yang jawab.”
“Wah, kenapa ya.” Vino jadi ikut bingung. Tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan dan dikatakan pada Sam.
“Rengga nggak kenapa-napa kan, Vin.” Sam menatap Vino dengan sorot mata galau. Setelah kehilangan Heni dan bayi laki-laki mereka, mana sanggup jika ia harus kehilangan Rengga juga.
“Nggak, Sam. Gua yakin nggak ada apa-apa. Kalau ada yang serius, pasti mereka langsung menghubungi Lo kan,” ucap Vino berusaha memberi keyakinan pada sahabatnya. Dalam hati Vino berharap, memang tidak terjadi apa-apa pada Rengga.
“Tapi, kayaknya gua ke Bandung aja deh, habis lihat pemotretan nanti,” cetus Sam.
“No, problem, Man. Gua bisa handle kok.”
“Gua prepare dulu, ya. Nggak apa-apa kan gua tinggal,” pamit Vino.
“I’m fine. Bilang Denise juga supaya proposal buat pameran di Norway cepat diberesin.”
Vino tidak berkata apa-apa. Hanya memberikan isyarat siap, seperti sikap sedang hormat bendera. Mau tidak mau, Sam jadi tertawa melihat sikap konyol Vino, tetapi ia merasa terhibur.
Telepon di meja kerjanya berbunyi. Sambil melambai pada Vino, ia mengangkat telepon. Sambungan dari saluran internal.
“Ya, dengan Sampurna di sini.”
Sam mendengarkan sebentar, kemudian ….