Suara tawa panjang seorang perempuan terdengar dari speaker laptop di atas meja, sementara Jayanti juga cengengesan di depan layarnya.
“Dipakai atuh kacamatanya, Jay,” kata perempuan yang wajahnya tampak di layar.
“Kagok, tadi aku kan ketemu klien yang mau survey tempat buat prewednya, sambil motret juga buat contoh.” Jayanti menjawab sambil terus menatap layar laptop.
“Terus, jidat jenong kamu nggak apa-apa?” tanya teman ngobrol Jayanti di seberang sana.
“Aman, tapi jadi memar sih, lihat nih,” kata Jayanti sambil menyingkap poni dan memperlihatkan bulatan hitam tidak sempurna di dahinya. “Cuma malunya itu yang masih bertahan,” lanjutnya lagi. Mendengar kejujuran Jayanti, perempuan di telepon terbahak lagi.
“Dih, Ochi, kamu malah ketawa. Malu tahu, mana ketemu orang yang kenal tadi.”
Jayanti sedang bertukar kabar dengan Ochi, sepupunya yang tinggal di Bandung. Ochi seumuran dengannya. Ia teman bermainnya sejak kecil. Saat masa bersekolah pun, mereka juga pergi ke sekolah yang sama, dari TK sampai SMA. Mereka berpisah saat harus melanjutkan kuliah di universitas yang berbeda. Tak heran kalau hubungan mereka sangat dekat, seperti sahabat. Setiap ada masalah, Jayanti selalu mencurahkan kegelisahannya hanya pada Ochi. Hanya Ochi yang ia percaya.
“Masa? Siapa? Sudah ada kenalan aja di Jakarta. Gercep, banget, sih, Jay.” Ochi menggoda Jayanti.
Jayanti baru pindah ke Jakarta, sekitar satu bulan yang lalu. Itu pun atas saran Ochi. Mencari suasana baru, begitu kata Ochi. Lagi pula, peluang untuk mendapatkan pekerjaan sebagai fotografer freelance, di Jakarta lebih memungkinkan.
“Tetangga,” kata Jayanti sambil bangkit dan melangkah menuju dapur. Ia menuang kopi dari coffeemaker pot ke mug besar.
“Di apartemen? Tuh kan gercep.” Tawa Ochi terdengar lagi.
“Iya, tapi aku nggak kenal, cuma pernah lihat aja dua kali, dan baru sapa-sapaan tadi pagi.”
“Ganteng?” tembak Ochi langsung.
“Halah, Nyonya ….”
Ochi tertawa geli. “Nah kan, aku bilang juga apa. Coba kalau kamu keukeuh ngekos mah, nggak akan ketemu barang bagus secepat ini.”
“Iya … iya … thanks to you yang sudah memberi hamba tempat bernaung, dan nggak jadi ngegembel di Jakarta,” balas Jayanti sambil terkekeh.
Ya, siapa tahu. Kayaknya sudah saatnya, Putri Katumbiri keluar dari goa persembunyiannya. Come to the light … say goodbye to masa-masa kegelapan.
“Shut up! Punya bini kali, Nyah,” bentak Jayanti dengan nada lucu. Ia tertawa pahit. Ada gurat kesedihan di wajahnya.
“Maksudnya?” Ochi jadi mengernyit.
“Ya, pernah sekali, aku lihat dia di kafe sama anaknya deh.” Jayanti merasa heran sendiri, kenapa ia harus menjelaskan hal ini pada Ochi.
“Owh, sudah beranak. Tapi, yakin itu anaknya? Bukan keponakannya gitu?”
“Yakin.”
Jayanti teringat benda yang memenuhi tangan Sam. Kalau tidak salah ingat, laki-laki bernama Sam itu bilang harus mengantar benda itu ke sekolah anaknya. Jadi, laki-laki itu memang tinggal bersama anaknya di apartemen itu. Juga dengan istrinya kah?
Oh, stop. Buat apa dipikirkan. Jayanti sudah merapal doa, semoga ia tidak usah bertemu lagi dengan Sam. Pasti, setiap melihat wajah Sam, ia akan teringat lagi insiden mencium kaca. Sungguh memalukan.
Suara tangisan bayi menyadarkan Jayanti dari lamunannya barusan. Spontan Ochi menoleh ke arah belakangnya.
“Eh, Jay, udahan dulu ya, Zia bangun deh kayaknya. Makan di mana nanti? Pesan lagi?” tanya Ochi perhatian.
“Nggak. Keluar paling, sekalian belanja. Besok mau masak ah.”
“Bagus deh, jadi irit kan. Pokoknya jangan nggak makan, body udah kayak triplek gitu. Bye, Jay.”
“Siap, Nyonyaaah … kis kis ya buat baby Z.”