“Gimana, Man. Sudah ada progress?” Vino masuk sambil menyodorkan tumbler berisi kopi kosta rika.
“Belum.”
“Ini sudah tiga bulan, Man.”
“Baru tiga bulan.”
“Rengga?”
“Murung.”
“Kasihan dia.”
Sam teringat suatu malam ia mendengar suara tangisan Rengga yang lirih. Ketika ia masuk ke kamarnya, anak itu kelihatan terkejut. Sam menanyakan alasan kenapa dia menangis, jawaban Rengga membuatnya terenyuh. Rengga bilang, walau pun dia sedih, menurutnya dia dan Sam tidak usah meminta Tante Jay kembali, kalau Tante Jay tidak ingin. Dia mau Tante Jay juga tidak memikirkan mereka lagi, supaya Tante Jay tidak sedih. Anak sekecil Rengga sudah memiliki perasaan yang peka dan tidak egois.
“Lo, nggak minta si Ochi itu buat ngomong ke Jay, Man?” Suara Vino menarik Sam dari lamunannya.
“Gua percaya sama Ochi. Dia yang paling paham menangani kesulitan Jay. Gua nggak mau nambah beban dia. Gua nggak boleh egois.”
“Hati seluas samudera, ya, Lo.”
Sam tersenyum kecut. Ia bisa saja bersabar menunggu keputusan Ochi. Tapi, bagaimana dengan rindunya yang semakin deras. Maka, untuk menyamarkan semua kesulitan yang tengah dihadapinya itu, Sam melampiaskannya pada pekerjaan. Ia bekerja sepuluh kali lebih keras. Tenggelam dari satu prospek ke prospek yang lain, dari satu proyek ke proyek yang lain, dari satu kesepakatan ke kesepakatan kerja yang lain. Perjalanan dinas dari satu kota ke kota lain, dari satu negara ke negara lain. Yang paling senang adalah Denise, karena sekarang jika ada proyek di luar negeri, kadang-kadang si Bos ikut mendampingi.
Kesibukan Sam tak mengenal waktu. Sekali-sekali Rengga terpaksa ia ungsikan ke rumah orang tuanya jika ia harus lembur, atau malah menginap di kantor. Staf-stafnya sering merasa kelimpungan dengan ritme kerjanya yang lebih gila dari masa-masa dendam Red Devil dulu, tetapi mereka berusaha untuk memaklumi. Mereka memang setia pada Sam. Dan Sam sepatutnya bersyukur karena ia mendapat rekan kerja yang selalu ada di sisinya dalam suka dan duka.
* * *
“Jay, kamu nggak capek?”
“Capek gimana? Aku santai terus gini, kok.”
“Ya, capek santai-santai terus. Nggak pengin ada kegiatan lain?”
“Sekali-sekali aku bantu-bantu di kafe kamu kan, Chi.”
“Nggak pengin motret lagi?”
Jayanti terdiam. Ochi tahu, ia sudah ada di jalan yang benar. Jayanti paling tak tahan kalau diajak bicara tentang hobi motretnya.
“Kawah putih, yuk, besok. Aku butuh ngisi instagram nih.”
Jayanti tergelak. Ochi tersenyum. Sebulan terakhir ini, mulai kelihatan ada perubahan dalam diri Jayanti. Dia lebih membuka diri. Dia sudah tidak lagi duduk tepekur di bawah pohon mangga, atau berenang-renang dengan tatapan kosong, atau melamun seharian di teras.
Sekarang Jayanti sudah lebih ceria. Dia mau bermain dengan Baby Zi. Ochi menangkap sorot mata yang menyiratkan kerinduan, setiap kali Jayanti bermain dengan anaknya. Mungkinkah Jayanti rindu pada ….
“Baby Zi ikut?” Jayanti bermain-main dengan tangan gemuk si bayi lucu di pangkuan Ochi.
“Nggaklah, sekarang di sana dingin banget katanya.”
“Kata siapa?”
“Orang-orang.”
“Orang-orang siapa?”
“Orang-orangan sawah.”
“Garing, kamu, Chi.”
“Kriuk.” Ochi bergaya seolah-olah memakan tangan bayi perempuannya.
“Sakit kamu, Chi.” Tapi tak urung Jayanti tertawa melihat tingkah Ochi.
“Memangnya kamu sudah sembuh, Jay?"
Jayanti bangkit dan berlalu menuju ke kamarnya tanpa merespons pertanyaan Ochi.
“Mau ke mana, Jaaay?!” teriakan tarzan Ochi mengisi seisi vila.
“Menyiapkan kamera untuk Paduka Tuan Putri yang akan berfoto ria besok,” balas Jayanti sebelum menghilang dari pandangan Ochi.
Ochi tersenyum lebar sekali. Jayanti sudah kembali. Mungkin inilah saat yang tepat. Ia perlu membicarakan sesuatu dengan perempuan yang sangat disayanginya itu.
Di kamarnya, Jayanti mengambil tas kamera dan meletakkan di atas tempat tidur dengan khidmat seperti memperlakukan sebuah peti berisi benda pusaka.
Ia mulai membongkar isi tas itu. Satu per satu isinya dikeluarkan dengan hati-hati. Ia mengambil sebuah amplop yang ada di dasar tas. Jayanti memegang amplop dalam posisi terbalik, maka berhamburanlah isi amplop di atas tempat tidur.
Foto-foto yang ia cetak. Satu per satu diamatinya dengan seksama. Gambar yang terekam di sana membuatnya tertegun. Di setiap foto hanya ada dirinya dan dua orang lain. Hanya mereka saja. Bertiga. Sudah berapa lama ya ….
Jayanti memejamkan mata. Ia teringat kata-kata Ochi di satu kesempatan.