Di sebuah bungalow mungil, Jayanti duduk dengan tenang, namun raut wajahnya tak bisa menyembunyikan perasaan tegang. Sejenak Jayanti memejamkan mata. Di pangkuannya, kedua tangannya bertaut erat dengan dua tangan mungil milik seorang anak perempuan.
Anak kecil yang cantik itu menatap perempuan yang sangat disayanginya. Dia menggerakkan tangannya sedikit. Jayanti membuka matanya. Tatapannya bersirobok dengan tatapan sepasang mata mungil yang lekat padanya. Sorot kebahagiaan yang hangat terpancar dari dua pasang mata. Saat senyum hangat mengembang di bibir mungil, seketika keharuan membuncah di dada Jayanti.
Jayanti terisak tepat ketika gema hamdalah terdengar bersahutan setelah para saksi menyatakan keabsahan ijab kabul. Air mata bahagia yang luruh menciptakan dua lajur keperakan di kedua pipi. Jayanti menempelkan dahinya ke dahi mungil di depannya. Tatapan mereka masih saling melekat. Aku akan menjagamu selamanya, Sayang.
Kemudian tawa Jayanti meledak, melampiaskan kebahagian yang sudah tak tertampung lagi di dadanya. Ia membelai pipi tembam anak perempuan yang setia mendampinginya, dengan penuh sayang. Air mata turun lagi dari matanya yang terpejam, saat anak itu mencium pipinya.
Ochi tak tahan lagi menyaksikan adegan yang mengharukan itu. Ia yang tadi duduk diam karena tegang sekaligus terharu, menghambur memeluk dua orang kesayangannya. Sejenak mereka bertangisan, tetapi kemudian tertawa sambil berurai air mata. Tiba-tiba terdengar suara pembawa acara meminta kehadiran pengantin perempuan.
“Jay, kamu siap?” Ochi langsung sibuk membenahi riasan wajah Jayanti. Mengangsurkan buket mawar putih. Membenahi riasan anak perempuan yang tak mau lepas dari sisi Jayanti, tak lupa membenahi riasannya juga. Mereka tertawa di depan cermin. Menertawakan kekonyoloan yang barusan terjadi.
Ochi membuka pintu. Jayanti tercengang. Jalan setapak di depan bungalow ditaburi kelopak mawar putih berona merah muda. Anak perempuan mungil di sisinya dengan sigap menggandeng tangannya sembari menghadiahi senyuman. Hati Jayanti berdebar, namun anehnya ia merasa tenang. Ia mempererat genggaman tangannya. Langkahnya mantap untuk menjumpai pengantinnya.
Alunan kecapi dan suling yang syahdu berkumandang, mengiringi langkah anggun Jayanti. Raut wajahnya berseri. Ia sama sekali tak berniat menutupi rasa bahagianya. Hari ini, seluruh dunia harus tahu bahwa ia bukanlah pecundang. Ia adalah perempuan yang berhak untuk dicintai, dan ia akan membalas cinta itu dengan sepenuh hati.
Terbersit haru di hatinya melihat betapa cantik tempatnya mengikat janji dengan sang pujaan hati. Ia melihat danau berair biru kehijauan di antara pohon-pohon pinus yang menjulang dan memberi kesan melindungi sekaligus misterius. Rangkaian bunga mawar putih, bercampur dengan mawar merah muda lembut dan baby breath diletakkan di beberapa titik dengan tepat. Indah. Seperti tempat peri-peri hutan berpesta.
Jayanti melewati gapura cantik dari rangkaian bunga bernuansa putih. Langkahnya teratur, menapak di jalan bertabur kelopak mawar. Semua orang yang hadir di tempat itu terkesiap melihat kecantikan alami Jayanti. Tubuh semampainya dibalut kebaya berwarna putih dengan ekor panjang menjuntai. Ada yang berubah dari penampilan Jayanti. Perubahan yang mengejutkan untuk semua orang yang mengenalnya, namun mengundang decak kekaguman. Jayanti tampak sangat elegan.
Jayanti berjalan dengan tatapan terkunci pada satu arah. Pengantinnya ada di depan sana. Sedang berdiri menantinya. Masih beberapa meter lagi jaraknya dengan laki-laki itu, tetapi Jayanti sudah bisa melihat dengan jelas betapa tampan dan gagahnya Sam, dalam balutan beskap pengantin Sunda dan kain panjang bermotif Sida Mukti.
Setelah dekat, Jayanti bisa melihat raut wajah Sam yang tampak kaget, namun hanya sesaat, karena kemudian dia langsung bisa menguasai kekagetannya dan menggantinya dengan senyuman hangat. Sepasang mata berpupil kecokelatan itu memberinya sorot penuh cinta berselimut rindu. Aku juga rindu padamu, Mas.
Sam menyambut tangan Jayanti yang diberikan Rengga yang menjadi pendamping Jayanti. Sekilas ia mengecup ubun-ubun putri semata wayangnya, ketika anak itu memeluknya. Rengga meninggalkan mereka berdua, dan duduk bersama kedua eyangnya.