Bunyi bel berkumandang di sebuah unit apartemen mungil. Jayanti terlonjak saking kagetnya. Tube lem terlepas dari tangannya, dan menggelinding ke bawah meja. Kedua alisnya yang hitam dan tebal beradu. Ia melirik jam digital di meja kecil di samping sofa. Layarnya menampilkan angka 22:55. Siapa yang bertamu malam-malam begini.
Jayanti berdiam diri sejenak. Ia menimbang-nimbang, apakah ia perlu membuka pintu atau mendiamkan saja. Tapi, gimana kalau yang datang itu butuh bantuan. Untuk beberapa saat ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Bel berbunyi sekali lagi. Perempuan jangkung itu menggeser meja di depannya, supaya ia bisa berdiri. Sebagian dari foto-foto yang berserakan di atas meja berjatuhan. Ia melangkah menuju pintu depan.
Jayanti diwanti-wanti Ochi untuk berhati-hati. Walau tinggal di apartemen kelas atas, dengan sistem pengamanan maksimal, tetapi kita tidak tahu kapan bahaya akan datang. Jayanti juga tidak mengenal orang-orang yang tinggal di apartemen itu. Dan kejahatan, bisa datang dari orang yang tak terduga. Maka untuk mengantisipasi kesalahan seminimal mungkin, sebelum membuka pintu, ia mengaitkan rantai pengaman terlebih dulu.
Perempuan mandiri itu membuka pintu. Bukaan pintu terhalang oleh rantai, namun ia bisa melihat dengan jelas siapa yang datang. Matanya terbelalak melihat siapa yang berdiri di depan pintunya. Jayanti tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Tanpa mempertimbangkan apa-apa lagi, ia membuka rantai pengait, dan membuka pintu lebar-lebar. Ia tahu tamunya ini tidak berbahaya.
“Selamat malam,” sapa Sam. Ia berdiri dengan canggung sambil menggandeng tangan Rengga. Rengga menatap Jayanti dengan mata mengantuk dan masih mengenakan piyama. Tangannya yang lain memeluk boneka kelinci. Sebuah backpack mungil menempel di punggungnya.
“Malam … ada apa ini? Apa … dia … sakit?” tanya Jayanti dengan nada suara seperti berhati-hati. Tatapannya tertuju pada Rengga.
“Nggak. Eh, bukan seperti itu. Eh, gimana ya … aduh ….” Sam tak bisa menata kata-katanya dengan baik.
“Ada masalah?” tanya Jayanti.
Sam meremas tangannya dan mengusap jeansnya beberapa kali. Kedua bola matanya bergerak-gerak. Ia sedang gugup, gelisah, dan kacau. Jayanti tahu itu.
“Masuk dulu, deh.” Jayanti mempersilakan tamu tak diundang itu. Lelaki yang belum dikenalnya betul, dan baru ditemuinya dalam tiga kali kesempatan saja. Tetapi, karena dia bersama anaknya, Jayanti tidak menaruh prasangka buruk.
“Begini, Mbak, eh … Jayanti,” ucap Sam gugup. Untung dia masih mengingat nama perempuan ini. Kemudian dia menceritakan masalah yang tengah dihadapinya dan maksud menitipkan Rengga pada Jayanti.
Mata Jayanti yang bulat dan besar dengan sinar bintang itu membola. Rengga nyaris terpekik. Ia mengira bola mata Jayanti akan meloncat keluar.
“Maksudnya? Eh, gimana tadi?” Jayanti memastikan yang didengarnya barusan bukan kesalahan.
“Saya ingin menitipkan Rengga, anak saya ini, sementara di sini … kalau … eh, kamu nggak keberatan.” Sam mengulang permintaannya.
“Mas, mau menitipkan Rengga pada saya?” Seperti orang bodoh Jayanti mengulangi permintaan Sam.
Sam dan Rengga mengangguk kompak. Tatapan mereka berdua tertancap pada Jayanti dengan ekspresi memohon. Sam memang hanya mengandalkan insting saja. Ia pernah menyaksikan Jayanti yang setia menemani Rengga saat ia menghadapi situasi yang memalukan di mal tempo hari. Sudah lama, tapi ia masih mengingatnya. Selain itu, perempuan itu satu-satunya penghuni apartemen yang dikenalnya dan pernah berinteraksi langsung, bukan hanya basa-basi semata.
“Mas, percaya sama saya? Padahal kan kita baru bertemu tiga kali. Kamu mau di sini, sama saya?” Jayanti masih takjub dengan permintaan ayah dan anak di depannya ini. Tatapannya tertuju pada Rengga. Tak disangkanya Rengga bakal mengangguk.
“Memangnya … mama kamu ke mana?” tanya Jayanti pada Rengga.
“Bunda sudah pergi … ke surga,” jawab Rengga dengan jelas. Tak terdengar nada sedih dalam suaranya. Tegar sekali anak ini, batin Jayanti.
Jayanti terhenyak. Ia menyesal telah menanyakan hal itu pada Rengga. Tetapi, diam-diam ia merasa senang karena mengetahui status Sam. Eh, kenapa aku harus senang sih.
Jayanti mengibaskan kepala untuk menghilangkan pikiran aneh yang melintas di benaknya barusan. “Benar kamu mau di sini?” Jayanti bertanya lagi untuk memastikan keputusan Rengga. Rupanya ia tidak tega juga melihat gadis kecil itu.
Rengga mengangguk, kemudian menguap beberapa kali. Hati Jayanti terenyuh
“Baiklah kalau begitu, kalau Rengga mau.”
Sam mengembuskan napas lega. Buru-buru ia bangkit dan bersiap pergi. “Saya berterima kasih sekali. Saya nggak akan pernah lupa bantuanmu ini.” Sam menatap Jayanti sesaat. Waktu beberapa detik itu membuat Jayanti serasa tenggelam dalam kedalaman pupil berwarna kecokelatan yang meneduhkan.
“Rengga, maafkan Ayah. Nanti Ayah akan menebus malam ini dengan sesuatu yang menyenangkan. Baik-baik sama Tante Jayanti, ya, jangan merepotkan,” pesan Sam pada putrinya. Jayanti seperti disadarkan kembali.
Ia berdiri mengiringi langkah Sam ke pintu depan. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Eh, tunggu,” cegahnya sebelum Sam membuka pintu. Kemudian ia berlari ke kamar.
“Ini, bawa ini.” Jayanti memberikan secarik kertas berukuran kecil.
Sam menerimanya. Dahinya berkerut. Ia mengamati foto copy kartu tanda penduduk di tangannya.
“Siapa tahu perlu jaminan,” ucap Jayanti santai. Sam jadi tertawa.
“Nama lengkap kamu ….” Sam mengamati kertas itu sekali lagi.
“Yeaaah … kamu orang yang ke sejuta yang bakal ketawa membaca nama lengkap saya,” cetus Jayanti.
Sam betulan tertawa. Bukan disebabkan nama Jayanti Kartikasari yang terbaca olehnya, tapi cara bicara Jayanti yang lucu.