A Hot Daddy Chronicle

Ina Inong Ina
Chapter #9

Belum Waktunya untuk Tenang

Sam keluar dari ruang ganti tempat gym. Ini hari Sabtu pertama kebebasannya. Tadi pagi, ia memutuskan untuk bersantai sejenak sambil melemaskan otot-ototnya.  Selama tinggal di apartemen, Sam belum sempat mencoba tempat gym yang ada di lantai 3. Padahal tempat gym itu cukup terkenal juga, karena banyak member yang datang ke sana, walau bukan penghuni apartemen. Tempatnya memang nyaman. Fasilitas alatnya lengkap dan mutakhir. Sam sudah memutuskan menjadi member tetap di sana.

Rencana berikutnya, setelah menikmati kopi pagi dan sarapan ringan, Sam akan pergi ke rumah orang tuanya, menengok Rengga. Sudah seminggu ia belum bertemu Rengga, kecuali lewat telepon. Sam kangen sekali pada anak itu. Ia sudah memikirkan tempat untuk menghabiskan akhir pekan berdua saja dengan anaknya. 

Sam selalu teringat keluhan Rengga, katanya eyangnya tak henti-henti menyuruhnya belajar. Sam hanya bisa tersenyum mendengar keluhan puteri semata wayangnya, teringat masa kecilnya sendiri. Ibunya memang seperti itu, keras mendidiknya dan Ratih dalam urusan akademis, dan menerapkan disiplin yang ketat untuk hal-hal lain di luar sekolah, misalnya les-les yang sama sekali tidak mereka inginkan, tetapi tidak mampu menolaknya.

Rrrrttt …

Sam merasakan getaran ponsel di saku depan light blue jeansnya. Ia membetulkan sport bag yang terasa merosot di bahu kanan. Tangannya mendorong pintu kaca fitness centre, sementara ia memencet tombol jawab. Seperti biasa, ia tidak tertarik untuk memperhatikan sekelilingnya. Ia tidak tahu ada bola mata seorang gadis yang bergerak ke sudut matanya, saat berpapasan dengannya di pintu. Sekilas.

“Ya, Bu ….” Sam menjawab panggilan dari nama yang tercantum di ponselnya sebagai Madame Cakrawangsa sambil berjalan, namun seketika menghentikan langkahnya.

Aroma bunga yang tipis, ditingkahi aroma lemon, dan sedikit musk  menggelitik indera penciuman Sam. Aroma segar yang samar. Aroma yang disukai Heni. Sam memejamkan mata menikmati aroma yang dirindukannya, sebelum menoleh. Tetapi ia hanya mendapati tampak belakang sosok jangkung seorang perempuan, dengan potongan rambut pendek di atas leher dan tampak sedikit ikal. Sosoknya sangat berbeda sekali dengan Heni, istirnya, yang mungil. Hanya sedetik, sebelum ledakan suara di ponsel mengembalikannya lagi ke dunia nyata.

“Sam?! Halooo?!”

“Oh, iya, Bu … maaf, kenapa, Bu?”

“Sam, kamu ke rumah Ibu, ya, sekarang juga.” Titah dari Madame Cakrawangsa yang tak boleh dibantah itu meluncur.

“Lho, memang Sam rencananya ke sana, kok, mau ngajak Rengga jalan-jalan.”

“Bagus kalau begitu.”

Nada suara ibunya membuat Sam curiga. Dahinya mengernyit. 

“Memangnya ada apa, Bu?”

“Kamu harus lihat sendiri ke sini.”

Balasan Bu Cakra yang pendek dan terasa getas, membuat Sam gelisah. Ada apa lagi, sih … hadeuuuh.

Sam batal menikmati kopi pagi. Sampai di unitnya, ia langsung menyambar kunci mobil, setelah mengempaskan sport bagnya ke sofa, dan langsung pergi lagi.

* * *

“Lihat ini!” Nada bicara Bu Cakra jelas menunjukkan rasa kesalnya.

“Kok bisa begini, sih, Bu? Ada apa?” Mata Sam terbelalak melihat kondisi kamar yang seminggu lalu sangat tertata rapi laksana kamar seorang puteri, sekarang porak poranda seperti habis dihantam angin topan mini. Buku-buku yang seharusnya tertata rapi di rak buku, kini berserakan di lantai. Tempat tidur yang biasanya alas dan selimutnya mulus dan kencang, sekarang awut-awutan.  Belum lagi botol-botol lotion, bedak, sisir, cermin kecil, di kaca rias bergelimpangan. Sam pusing.

Tadi, begitu Sam datang, ibunya sudah berdiri di ambang pintu depan dan langsung menyeretnya ke lantai atas, untuk melihat kamar Rengga.

“Dia tadi ngacak-ngacak kamar. Katanya, dia protes sama Eyang, hari ini dan Minggu mogok les berenang dan tari. Dia nggak mau membereskan kamar kalau aku masih memaksanya les. Gitu.”

Sam menghela napas dengan berat dan mengembuskannya lewat mulut. Duh, kapan, sih, bisa tenang hidup gue.

“Sekarang, Rengga di mana?” tanya Sam.

Bu Cakra menghampiri jendela kamar. “Tuh …,” jawabnya sambil mengarahkan pandangan ke bawah. Jendela kamar Rengga memang mengarah ke halaman belakang. Pool view.

Sam menghampiri ibunya, dan turut mengintip dari jendela. Harta berharganya itu sedang bersantai di atas balon air. Pakaian renangnya bermotif tropikal yang cerah, lengkap degan kacamata hitam anak-anak yang stylish. Sepertinya anak itu sedang tidak marah. Sam menggelengkan kepala, kemudian ia keluar kamar. Ibunya bergeming.

Sam mendatangi Rengga. Anak perempuan yang manis itu tampak semringah melihat ayahnya datang, dan menyapanya dengan riang.

“Hai, Ayah! Sudah datang ya.” Kedua tangannya lincah mengayuh balon air supaya mendekat ke pinggir kolam. Kecipak air terdengar riuh. Sam membantu puterinya naik ke atas kolam.

“Ayah, mau ajak Rengga jalan-jalan, kan?”

“Tadinya.” Sam melirik ke belakang punggungnya, sosok ibunya tak tampak. Untunglah ibunya masih memberinya privasi supaya ia bisa berbicara dengan Rengga berdua saja.

“Kok, tadinya?” Rengga mengernyit mendengar jawaban pendek Sam.

“Sekarang, Ayah ingin tahu, kenapa Rengga mengacak-acak kamar seperti itu?” Tanpa berbelit-belit, Sam langsung bertanya ke inti masalah.

Lihat selengkapnya