“Bang Vinooo! Gawat nih!” Antin berteriak dari kejauhan. Jaraknya dengan kubikel Vino masih sekitar sepuluh meteran lagi, tapi teriakannya sudah membahana di seantero ruangan.
Vino meremas rambutnya dengan gemas sambil bergumam dengan kesal. “Haduuuh … ada apa lagi sih ini, ya, Tuhaaan.”
Sudah sejak berjam-jam yang lalu Vino bertarung dengan laptopnya. Perang merevisi proposal belum bisa ia taklukan, sejak proposal pertamanya mendarat dengan sukses di tempat sampah di samping meja Miss Devil. Padahal demi menyelesaikan misi suci ini, ia sampai mengorbankan makan siangnya. Ternyata deritanya tak hanya sampai di situ.
Kenapa bukan Sam yang mereview? Karena itu perintah langsung dari perempuan hasil kloningan Dewi Durga yang berkantor di lantai 25. Alasannya melatih ketajaman analisis Vino. Padahal kata lainnya adalah ingin menyiksa Vino. Tampaknya dendam pada Vino bakal dibawa sampai mati.
“APA?” bentak Vino sambil mendelik sebal. Ya, ia memang bakal sebal pada siapa saja yang mengganggunya, di tengah situasi darurat di mana ia sedang membutuhkan konsentrasi maksimal. Dan sekarang target utamanya adalah Antin.
“Fotografernya … cancel ….” Antin bicara dengan nada semakin pelan sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kontan mata Vino yang belo melotot.
Hari ini ada jadwal pemotretan produk baru. Dan ia memasang target penyelesaian hanya satu hari saja, karena jumlahnya juga tidak terlalu banyak.
“Kok bisa? Nggak profesional deh. Kamu nyari fotografernya di mana? Kang foto Monas? Wisudaan?” Vino murka.
“Ya, yang biasalah, si Tomi kan. Dia biasanya ngasih kontak lain kalau ada apa-apa, tapi ini nggak. Katanya dia buru-buru harus balik ke Jogja.”
“Errrgh … terus, jangan bilang, Lo juga nggak punya list backup.”
Antin menggeleng. Ekspresi Vino sudah berubah menjadi gua-telan-juga-Lo-Neng.
“Terus gimana dong, Bang? Fotonya kan harus masuk layout besok.”
“Nah, itu tahu! Cari fotografer pengganti dong!” bentak Vino tanpa tedeng aling-aling. Biasanya laki-laki bertubuh beruang itu ceriwis, kocak, dan banyak bercanda. Tapi, sekali-sekali darah Bataknya bisa menggelegak juga bila ada yang memancing.
Sam keluar dari ruangannya. Ia heran mendengar suara Vino sekencang itu. Bukan suara tawa seperti biasanya, melainkan suara yang penuh amarah.
“Ada apa, sih, kalian?” tanya Sam santai sambil memasukkan tangan ke dalam saku.
“Ini nih, si Antin, cari gara-gara. Dia nge-hire fotografer yang nggak profesional, tahu-tahu cancel pas deadline gini.”
“Lho, si Tomi kan fotografer langganan. Biasanya juga dia nggak pernah begini,” jelas Antin.
“Langganan … langganan … kang bubur kali langganan ah. Terus, si burung perkutut ini nggak punya list backup lagi!” Vino gemas dengan keleletan Antin. Kalau tidak ada Sam di situ, barangkali sudah dari tadi Antin lenyap ditelannya.
Sam terkekeh melihat dua asisten saling berseteru. Ia langsung paham apa yang menjadi masalah di antara mereka. “Sudah berantemnya. Gua ada backup nih. Mudah-mudahan aja dia lagi nggak ada schedule. Bentar gua kirim nomor kontaknya ke, Lo, ya, Ntin.” Sam berlalu masuk ke ruangannya lagi.
Mendengar solusi dari Sam, Antin bakal joget-joget terus sampai sore kalau Vino tidak memelototinya lagi. Dengan kibasan telapak tangannya, ia mengusir Antin. Perhatiannya segera terpusat lagi ke laptop.
Tak berapa lama, Antin menerima nomor kontak yang diperlukannya. Tanpa membuang waktu lagi, Antin segera menghubungi nomor kontak yang diberi Sam. Lima menit kemudian ….
“YES! Thanks God it’s Friday! Aku selamaaat ….” Antin teriak sambil joget-joget lagi.
“ANTEEEN! PERGI NGGAK?!” Vino sudah tidak tahan lagi.
Suara Vino yang galak membuat Antin terbirit-birit. Lebih baik ia menjaga jarak aman, kira-kira radius satu lantai barangkali. Antin memilih menunggu fotografer pengganti itu di studio lantai 23.
* * *
Antin bergegas ke luar studio. Baru saja ia mendapat telepon dari fotografer yang ia kontak, dan dia bilang sedang menunggu di depan lift lantai 23. Satu sosok jangkung berdiri membelakanginya. Tas kamera yang tampak berat tersandang di bahu kanannya. Perhatian sosok itu tertuju pada ponsel di tangannya.