Bel berbunyi dua kali, ketika Jayanti sedang sibuk di dapur. Aroma pancake yang harum dan mengundang selera memenuhi ruangan apartemen mungilnya.
“Ga, tolong dibukakan pintunya. Tante Ochi dari Bandung datang tuh,” ujar Jayanti. Tangannya cekatan membalik pancake terakhir di wajan antilengket.
Rengga segera bangkit dan menuju pintu begitu mendengar permintaan dari Tante Jay-nya. Ia membuka pintu, dan seketika suara ceria menyambutnya.
“Aiii … ini pasti, Rengga, kan. Aih, ternyata lebih cantik aslinya ya. Kenalkan, aku Tante Ochi, sepupunya Tante Jay dari Bandung.”
Ochi sudah tahu perihal Rengga. Ia mendukung keputusan Jayanti untuk menjadi pengasuh, bukan hanya soal uang, tapi Jayanti butuh kegiatan lain yang bisa mengalihkan perhatiannya dari kesedihan yang masih membayangi. Ochi ingin Jayanti kembali seperti Jayanti yang dikenalnya semasa remaja dulu.
Rengga sudah diberitahu kalau pada hari itu, bakal ada tamu dari Bandung. Tapi, Rengga tak menyangka kalau tamu itu bakal semeriah ini. Seperti pembawa acara di acara ulang tahun. Rengga menyambut Ochi dengan senyum manisnya.
“Halo, Tante Ochi, mari silakan masuk, anggap aja rumah sendiri.”
Ochi tergelak mendengar sambutan Rengga. Dalam hatinya ia berkata, Ya memang ini rumah aku. Ochi melangkah santai, langsung menghampiri Jayanti.
“Jay, sehat?” katanya sambil mengadu pipi dengan Jayanti. “Kelihatannya anaknya aktif ya, kamu nggak kewalahan kan?” kata Ochi dengan suara sengaja dipelankan. Jayanti tertawa kecil.
“Pakai ngebel segala. Sudah lupa password apartemen sendiri? Duduk sana, es kopi kan?” Jayanti mengusir Ochi, kemudian sibuk membuat minuman favorit Ochi. Ochi duduk di kursi meja makan. Mereka saling bertukar kabar. Beberapa kali, tawa Ochi yang renyah terdengar mengisi ruangan.
“Baby Zi sama siapa?” tanya Jayanti sambil meletakkan gelas es kopi di depan Ochi, juga sepiring pancake. Ia sendiri membawa cangkir kopinya, dan bergabung bersama Ochi di meja makan.
“Kang Ihsan, tapi dikawal Mamah sih,” sahut Ochi.
Jayanti geleng-geleng. Namun, ia ikut bahagia, sepupu yang sangat disayanginya itu mendapat suami dan ibu mertua yang pengertian. Mereka memberi ruang untuk Ochi, saat ia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Ochi sangat beruntung, tidak sepertinya dirinya yang ….
“Helooo … time traveler, pasti sedang berkelana ke masa lalu lagi. Move on … move on,” seru Ochi sambil menjentikkan jari di depan wajah Jayanti yang tiba-tiba murung.
Jayanti terkekeh. Iya sadar tak bisa menutupi apa-apa dari Ochi. Perempuan yang sama-sama berambut ikal, namun berkulit kuning langsat itu yang paling tahu cerita masa lalunya, setiap huruf, setiap koma, dan titiknya.
“Ngomong-ngomong, bapaknya kemana?” tanya Ochi sambil menoleh ke arah Rengga yang sedang asyik menggambar.
“Urusan kantor.” Jayanti menjawab pendek. Ia ingin menghindari topik obrolan tentang Sam.
“Hari Minggu, gini?” Ochi melengkungkan bibir ke bawah. Jayanti merespons dengan mengangkat bahu.
“Yakin, urusan kantor? Eh, tahu-tahu dia ngedate, kamu yang dirusuh jagain anaknya,” bisik Ochi sambil terkekeh.
“Terus kenapa? Aku kan dibayar buat ngejagain anaknya. Lumayan lho honor lemburnya,” cetus Jayanti.
“Dasar kamu, Jay. Sekali-sekali mikirnya greedy dong, ngasuh anak sekalian sama bapaknya,” tukas Ochi masih dengan berbisik, takut terdengar Rengga.
“Dodol,” bentak Jayanti pelan, sambil menyesap kopinya.