Sam duduk bersimpuh di lantai kamar. Di belakangnya Rengga juga duduk bersimpuh, menunggu perintah ayahnya. Beberapa saat kemudian, Sam menoleh ke samping kanan sambil menguluk salam, kemudian ke samping kiri. Rengga mengikuti gerakan ayahnya. Telah tunai dua rakaat salat Subuh mereka.
Setelahnya, Sam memperbaiki duduk menjadi bersila dan berdoa dengan khusuk, begitu juga Rengga. Setelah puas berdialog dengan yang sang Pencipta, Sam memutar badan sehingga berhadapan dengan putrinya.
“Ga, nggak ah susah disuruh salat. Kenapa waktu di Bandung, Rengga membuat Enin kesal?” tanya Sam lembut.
Rengga menarik napas dan mengembuskan dengan sekali entakan. Ia sedikit merajuk ketika menjawab pertanyaan Sam. “Habis, Enin kalau nyuruh Rengga salat, selalu berulang-ulang dan sambil mengomel. Rengga malah jadi malas mengerjakannya.”
“Mungkin karena Rengga nggak langsung nurut kalau disuruh.”
“Sebetulnya, Rengga kalau mendengar suara azan pasti akan salat. Tapi, Enin keburu cerewet.”
Sam tertawa geli. Bagaimana pun putrinya masih anak-anak. Dan ia memahami sifat Rengga. Anak ini harus diberi rasa tanggung jawab dengan cara yang dewasa, dibanding disuruh-suruh, apalagi caranya memaksa. Tidak akan cocok mendidik Rengga dengan cara seperti itu.
“Kalau begitu, Ayah tidak akan menyuruh Rengga, tapi kalau bertanya apakah Rengga sudah mengerjakan atau belum, boleh kan?” Sam menawarkan cara lain untuk menanamkan disiplin pada anaknya.
Rengga mengangguk cepat. Sam tersenyum dan mengembangkan tangannya. Serta merta Rengga menghambur dalam pelukannya. Sam mengecup ubun-ubun Rengga.
“Ganti baju olah raga, yuk. Kita jogging sambil cari sarapan,” ujar Sam kemudian. Rengga mengangguk dalam pelukannya.
Anak perempuan yang manis itu beranjak pergi menuju kamarnya. Sam mengiringi kepergiannya dengan senyum bangga seorang ayah.
* * *
“Halo, Vin, gua cuti, nih, dua hari ke depan. Rengga sekarang sama gua. Hari ini gua mau urus sekolahnya dulu.” Sam berbicara melalui penyuara kuping tanpa kabel sambil menyetir. Ia melirik anak perempuan di sebelahnya, kemudian memberikan senyuman untuk memberikan rasa tenang pada anak itu.
“Oke, Man. Don’t worry sama urusan kantor. Sejak kapan Rengga tinggal sama, Lo? Bukannya terakhir Lo bilang dia tinggal sama Queen Cakra, ya.” Vino menjawab telepon Sam. Ia sedang dalam perjalanan ke kantor.
“Beli earphone kenapa, sih,” omel Asti, pacar Vino, yang sedang bersamanya di dalam mobil. Suara speaker Vino yang volumenya pol-polan itu, mengganggu pagi damai Asti. Setiap pagi, dalam perjalanan ke kantor, Asti harus mendengarkan musik easy-listening KPOP demi menjaga kewarasannya sebelum digempur kasus-kasus perusakan lingkungan. Asti bekerja di LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup.
“Maap, Yang, Bos nih …,” bisik Vino yang tidak berhasil karena Sam masih menangkap suaranya.
“Tahu!” bentak Asti tanpa suara sambil melotot.
“Lagi sama Asti, ya? Duh, sorry, Vin.”
“It’s okay, Man. Earphone gue ketinggalan, dia rada keganggu, sih,” ucap Vino dengan suara tenang, sambil menatap Asti dengan pandangan memelas. Tawa ringan Sam terdengar di seberang sana.
“Asti, gua minta maaf ya, udah ganggu,” teriak Sam.
“Eh, nggak apa-apa, kok, Mas Sam. Vino aja yang rese, nih,” balas Asti langsung, sambil melotot lagi pada Vino.
“Ada yang bisa gua bantu, Bos?” Buru-buru Vino mengalihkan pandangan dari tunangannya, sekaligus mengalihkan topik percakapan “maaf-it’s okay” tadi.
“Ya, kalau Lo punya info tempat agensi babysitter, bagi-bagi ke gua ya. Gua butuh babysitter, part time aja sih, sampai gua pulang kerja aja buat menemani Rengga.”
Vino melihat ke arah Asti lagi, sambil mengangkat kedua alisnya. Isyarat gimana-tuh-kamu-tahu-nggak, Asti menggeleng. Mereka berdua baru mau menikah, belum punya pengalaman soal babysitter. Tapi Vino setia kawan, dan selalu berusaha membantu setiap kali sahabatnya kesusahan.
“Okay, nanti gua tanya-tanya deh sama emak-emak di kantor.” Vino mengambil keputusan. Ia tulus ingin membantu sahabatnya itu.
“Thanks, Vin. Gua tunggu kabarnya, ya,” ucap Sam sebelum memutus sambungan teleponnya.