Sudah menjadi takdirnya kalau Divisi Marketing harus bekerja dua kali lebih keras dibanding divisi mana pun yang ada di PT. Kilau Pesona Nusantara ini. Divisi yang dipimpin oleh Sam ini, bisa dibilang ujung tombak perusahaannya.
Tetapi sudah sebulan ini, kerja mereka sepertinya harus berkali lipat lebih keras lagi, berkat tekanan Bu Dewi, selaku bos besar mereka. Kalau biasanya target bulanan di angka lima sekarang delapan, kalau mungkin ya sepuluh. Thanks to Vino yang cari gara-gara, membangkitkan dendam si Bos. Masih untung ia nggak sampai dipecat. Cowok bertubuh bongsor itu diselamatkan oleh database vendor-vendor bagus yang dibangunnya selama sepuluh tahun. Mubazir kalau sampai mengeliminasi Vino.
Tapi, dasar staf Marketing semuanya bermental baja. Mau digilas bagaimana pun oleh si Bos, mereka selalu riang gembira. Suasana hangat penuh canda tawa selalu mewarnai kubikel mereka. Walau sekarang staf Marketing jarang terlibat obrolan meeting pagi di pantry, makan siang pun di kubikel masing-masing, atau sambil meeting sekalian, dan pulang paling belakangan dari yang lain, raut wajah mereka tetap ceria, tidak ada istilah menjadi gelap, berkerut, atau tampak depresi.
Bahkan Antin si Miss Ceriwis, anteng bekerja dengan masker antiaging menempel di wajah. Akbar dan Vino akur berbagi camilan untuk mencegah malnutrisi. Denise dengan earphone yang siap menghantar musik easy listening sebagai penenteram jiwa. Tidak ada masalah. Tidak ada drama.
Rekan-rekan kerja dari divisi lain menuduh mereka sudah dapat air suci dari paranormal sakti mandraguna untuk menghalau hawa negatif Miss Devil. Denise yang dikonfirmasi mengenai hal itu terbahak.
“Nggak ada dukun-dukunan. Kita memang pintar aja manage stress. Mas Sam juga jago sih bikin planningnya, jadi kita semua bisa kerja dengan efektif.”
Penjelasan Denise sudah cukup. Tidak ada yang tahu bagaimana ketar-ketirnya perasaan Sam dengan ritme kerja bagai dikejar rombongan babi hutan. Ia sungguh kasihan pada stafnya. Diam-diam ia berusaha menjaga mereka dengan baik. Tidak ada yang tahu juga, ia selalu membawa pekerjaan ke rumah, porsi yang sengaja tidak dibaginya dengan stafnya, supaya mereka bisa beristirahat setelah lembur.
Seperti pagi ini ….
Semua staf inti marketing sedang anteng meeting, termasuk Sam juga. Mereka mendiskusikan pagelaran budaya besar-besaran berskala internasional, yang akan diselenggarakan awal tahun depan. Pagelaran itu selain menggelar pertunjukan seni, juga ada pameran benda-benda antik dan produk-produk kerajinan dari seluruh Indonesia. Penyelenggara meminta perusahaan mereka menjadi partner dalam proyek besar ini.
Tiba-tiba … pintu ruang meeting terbuka lebar. Otomatis lima pasang mata tertuju ke sana.
Perempuan yang mengenakan setelah bermotif abstrak dengan nuansa merah darah, memasuki ruangan dengan langkah bagai model di atas catwalk. Hak sepatu branded yang konsisten dengan sol berwarna merah itu, mengetuk-ngetuk lantai seiring langkahnya. Sikapnya yang tenang namun mengancam membuat semua yang ada di ruang meeting berdehem, kemudian menyiapkan mental untuk serangan yang akan mereka terima. Vino, yang duduk di sisi Sam, tahu diri, dan langsung pindah mengosongkan kursinya untuk titisan Dewi Durga yang baru saja datang.
“Oke, sampai mana pembahasannya,” katanya sambil menyilangkan kaki. Antin melirik ke bawah. Kedua alisnya terangkat. Rabakate by Christian Louboutin warna hitam, sepatu idaman yang hanya mampu ia tempel fotonya saja di kaca meja rias.
“Kita lagi bahas proyek pameran besar awal Januari nanti.” Sam menjawab dengan setengah hati.
“Do that later. I have new project. Mercedes-Benz Fashion Week.” Bu Dewi merespons cepat.
“Tapi itu waktunya tinggal seminggu lagi,” cetus Denise kaget.
“So what? Lagipula kenapa event bagus begitu bisa nggak ada dalam list prospek kalian?” Suara Bu Dewi semakin tajam.
“Karena tempatnya di Rusia, malas gua bulan Oktober ke sono, dingin bo,” gumam Denise, tapi Akbar yang duduk di sebelahnya masih bisa mendengar. Akbar menyeringai sambil menunduk. Menyembunyikan senyumnya dari sergapan mata elang Miss Devil.
“Di mana, Nis?” tanya Sam dengan suara lunak, menenteramkan Denise yang sudah tampak tegang dan emosi.
“Moskow, Mas,” jawab Denise dengan suara lemah.
“RUSIA?!!” Vino dan Antin kompak menyerukan keterkejutan mereka.
“Kenapa dengan Rusia?” sentak Bu Dewi tanpa ampun. Kilatan di matanya kontan membuat Vino dan Antin membeku, dan tidak berani berkomentar apa-apa lagi.
“Persiapannya bakal berat nih ….” Suara Akbar nyaris tak terdengar.
“I’m not asking your opinion.” Bu Dewi menatap Akbar tajam.
Sam menghela napas. “Oke, kita kerjakan. Nis?” Iya mengkonfirmasi kesanggupan Denise, asisten yang menangani proyek-proyek di luar negeri.
“Bisa, sih, Mas. Mungkin kita pakai produk-produk ex Norway dulu aja, kalau nggak sempat ambil produk-produk baru.”
“Tambah vendor perhiasan yang kemarin udah deal sama kita ya, Vin?” Sam mengalihkan pandangannya pada Vino.
“Siap, Man, eh … Sam.” Vino keceplosan santai di depan Bu Dewi.
Seketika raut wajah Bu Dewi agak berubah, tetapi langsung bisa dikuasainya lagi. Kemudian ia bangkit sambil berkata, “Oke. Saya anggap clear ya. Do your best. Denise persiapkan semuanya termasuk tiket dan akomodasi saya.”
Setelah berkata itu ia menatap Sam dengan tatapan sendu, kemudian mendesah, “Oh, Sam ….” Sebelum akhirnya meninggalkan ruang meeting. Rupanya ia belum sepenuhnya move on dari Sam. Di belakangnya Vino memasang wajah nyinyir mengejek.
Kedua mata Denise yang minimalis melotot demi mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Bu Dewi. WHAT?!
Begitu Miss Devil menghilang, buru-buru Antin menutup pintu, dan pecahlah ruang meeting kecil itu dengan teriakan protes.