“Bisa nggak ya, penghuni apartemen bikin petisi buat memecat satpam kurang ajar itu.” Muka Sam merah padam. Baru saja ia menceritakan apa yang dialaminya di apartemen tadi.
Vino berusaha menahan tawanya dengan susah payah. Sam yang kikuk dan serba salah, sama sekali tak ada dalam bayangannya. Sam yang selama ini dikenalnya sebagai seorang gentleman, dengan sikap yang selalu terjaga, bisa kacau seperti itu.
“Nggak bisa. Si Toni itu pegangannya owner. Soalnya, dia itu anak sana asli. Lo tahu kan kampung di belakang apartemen. Si Toni gemblung itu, sengaja disimpan di sana supaya apartemen aman,” jelas Vino.
“Pantesan. Rese banget ya kelakuannya.”
“Sabar-sabarin aja, siapa tahu kapan-kapan ada gunanya.”
“Tapi, gua jadi nggak enak sama cewek yang nolongin gua. Gara-gara si Toni, gua sampai lupa bilang terima kasih, kayak yang gua nggak tahu sopan santun aja,” sesal Sam.
“Alah, dia pasti ngerti, kok. Atau, Lo tanya aja sama si Toni unitnya nomor berapa, terus samperin deh, dan bilang terima kasih susulan.”
“Harus ya nanya sama si Toni. Bunuh diri dong gua. Gosip apa lagi nanti yang bakal dia karang terus nyebar se-ibu kota.” Sam meneguk air putih di gelas.
“Lo emang tampan, Man. Tapi kegantengan Lo di ibu kota ini nggak ada artinya, keburu kesalip artis, selebgram, youtuber, sama politisi ganteng. Nggak ada yang tahu kegantengan Lo itu, kecuali Bos Devil.”
“Sial, Lo,” damprat Sam.
“Tapi, perlu disyukuri juga sih, ketidakbekenan Lo itu. Coba Lo nyeleb di Instagram, misalnya. Bakal penuh postingan Lo dengan komen cewek-cewek yang bucin.”
“Bucin? Apaan tuh?” Sam mengernyit.
“Elaaah … pria berkeluarga antisosial media ya gini, nih. Kurang up to date. Budak cinta, Man ….”
“Norak.”
“Persis.” Vino terbahak lagi. “Lo, bakal stres baca komen-komennya. Mas Sam, bikin rahim aku anget. Mas, kok gantengnya kayak makhluk astral. Mas Sam, hamil virtual, yuk. Nggak masuk akal, kan, ngajak-ngajak Lo hamil. Lo kan cowok.”
“Insane. Serius, kayak gitu?”
“Gak percaya? Coba aja. Gua bikinin Instagram, mau? Atau fake akun gua deh, tapi pake foto, Lo, boleh ya? Siapa tahu banyak erndorsan, lumayan kan, Man.” Vino si Rubah mulai melancarkan taktik liciknya.
“Monyong! Gua bisa digorok Ibu.”
Vino terbahak melihat reaksi Sam. Ia juga membayangkan reaski Bu Cakra kalau sampai hal seperti itu kejadian. Pingsan.
“Pantesan kelakuan model, si siapa itu ….”
Sam belum menyelesaikan kata-katanya, telepon di mejanya berdering. Sam mengangkat gagang telepon dengan sigap. Ia menyapa si penelepon dan mendengarkan sebentar.
“Nih, buat Lo dari Sita,” kata Sam sambil mengangsurkan gagang telepon.
Vino kaget, kenapa Sita meneleponnya di telepon Sam. Vino menyambut gagang telepon dan mendengarkan sebentar.
“Bos Devil, Man,” bisik Vino sambil menyalakan speaker dan meletakkan gagang telepon di tempatnya.
“BARATA!”
Tiba-tiba sebuah suara mengentak telinga Sam dan Vino. Sam mengernyit dengan mimik nah-lho-bos-ngamuk-kenapa-sih sambil menatap Vino.
Di kantor itu hanya satu orang saja yang memanggil Vino dengan nama Barata, yaitu Ibu Dewi, Direktur Marketing mereka. Nama lengkap Vino adalah, Vino Barata, cowok berdarah campuran Jawa dari sisi Bapak, dan Batak dari sisi ibu. Ibu Dewi tidak suka memanggilnya Vino, karena Vino adalah nama kucing benggal kesayangannya. Ia tidak rela kucingnya mendapat saingan. Vino sempat misuh-misuh waktu Bu Dewi dengan lantang mengungkapkan kenyataan itu. Seisi kantor menertawakannya. Kalah saing sama kucing.
“Iya, Bos,” sahut Vino dengan penuh hormat.
“KAMU! BERANI-BERANINYA MEMANGGIL MODEL JADI-JADIAN ITU LAGI, HAH?!”
Sam mengernyit tanda tak mengerti apa yang dimaksud oleh bosnya itu. Tapi, ia bisa menebak siapa yang dimaksud dengan model jadi-jadian itu.
“Kok, Bos, tahu, sih ….” Hanya Vino, di kantor ini yang bisa berkomunikasi dengan gaya santai kepada Bu Dewi.
“Ya, tahu dong. Kamu pikir siapa tadi yang satu lift dengan saya. Berani-beraninya lagi tuyul itu pakai lift khusus eksekutif,” omel Bu Dewi.
Sam menahan senyum. Tuyul? Sejak kapan tuyul berbadan tinggi, semampai, dengan rambut panjang terurai nyaris mencapai pinggang. Vino menahan tawanya sampai membungkuk.
“Maaf, Bos. Iya, pemotretan waktu itu kan masih ada yang kurang, gara-gara insiden ….”
“WHAT THE F***! S*** $#@*&%X*&^^$##@.”
“Ehm … Mbak … tenang, Mbak, mohon tenang dulu ….”
Akhirnya Sam angkat bicara. Kalau sumpah serapah racun jiwa itu sudah keluar dari mulut perempuan titisan red hot chilli paper itu. Bahaya. Karir Vino juga bisa terancam. Sam memberi isyarat Vino untuk diam, dan ia yang akan mengambil alih.
“What?! Wait … Sam?! It’s that you?” Nada bicara Bu Dewi tampak kaget. “What the hell is going on? Ini saluran telepon kamu? Kenapa si Fatty Barata itu ada di situ?” sambar Bu Dewi lagi.
Rupanya Sita tidak memberitahu. Tadi ia menelepon Vino ke kubikelnya, Antin yang menerima memberitahu, Vino ada di ruangan Sam.
“Iya, Mbak. Vino lagi ada di ruangan saya. Kami sedang briefing tadi. Maaf, soal pemanggilan Zaza lagi, ya mempertimbangkan pengambilan foto yang belum tuntas.” Sam berusaha melunakkan hari Red Devil yang sedang membara, padahal ia juga belum mendapat laporan dari Vino soal ini.
“Owh, oke, Sam … bisa datang ke my office. I need more explanation about this. Sooo confusing, I need to discuss, Sam. Kantor saya, now, oke?” Bu Dewi mendapat kesempatan untuk memancing Sam datang ke kantornya lagi.
“Eng … baik, Mbak, sebentar lagi saya ke sana, sambil membawa detailnya,” sahut Sam tak memiliki alasan untuk menghindar. Ia memelototi Vino.
“Oke, aku tunggu ya ….” Suara Bu Dewi langsung berubah jadi serak-serak manja. Kemudian sambungan telepon ditutup.
Sam menatap Vino dengan tatapan elang. Vino mengatupkan kedua telapak tangan, memberi isyarat memohon dengan sangat.
“Kayaknya gua belum dengar laporan, Lo, soal pemotretan ulang ini.” Suara Sam tajam.