“Ibu nggak nyangka ya, kamu bakal mengkhianati Ibu. Mengkhianati kita semua,” kata Bu Cakra sambil membanting sehelai blouse ke dalam koper. Ia menutup koper dengan kasar dan duduk di pinggiran tempat tidur dengan napas sedikit tersengal.
Perempuan yang masih cantik di usia tuanya itu, tampak sedang marah besar. Beberapa helai rambutnya terlepas dari cengkraman cepol kecil di atas tengkuk, terurai di sisi wajahnya yang memerah. Ujung bibirnya berkedut, kentara sekali ia sedang menahan tangis.
“Bu, saya nggak ada maksud mengkhianati Ibu.” Sam berkata dengan gelisah. Ia tak menyangka reaksi ibunya akan seperti itu menanggapi keputusannya.
“Iya, Bu, maksud Sam nggak seperti itu,” sambut Ratih, kakak Sam.
Bu Cakra langsung mendelik sambil berkata,”Kamu nggak usah bela adikmu. Dia sudah keterlaluan.”
“Bu, tenang, Bu … tenang …” Pak Cakra menanggapi situasi adu mulut antara isteri dan anak laki-lakinya dengan santai. Ia duduk bersilang kaki sambil menyeruput the hangat.
“Lho, Bapak ini kok bisa-bisanya tenang begitu. Ini urusan cucu kita, Pak. Urusan masa depannya, lho. Rengganis itu cucu kita. Sam kamu jangan egois ,” sahut Bu Cakra.
Sam menghela napas. Ia berusaha tidak terpancing mendengar protes ibunya yang seakan-akan meremehkan pihak lain. Sam menangkap isyarat dari kakaknya saat mereka bertukar pandang. Ibu mereka memang keras kepala.
Semalam adalah peringatan tujuh hari meninggalnya Heni. Setelah acara pengajian selesai, di depan seluruh keluarganya, Sam menyampaikan keputusannya untuk menitipkan Rengganis, puteri semata wayangnya kepada orang tua Heni. Keputusannya itu disambut dengan gembira oleh pasangan suami-isteri Natawirya. Tetapi tidak demikian dengan ibunya. Dari ekspresinya yang terkejut, Sam tahu ibunya kecewa dengan keputusannya. Hanya demi kesopanan saja, Bu Cakra tidak langsung menumpahkan kemarahannya pada saat itu juga.
“Bu, saya menitipkan Rengganis pada mamih dan papih, bukannya tidak memikirkan masa depan Rengganis. Tapi itu terlalu jauh, Bu. Saat ini yang penting adalah Rengganis bisa mengobati rasa kehilangan ibunya. Dia merasa nyaman tinggal bersama mamih dan papih,” balas Sam dengan nada yang kentara sekali berusaha meredam emosi.
“Jangan ngomong apa-apa lagi sama Ibu, Sam. Kamu sudah berat sebelah, kamu pilih kasih pada mertuamu, sejak kamu memutuskan membawa jenazah Heni untuk dimakamkan di Bandung ini. Kenapa sih kamu, Sam. Ibu nggak ngerti.”
Sam memang mengambil keputusan sepihak ketika memutuskan akan menguburkan Heni dan bayinya di Bandung. Ia berpikir Heni akan senang jika dikuburkan di tanah kelahirannya. Selain itu pertimbangannya untuk memudahkan kedua orang tua Heni, yang pasti sesekali ingin berziarah ke makam anaknya. Kedua mertuanya itu sudah sepuh, jika harus pergi berziarah ke Jakarta, tentu akan sangat merepotkan mereka. Berbeda dengan dirinya yang masih muda, kesehatan baik, dan tenaga yang masih besar, ia bisa kapan saja pergi ke Bandung untuk berziarah tanpa kendala.
“Bu, Heni baru tujuh hari meninggalkan kita. Saya rasa Sam perlu waktu untuk berbenah diri. Kalau dia sudah bisa mengatasi dirinya sendiri, dia sendiri yang akan mengurus Rengganis. Siapa tahu juga ada jodohnya lagi, ya kan, Sam?” Ratih berusaha menengahi ketegangan di antara ibu dan adiknya.
“Aku nggak mikir ke sana, Mbak. Nggak ada yang bakal bisa menggantikan Heni,” cetus Sam dengan nada getir.
“Jangan begitu, Sam, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Kamu jangan menutup diri,” balas Ratih cepat.
“Nggak, Mbak. Aku nggak mau mengganti Heni dengan siapa pun.” Sam berkata dengan yakin. Ibunya mendengkus mendengar ucapan Sam.
“Ratih betul. Sam perlu waktu untuk menenangkan diri. Begitu juga dengan besan kita, Bu. Biarlah cucu kita bersama mereka untuk sementara waktu. Hitung-hitung hiburan juga untuk mereka, Bu. Pengganti anak tunggal mereka yang sudah tiada.” Pak Cakra yang lebih pengertian urun pendapat.
“Itu maksud saya, Bu. Seperti yang dikatakan, Bapak,” ujar Sam pelan.
“Terserah lah. Kalian semua itu nggak memikirkan perasaan Ibu. Ibu sayang pada Rengganis. Ibu nggak mau dia dididik orang lain. Keturunan Cakrawangsa harus mendapatkan pendidikan terbaik.” Ucapan Bu Cakrawangsa tandas, dan Sam tidak tahan lagi.
“Bu, apa Ibu pikir orang tua Heni nggak bisa memberi pendidikan yang baik untuk Rengga? Heni seperti apa? Dia sebaik itu, Ibu juga mengakuinya. Itu hasil pendidikan orang tuanya, kan, Bu?” Sam murka.
“Sudah, Sam … kamu tenang ….” Pak Cakra menengahi keduanya. Jika dibiarkan, bisa-bisa kemarahan mereka berubah menjadi perang yang lebih parah dari Baratayuda.
Sam menyugar rambutnya dengan gelisah. Ia tak menginginkan suasana seperti ini. Sam mendengkus. Bu Cakra bangkit dari pinggir tempat tidur.
“Ayo, Pak, Tih, kita pulang ke Jakarta,” cetus Bu Cakra sambil menarik koper kecil dari atas tempat tidur.
“Bu, kita pamit dulu sama besan tidak?” tanya Pak Cakra.
“Tidak perlu. Kamu saja yang sampaikan pada mereka, Sam,” balas Bu Cakra ketus.
Sam menghela napas sekali lagi. Namun tak urung ia mengangguk juga dengan raut wajah kecut. Hatinya masygul dengan sikap keras ibunya. Ia mengikuti rombongan keluarganya turun ke lobi hotel. Mereka menunggu Ratih menyelesaikan urusan check-out dalam diam.