Sam memarkir mobilnya di pinggiran jalan. Ia turun dari mobil. Membuka kaca mata hitam, dan mengamati sebuah rumah. Laki-laki itu mengeluarkan secarik kertas dari saku kemeja flanelnya. Ia perlu memeriksa sesuatu.
Benar. Alamat di kertas itu adalah jalan ini, dan nomor 15 tertera pada papan nomor rumah bercat putih dengan ornamen dari batu kali yang ada di seberang jalan. Sam sengaja memarkir mobilnya berlawanan arah, supaya tidak terlalu menarik perhatian. Ia mengamati rumah yang dicarinya. Arsitekturnya khas rumah tahun tujuhpuluhan.
Taman kecil di halamannya tampak terawat. Sam bisa melihat tanaman kumis kucing dan tapak dara tumbuh dengan subur. Rumpun bunga mawar putih yang tinggi berdiri di pojok pagar. Rumah yang asri. Tapi, rumah itu tampak sepi. Apakah ada penghuninya? Haruskah aku ke sana dan memperkenalkan diri?
Sam ragu. Alih-alih menyeberang dan masuk ke halaman rumah itu, Sam pergi ke warung rokok yang terletak beberapa meter saja dari tempatnya berdiri.
“Rokok, ‘A?” sapa bapak penjaga warung.
“Oh, nggak, Pak. Beli minum aja. Air mineral,” balas Sam sopan.
Kemudian bapak itu mengambil air mineral dari kotak pendingin, dan membersihkan embun yang menempel di botol dengan lap bersih sebelum memberikan pada Sam.
“Mangga,” katanya sambil menyodorkan botol air mineral.
“Hatur nuhun,” sahut Sam.
“Punten, ‘A. Aa teh intel?” bisik si penjaga warung dengan khidmat.
Sam terbahak sampai air mineralnya tersembur. “Bukan atuh, Pak.”
“Oh, habis gagah dan itu, kacamatanya seperti kacamata intel,” ujar si penjaga warung polos.
Sam berniat menceritakan kejadian ini pada Vino. Dia pasti ngakak tak habis-habis. Laki-laki yang setiap penampilannya tak pernah mengecewakan itu, terpukul juga, bagaimana mungkin Ermenegildo Zegna sunglassesnya disamakan dengan kacamata hitam ala intel-intel.
“Sedang mencari rumah siapa, ‘A?” tanya penjaga warung lagi.
Sam sudah paham, orang Bandung itu ramah-ramah. Mereka banyak bertanya bukan karena kepo tidak jelas, tapi memastikan barangkali yang ditanya butuh bantuan.
“Oh, tadinya saya mau ke rumah itu. Nomor 15, tapi sepertinya tidak ada orang. Sepi,” jawab Sam.
“Itu mah rumahnya Pak Sunarya. Memang, rumahnya kosong. Pak Sunarya dan istrinya sudah lama tinggal di rumah yang lain, katanya sih di Ciwidey.”
Benar kan. Orang Bandung itu selalu siap memberi bantun dan memberikan informasi yang dibutuhkan tanpa pamrih.
Ciwidey ....
Sam semakin sadar. Hanya sedikit yang diketahuinya tentang Jayanti.
“Bapak, tahu anaknya Pak Sunarya yang bernama Jayanti?” tanya Sam berspekulasi. Siapa tahu bapak ini bisa memberinya informasi lagi.
“Neng Anti, maksudnya?” Penjaga warung malah balas bertanya.
Sam ragu, apakah yang dimaksud si Bapak ini orang yang sama dengan yang sedang dicarinya.
“Emm … orangnya tinggi, manis, rambutnya agak ikal.” Sam menyebutkan ciri-ciri Jayanti.
“Oh, iya betul kalau gitu mah atuh. Iya, Neng Anti.”
“Bapak kenal?” tanya Sam dengan nada penuh harap.
“Tahu. Tapi, Neng Anti itu, sudah lama pindah dari rumah itu, dari sebelum Pak Sunarya pindah ke Ciwidey.”
“Oh, begitu. Bekerja di luar kota?” pancing Sam. Ia butuh informasi lebih banyak tentang Jayanti.
“Dulu sempat ramai di sini. Neng Anti batal menikah. Mungkin gara-gara itu dia pergi dari rumah.”
Sam tercengang. Batal menikah?
Keinginannya bertemu Jayanti semakin menggunung. Sam merasa kesalahpahaman di antara mereka ada kaitannya dengan masa lalu gadis itu. Dan ia tidak tahu. Ketidaktahuannya membuat ia merasa semakin bersalah pada perempuan itu. Ia mencari nama Jayanti di list kontaknya. Kemudian menekan tombol telepon.
Sam mendengarkan. Nada sambung normal. Artinya ponsel Jayanti sedang aktif. Jay, jawab teleponnya, please ….
Sementara itu, sekitar lima puluh kilometer ke arah selatan, Ochi mematung di depan pintu kaca. Dilihatnya Jayanti dengan gemas. Perempuan jangkung itu tenang-tenang saja berenang di kolam air hangat. Sesekali dia menepi. Bersantai di dinding kolam sambil menikmati sinar matahari.