Jayanti memoles bibirnya dengan lipglos tipis-tipis. Ia merapikan rambutnya tanpa sisir, cukup dengan jari-jarinya saja. Ia memeriksa pantulan wajahnya di cermin, dan setelah merasa puas, ia bangkit dari kursi meja rias.
Bunyi bel memenuhi ruangan apartemennya, tepat ketika ia sudah menyambar tote bag canvas di tempat tidur. Jayanti mengernyit. Ada tamu? Ia melangkah keluar kamar dengan tanda tanya di kepalanya.
Jayanti memasang rantai pengaman di pintu, kemudian ia membuka pintu dan mengintip dari celah pintu yang tak terbuka dengan sempurna. Seketika kedua alisnya terangkat. Terkejut melihat siapa yang berdiri di depan pintu.
Sam dan Rengga lagi. Rengga tertawa kecil melihat ekspresi kaget Jayanti. Buru-buru Jayanti membuka rantai dan membuka pintunya lebih lebar.
“Selamat siang,” sapa Sam.
“Selamat siang … mau nitip Rengga lagi?” Jayanti bertanya dengan polos.
Sam meresponsnya dengan tawa malu. “Oh, nggak, bukan itu maksud kedatangan kami.”
“Kami mau mengajak Tante Jay makan siang bareng,” cetus Rengga.
“Kalau kamu nggak keberatan, tentunya,” timpal Sam cepat.
“Iya, Rengga tadi bilang sama Ayah, kita ajak Tante Jay makan siang, kan waktu itu Tante Jay sudah membantu menjaga Rengga, ayah belum kasih hadiah sama Tante Jay.”
Jayanti diam-diam merasa geli dengan ucapan Rengga. Ia mensejajarkan wajahnya dengan wajah Rengga. “Tapi, memberikan bantuan itu tidak harus selalu mendapat balasan, kok, Anak Manis. Waktu itu, bukan Tante Jay yang menemani Rengga, tapi, Rengga yang menemani Tante kerja kan.”
Jayanti melirik Sam. Yang dilirik jadi salah tingkah. Entah kenapa, ia yang biasanya dingin dan selalu menunjukkan sikap tak tertarik di depan perempuan mana pun, bisa mati gaya di depan Jayanti. Buru-buru Sam memperbaiki sikapnya.
“Maafkan kami kalau begitu. Tapi tolong, jangan salah paham. Kami hanya ingin membalas kebaikan kamu tempo hari,” ucap Sam dengan sikap coolnya. “Dan sepertinya, kamu juga ada keperluan lain, kalau begitu kami permisi. Yuk, Ga.” Sam mengajak Rengga meninggalkan Jayanti. Rengga mengerucutkan bibirnya tanda kecewa.
“Oh, eh, nggak … eh, saya nggak bermaksud keberatan kok. Eh ….” Jayanti terkejut dengan ucapannya sendiri. “Saya … eh, keperluan saya bisa ditunda.” Nada bicaranya semakin melemah. Sekarang Jayanti yang salah tingkah. Ia merasa bodoh, nyaris saja ia menyia-nyiakan kesempatan bagus ini. Padahal, kesempatan ini, bisa menjadi jalan untuk mewujudkan ide yang melintas di pikirannya tadi pagi.
“Asyik, Tante Jay jadi ikut kami makan siang, kan.” Rengga bersorak dan bertepuk tangan. Jayanti mengangguk.
Sam membawa mereka ke sebuah fine dining restoran yang menyajikan masakan cina, tetapi terjamin kehalalannya. Sudah menjadi prinsip Sam dan Heni, untuk berhati-hati jika makan di luar rumah. Sebagus apa pun testimoni orang-orang terhadap satu restoran, jika diragukan kehalalan makanannya, mereka tidak akan pernah mencoba makan di tempat itu.
“Tante, makan yang banyak ya, biar kuat motretnya,” celetuk Rengga sambil menggeser piring udang saus mentega ke depan Jayanti. Jayanti tertawa geli.
“Terima kasih, Rengga,” sahut Jayanti sambil menyendok seekor udang besar dan memindahkan ke piringnya.
“Jadi betul, kamu seorang fotografer?” tanya Sam tertarik. Ia teringat dugaan Denise tempo hari. Rengga juga bercerita padanya soal foto-foto Tante Jay yang bagus-bagus.
“Masih coba-coba,” balas Jayanti. Ia pura-pura sibuk memisahkan kulit udang, tetapi sesungguhnya ia tidak sanggup menatap wajah Sam yang duduk di depannya.
“Fotografer itu pekerjaan yang menjanjikan,” ucap Sam tulus. “Sudah dapat banyak order dong?” Sam berusaha ramah.
“Ah, belum sampai ke sana. Neraca keuangan masih defisit terus,” balas Jayanti berusaha mengimbangi dengan canda. Sesungguhnya ia sedang menahan debaran di dadanya. Ada yang mau ia bicarakan dengan Sam.
“Santai aja … kamu kan masih muda.”
Mendengar ucapan Sam, Jayanti tersenyum simpul. Senang juga dibilang masih muda. Padahal, ia menerka, umur Sam tak terpaut jauh dengannya. Ucapan Sam tadi menandakan kalau Sam mengira dirinya jauh lebih muda dari laki-laki itu.
“Tapi kebutuhan hidup nggak bisa santai nih.” Jayanti berusaha mencairkan situasi, terutama untuk dirinya sendiri. Ia berusaha mengatasi rasa gugupnya.