“Assalamu’alaikum” Sam menguluk salam.
“Wa alaikum salam,” sahut suara seorang perempuan sambil membukakan pintu.
Pintu kupu-kupu dari kayu jati kokoh itu pun terbentang. Sam disambut senyuman ramah Bu Nata. Sam menyambut tangan ibu mertuanya dan menciumnya dengan takzim.
“Rengga mana, Mih. Dia nggak kenapa-napa, kan?” tanya Sam dengan cemas. Pandangannya tertuju ke arah pintu kamar Rengga. Tidak ada tanda-tanda anaknya akan keluar meyambutnya. Sepanjang jalan tadi, ia berusaha menghubungi ponsel anaknya dan mertuanya, tidak ada jawaban. Sam sangat khawatir.
“Ninis? Ada, di kamarnya. Dia baik-baik saja kok. Ayo makan aja dulu, nanti Mamih ceritakan.” Bu Nata menggiring Sam langsung ke ruang makan. Sam tidak bisa menolak, walau pandangannya masih tertuju ke pintu kamar Rengga.
Sudah ada Pak Nata di ruang makan, sementara Esih mondar-mandir dari dapur ke ruang makan membawa hidangan makan malam.
“Yuk, makan,” kata Bu Nata sambil menyendok nasi dari tempatnya dan memindahkan ke piring Pak Nata.
“Rengga nggak diajak makan sekalian, Mih.” Sam masih penasaran kenapa anaknya tidak keluar-keluar kamar.
“Mamih teh sedang menghukum Ninis,” sahut Bu Nata sambil menyendok nasi untuk Sam. Sam terkejut.
“Memangnya, dia salah apa, Mih?” tanya Sam dengan dada berdebar.
“Ninis mulai bandel. Hapeee terus yang diurusnya. Disuruh mandi susah, disuruh salat apalagi, makan harus disuapi Esih, tapi matanya nggak bisa lepas dari hape. Makanya tadi mah Mamih sita aja hapenya.”
Jelas sekarang duduk perkaranya bagi Sam. Pantas ia tidak bisa menghubungi Rengga sepanjang hari ini. Ternyata ponsel yang ia berikan untuk anaknya itu, disita oleh neneknya. Hati Sam terasa masygul. Ia menelan makan malamnya dengan susah payah. Selama ini ia dan Heni tidak pernah menghukum Rengga. Apalagi dengan hukuman seberat ini. Dikurung di kamar, tidak boleh makan malam. Hati Sam perih.
“Papih sudah bilang sama mamih, sama anak seumur Ninis jangan terlalu keras, tapi mamihmu ini memang begitu adatnya.” Pak Nata membunuh suasana hening di antara mereka.
Sam belum sanggup merespons penjelasan ibu mertuanya. Ia berusaha menahan rasa kesal, takut berbicara yang melukai hati ibu mertua yang sudah dianggap seperti ibu kandungnya sendiri.
“Ya, kalau nggak dibiasakan dari sekarang, nanti jadi kebiasaan sampai gede atuh, Pih. Buktinya Heni jadi seperti dulu itu kan berkat didikan Mamih.” Bu Nata mengambil napas sejenak. Menyebut nama anaknya yang sudah tiada membuat hatinya terasa dicubit.
“Biar nanti saya yang bicara sama Rengga, Mih.” Sam menengahi. Ia tak ingin ibu dan bapak mertuanya jadi bertengkar gara-gara puterinya.
“Bagaimana pekerjaanmu, Sam?” Pak Nata mengalihkan topik pembicaraan.
“Lancar, Pih. Alhamdulillah. Anak-anak bisa diandalkan, jadi selama saya tinggal tidak ada kendala apa-apa, sekarang sudah mulai dengan proyek-proyek baru.”
“Syukurlah kalau begitu. Kamu bisa tenang dengan pekerjaanmu. Ninis juga bisa tenang di sini bersama kami,” kata Pak Nata, kemudian meneruskan makannya dengan tenang.
Sam diam saja. Dalam benaknya ia sudah mempunyai rencana lain. Tetapi, rasanya sekarang bukan saat yang tepat untuk menyampaikan rencananya pada dua orang tua yang dihormatinya itu.
Selesai makan, Pak Nata mengajak Sam menikmati kopi di teras. Tetapi Sam meminta izin menemui Rengga, sambil membawakan makan malam. Pak Nata yang tidak tega, mengizinkan Sam diiringi tatapan kesal Bu Nata. Sam pura-pura tidak melihat ekspresi Bu Nata.
Sam mengetuk pintu kamar Rengga. Di tangannya ada sepiring nasi dengan lauk ayam goreng kesukaan anaknya.
“Rengga … ini ayah. Ayah, boleh masuk?”
“Masuk aja, Yah.” Terdengar suara anak kecil yang sangat dirindukannya itu.
Sam masuk dan mendapati anaknya sedang duduk di tempat tidur sambil menangis tanpa suara. Hatinya perih melihat Rengga seperti itu. Pasti anak itu sangat sedih dan kelaparan.
“Makan dulu, yuk. Ayah yang suapi?” tawar Sam pada puterinya.
“Enin sudah nggak marah?” tanya Rengga membuat hati Sam berdarah.
Sam menggeleng, dan mulai menyendok nasi untuk satu-satunya harta paling berharga yang dimilikinya kini. Rengga makan dengan lahap.
“Yah, Rengga mau pulang sama Ayah. Rengga nggak mau di sini lagi,” cetus Rengga.
“Bukannya Rengga betah di sini? Sudah mulai sekolah juga kan?” pancing Sam.
“Tapi … Enin sekarang galak. Enin sering marah-marah sama Rengga.”
“Barangkali karena Rengga nggak nurut sama Enin?” timpal Sam.
“Pokoknya Rengga nggak betah lagi. Rengga mau pulang ke Jakarta sama Ayah.” Air matanya yang tadi sudah kering, kini pecah lagi membasahi pipinya yang tembam.
Melihat puteri semata wayangnya seperti itu, Sam luruh. Ia tidak bisa memikirkan hal lain selain ingin membawa puterinya ke Jakarta. Ia bahkan tidak bisa memikirkan risiko apa yang bakal menantinya jika ia membawa Rengga tinggal bersamanya. Ia hanya tidak ingin melihat anaknya bersedih seperti ini. Sungguh ia tidak tega.
Dan akhirnya Sam pun mengangguk. “Baiklah, besok kita pulang ke Jakarta, ya.”
Mendengar ucapan ayahnya, serta merta Rengga memeluk ayahnya erat. Sam balas memeluk anaknya dengan sepenuh hati. Besok ia akan berbicara baik-baik pada mertuanya, meminta Rengga kembali.