A Hourglass Story

Wuri
Chapter #1

Secret Life

Siang yang membosankan di pertengahan bulan Maret. 

Lagu dangdut koplo terdengar dari lantai dasar. Memekakkan telinga siapapun yang mendengarnya. Untung saja pak bos tidak ada di kantor, jikapun ada pasti akan marah besar. Karyawan belakangan ini menjadi sangat sensitif akibat tuntutan bos yang sangat besar. Mengingat memang tuntutan dari klien yang semakin bertambah seiring berjalannya waktu. 

“Dafina, ini ada undangan dari verifikasi data dari Dinas untuk pekerjaan pembuatan bendung di daerah X. Kayaknya besok Senin. Minta tolong koordinasi dengan pak Takumi, dan konfirmasi ya bisa atau tidak?”

“Padahal ya aku udah ngerti jawabannya. Hahahaha. Paling kamu lagi, Daf,” 

Pernyataan itu membuat Dafina, sang sekretaris kepanasan. 

Tahun ini, katanya memang gelombang panas menyerang negeri ini. Suhu di kota kecil ini bahkan mencapai 33 derajat celcius. 

Bosnya yang sekarang tidak tahu ada dimana itu malah menambah gelombang panas itu. Menilik pekerjaannya, harusnya Dafina sudah menjadi wakil direktur. Bukan lagi sekretaris. 

Dafina terpaksa mengangguk. 

Tak puas, bapak teknisi itu kembali menambahi pekerjaan, “Sama minta tolong banget dokumen perhitungan RAB untuk pembangunan Talud saluran di daerah Y ditandatangani ya. Udah tiga hari ada di meja pak Takumi. Kamu nggak nyampein ya? Apa harus saya yang tanda tangan?” 

Dafina melenguh jengah, “Pak, tapi kan itu seminggu lagi pak. Itu tendernya 45 hari kan? Dokumennya masih banyak yang kurang pak, beneran,” 

Dafina membentangkan lembar kertas A3 yang berisi gambar bangunan, “Ini as built kenapa cuma kopian yang shop drawing pak? Cuma diganti nama doang. Terus satu lagi pak, ini gambar skemanya salah arah pak. Itu yang potongan A-A itu ada di selatan, bukan di utara. Bentuknya kurang tepat dikit, bukan dikit sih banyak,”

“Itu kebalik pak, itu yang 1,6 meter harusnya yang kanan pak, yang 1,5 yang kiri. Tapi terbalik. Untuk potongan C-C itu panjangnya 9.54 meter ya pak? Bukan 9.45. Lalu yang potongan E-E cuma plester doang pak, nggak pakai cor. Untuk perhitungan excel sampai schedule sudah saya revisi ya pak, sudah pakai ukuran yang bener seperti yang saya katakan tadi. Sudah saya kirim email bapak dan mbak Fatma dua hari yang lalu. Saya mewakili pak Takumi,” Jelas Dafina menjelaskan revisi. Bapak teknisi bertepuk tangan sambil menunjukkan jempol. 

“Tahun depan Dafina wakil direktur!” Teriak bapak Teknisi kegirangan karena pekerjaannya dikerjakan oleh Dafina. Para teknisi dan admin junior lainnya bersorak kegirangan. 

Sudah beberapa kali Dafina mengerjakan pekerjaan mereka. Mereka, khususnya bapak teknisi memang sedikit serampangan. Membuat Dafina yang lulusan administrasi perkantoran mati-matian mempelajari bab teknik. Bahkan ia rela menjadi mandor tukang agar pengerjaan proyek sesuai dengan rencana yang digambar perusahaannya bebarengan dengan pihak dinas. 

“Selamat siang semua. What a hot day,” Sapaan pria sipit yang sedikit cadel itu mengagetkan seisi ruangan yang terlihat seperti sedang menikmati summer vacation. Santai seperti bekerja di perusahaan neneknya. 

“Pak Andri, awas nanti masuk angin,” Sapanya pada pak teknisi yang berdiri di depan kipas angin besar. Pak Andri terkekeh dan langsung kembali ke kursinya, ia cepat-cepat mencetak dokumen supaya pria super sibuk yang barusan menyapanya itu tidak pergi lagi. 

“Kirim ke email saya pak. Saya bantu nge print,” Tawar Dafina yang membuat pak Andri bersemangat dan mengirimkan dokumennya kepada Dafina. Sementara Dafina mencetak dokumen, pak Andri kelabakan mencari map dan pulpen yang sedikit layak. 

“Dafina makasih ya,” Ucapnya, memberikan setumpuk dokumen yang ia cetak. Dafina hanya tersenyum simpul, membatin tentang pak Andri yang sebenarnya terlalu bergantung pada dirinya. Terlebih untuk segala hal yang berurusan dengan pak Takumi, bosnya yang sedikit cadel itu. 

Pelan-pelan, Dafina memasuki ruangan bosnya yang sepertinya sedang mengalami tegangan tinggi itu. Mukanya yang merah menunjukkan semuanya. Tidak biasanya pula  Takumi menumbuhkan jenggot dan kumis tipisnya itu. Dafina juga merasa agak terganggu dengan rambutnya yang dibiarkan mengembang panjang dengan poni belah tengah seperti gaya penyanyi Jepang yang akan mengadakan konser tur Asia pertamanya tiga bulan lagi. Ah, dengan gaya seperti ini, bagaimana mereka tidak merasa bekerja seperti Romusha? Kalau kata pak Andri, bersama dia seperti ada di tahun 1942. Seperti diawasi oleh penjajah. Padahal, Takumi bukan orang Jepang meski katanya mamanya punya darah Jepang. Hari ini, pak andri dan admin-adminnya sudah membatin kumis dan jenggot tipisnya yang membuatnya terlihat sangat berantakan, tampak seumuran dengan pak Andri. Faktanya, Takumi hanya lebih tua setahun dari Dafina, dengan gaya seperti itu ia tampak lebih serampangan daripada pak Andri. Dafina sedikit gemetaran, khawatir jikalau saja Takumi mendengar ejekan pak Andri yang mengatainya ‘Luka Modric’ saking miripnya gaya rambut mereka. Hanya berbeda warna rambut saja. 

Tapi Takumi tidak sejahat itu. Ia terlalu kejam jika dikatakan penjajah. Tapi memang dia sangat perfeksionis. 

“Siang pak, ini dokumen kelengkapan pembangunan Talud daerah Y yang kemarin bapak minta,” Dafina meletakkan map merah itu di meja Takumi. Takumi masih sibuk dengan ponselnya, mengetik sesuatu. Ia malah mengeluh tentang masalah lain, “Tender kita yang 200 juta kemarin terlambat. Kita telat banget ngajuin PHO nya, padahal pekerjaan sudah selesai dua bulan lalu. Alhasil, aku harus urus asuransi khususnya hari itu juga. Kamu tahu kan, tender itu di luar kota?”

“Ditambah lagi yang itu pembangunan Tuk di daerah D. Itu berita acaranya ada yang salah nomor, tahu sendiri kan pihak dinas itu gimana? Denda lagi, ngurus ini lagi itu lagi,”

Dafina hanya mendengarkan. Karena pekerjaan itu belum ada campur tangannya. Takumi membuka-buka pekerjaan yang ada di depannya, “Ini kerjaan kamu kan? Dari hasil print aja udah beda.  Sampai kapan kamu begini? “

“Pak Andri dan timnya gimana sih kerjanya? Mereka tahunya aku nggak tahu ya? Itu adminnya Pak andri ngapain aja?” Takumi menandatangani dokumen tersebut, sementara Dafina hanya terdiam. Ia tahu, Takumi akan memarahinya jika tahu ini semua adalah pekerjaannya. 

“Pokoknya aku nggak mau tahu. Pak Andri dan Fatma harus dikasih SP,”

“Jangan, kasihan mereka mereka sudah sering lembur bikin ini. Ini dateline tender seminggu lagi. Saya mohon, izinkan saya membantu Bapak untuk kali ini saja. Saya kasihan melihat Bapak, pak Andri, dan Fatma kesulitan,” Bantah Dafina hingga membuat Takumi menatapnya dalam. 

Takumi mendekatinya, tanpa permisi memeluknya. “Sayang, sampai kapan? Aku stress tau nggak?” Ucapnya lirih. “Kalau kita lagi berdua, jangan panggil bapak dong,” Pria itu memeluk Dafina semakin erat. Dafina juga, terbilang sudah seminggu ia tak memeluk kekasihnya itu. Rasanya, ia ingin mencium lelaki yang memeluknya ini. Tapi ini di kantor. Bahkan yang orang kantor tahu, Takumi dan Dafina tidak cocok satu sama lain karena Takumi sering bicara dengan nada datar tanpa intonasi pada Dafina. 

“Taki..” Panggil Dafina. “Udah berapa hari kamu nggak tidur hah? Jelek banget mukamu,” Lanjutnya dibalas dengan kekehan lembut Takumi. Keturutan, akhirnya Dafina berhasil mencium pipi Takumi. Pria itu hanya tersenyum mengacak rambut kekasihnya. 

Lihat selengkapnya