“Ayah, mau ngapain, sih, kita di sini?” tanya Rengga sebelum menyesap milkshake vanilla kesukaannya.
“Mau wawancara babysitter, untuk menemani Rengga, sepulang dari sekolah sampai Ayah pulang dari kantor. Eh, bukan babysitter, sih, kan kamu sudah bukan baby lagi, tepatnya nanny, gitu ya, pengasuh gitu.” Sam memotong-motong waffle renyah dengan topping es krim untuk Rengga.
“Oooh … tapi, kenapa Rengga harus ikut juga.” Rengga masih penasaran.
“Nggak apa-apa, sekalian Rengga juga menilai. Yang akan bekerja nanti, harus cocok sama Rengga dan Rengga suka, biar Ayah tenang.”
“Oke, siap, Bos.” Rengga memberi sikap hormat yang lucu.
Sore itu, Sam mengajak Rengga untuk bertemu calon-calon pengasuhnya di sebuah café yang ada di area pertokoan yang masih ada di dalam komplek apartemen mereka.
Sam memutuskan membuka lowongan kerja di sebuah situs karir, dengan batas maksimum waktu melamar 1 x 24 jam saja. Nekad, tapi layak dicoba. Sam yakin dengan cara seperti itu, justru lebih mudah menyaring kandidat sesuai dengan kriteria yang diinginkannya.
Tepat jam empat sore, kandidat pertama datang. Sam langsung mengenali stiker kertas yang ditempel di dada kanan, berisi informasi nama dan kode “Kandidat Nanny”, sesuai syarat yang diminta Sam.
Seorang perempuan yang tampak murah senyum. Usianya sudah menjelang lima puluh tahun. Tampak keibuan dan lembut. Sam menaruh harapan pada kandidat pertama ini. Ia juga sering menatap Rengga dengan penuh rasa sayang. Sam memeriksa CV yang disodorkan kandidat bernama Eva itu.
“Sudah berapa tahun berpengalaman sebagai nanny?” tanya Sam berbasa-basi.
“Sudah lima belas tahun.”
“Berapa orang anak yang sempat diasuh, Mbak?”
“Satu.”
“Oh, awet banget ya, Mbak. Sekarang, anaknya sudah besar dong ya. Sudah kuliah?”
“Iya.”
“Jadi, itu sebabnya, Mbak berhenti?”
“Bukan.”
“Bukan? Anak asuhan Mbak ini, masih butuh didampingi? Padahal sudah mahasiswa ya.”
“Mahasiswi.”
“Oh, maaf. Sulit melepaskan, barangkali?”
“Bukan.”
“Bukan? Jadi, apa alasan, Mbak berhenti?