Sudah sebulan berlalu.
Hawa masih sangat panas entah mengapa. Hujan jarang sekali turun. Radio di pertengahan tahun ini dipenuhi oleh lagu sendu menyayat hati. Namun, keadaan jauh dari kata sendu. Yang ada amarah pada hati tiap-tiap manusia yang kepanasan dengan keadaan hidup yang sama sekali tak ada peningkatan. Ancaman PHK dimana-mana, ancaman pemutusan kontrak, kontrak budak, kontrak seumur jagung dengan ketiadaan biaya pesangon serta upah kurang layak, dan lain-lain. Sekarang malah muncul berita tentang syarat perpanjangan kontrak yang sangat menjijikkan. Sementara pejabat dan artis hidup dengan bergelimangan harta. Membeli rumah seringan membeli ramen di toko serba ada, menikah dengan gaun seharga rumah plus isinya, serta menyekolahkan anaknya di kampus terbaik, dan jangan lupakan membuat usaha dengan duta merk artis papan atas Korea. Sepertinya tidak selaris itu, namun pemiliknya kok bisa membeli jet pribadi? Darimana? Ah, tidak layak orang biasa tahu. Tugas kita sebagai rakyat jelata hanya menganga hingga keluar air liur sedikit sambil melihat mereka memamerkan hasil dari ‘kerja’ mereka. Dan kerja sebagian dari mereka lebih buruk dari kerja pak Andri dan Fatma.
Gila, apa yang terjadi? Mengapa sangat tidak adil?
Dafina berpikir, sebenarnya sangat beruntung memiliki direktur seperti Takumi. Namun ia mempertaruhkan dirinya dengan mengundurkan diri hanya karena hal sepele. Sesepele menjadi kekasih sang direktur. Namun, keputusannya ternyata tidak sesepele itu, Takumi tak membalas pesannya sebulan ini.
“Kamu dimana?” Pesan itu sudah dikirimkan oleh Dafina sekitar lima belas hari yang lalu. Tetapi tidak dibalas sama sekali.
“Terserah kamu ya kalau ngambek gini. Bilang aja malu punya cewek pengangguran!” Pesan suara bernada sinis itu ia kirimkan lima belas hari setelah pesan teks lembut itu dikirimkan. Ia kemudian memblok akses Takumi untuk menghubunginya.
Walau setetes air matanya keluar sedikit, tetapi ia tak akan sudi sedetikpun memohon Takumi untuk kembali padanya. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak. Meskipun sebenarnya ia tahu, kekasihnya bukan tipe orang yang suka dikejar. Takumi lebih senang mengejar. Ataukah memang dia malu memiliki kekasih yang pengangguran? Berkali-kali hati Dafina menyangkal tuduhan hatinya sendiri. Lagipula, ia memang tak sepenuhnya menganggur. Sama seperti apa yang Takumi katakan, ia memiliki usaha. Faktanya, usaha rahasia milik Dafina ini memang bisa dibilang lebih menguntungkan dari perusahaan kontraktor keluarga Takumi.
Usaha milik Dafina sudah berdiri sekitar sepuluh tahun yang lalu. Tepatnya saat ia masih berusia tujuh belas tahun. Agen travel “Night Dancer” itu namanya. Orang tuanya memang memiliki agen travel di kota ini. Setahun yang lalu, kepemilikan memang diberikan ke Dafina setelah ayahnya mulai mudah lelah untuk mengurusnya. Memang terlihat normal, tetapi agen travel ini juga melayani perjalanan tidak biasa. Tanpa diketahui siapapun, Dafina dengan ajaib menjalankan usaha tidak masuk akal sendirian di minibus biru yang paling tua dari deretan mobil yang dimiliki agen travel itu.
Akan ada kiriman buku harian yang diterimanya sepuluh hari sekali dengan judul yang berbeda dan orang berbeda. Dafina cukup masuk ke dalam minibus biru kunonya pada malam hari pukul 20.00, ia sudah dipastikan mendapat satu buku harian dengan bentuk apapun..
Lalu, siapa pengirim buku itu dan apa yang harus dia lakukan dengan buku harian itu? Tidak tahu siapa pengirim buku itu, hingga sepuluh tahun perjalanan, Dafina tidak tahu siapa pengirim buku tersebut. Yang jelas, tugas Dafina adalah menyelesaikan misi buku tersebut di masa lalu maupun masa depan sesuai dengan tanggal yang tertulis di buku itu. Misi memperbaiki masa lalu yang berantakan dan menjadikannya indah di masa kini.
Dafina cukup mengemudikan minibus birunya untuk dapat berada di linimasa cerita dalam buku itu. Ia akan menjadi Dafina yang baru yang hidup berdampingan dengan si pemilik buku. Ia akan mendampingi si pemilik buku itu dengan telaten dan sabar hingga si pemilik buku bisa memperbaiki masalahnya. Jika misi memperbaiki peristiwa dalam buku itu berhasil, maka akan ada uang dalam bagasi mobilnya sebesar lima kali gajinya di perusahaan kontraktor Takumi.
Malam ini, Dafina masih berada di minibus birunya untuk menunggu buku harian dari tahun berapakah yang datang. Sepuluh hari lalu, buku harian dari tahun 1942 milik seorang pria datang dengan misi membebaskan istri nya yang terjebak dalam perangkap penjajah. Dengan kata lain, wanita yang sangat miskin itu tergiur rayuan penjilat untuk bekerja di ibukota, tetapi ternyata dijadikan wanita penghibur. Dalam buku hariannya, ia sangat merasa menyesal telah membiarkan istrinya bekerja hingga pada akhirnya ia tak bisa bertemu dengan istrinya hingga akhir hayatnya. Misi memang berhasil, si istri memang tidak jadi pergi ke ibu kota untuk bekerja dan tetap hidup dalam kesederhanaan bersama ketiga anaknya. Tetapi tidak ada yang tahu akhir cerita ini, karena Dafina belum menemukan informasi tentang pria itu dan keluarganya di masa kini.
Namun, entah mengapa wajah pria sipit dengan rambut semacam mangkok kusut dan kumis jenggot itu menghantui pikiran Dafina. Malam ini, rasanya ia ingin bertemu saja dengan pria itu, tidak mengambil proyek ini. Matanya terus saja mengawasi layar ponsel yang dari tadi diam tanpa notifikasi apapun. “Kurang ajar kamu. Udah berani bikin aku nggak fokus di segala hal? Udah berani kamu sita pikiranku hanya buat kamu?”
“Dafina,” Pria itu tiba-tiba masuk saja ke mobilnya, menduduki kursi penumpang dan memasang sabuk pengaman. Dafina begitu kaget, harusnya tidak ada yang bisa masuk mobil itu hari ini, pada jam ini, dan ketika dan pada saat misi akan segera dilaksanakan. Namun, mengapa Takumi bisa dan dengan entengnya memanggil namanya sambil memasang sabuk pengaman.
“Ngapain kamu kesini?” Tanyanya sedikit kaget, mencoba menjutekinya.
Takumi meraih tangannya lembut.
“Apa kamu udah bosen sama cewek cantik di kantor? By the way perempuan mana yang bikin kamu ngelupain aku sebulan penuh? Dea, Lita, Cindy, Ira, atau Fatma?” Lanjutnya tanpa menatap kekasihnya itu tetapi tidak pula melepas tangannya. Iya, rindu itu tak dapat ditutupi.
Takumi semakin keras menggenggam tangannya. “Aku minta maaf. Seharusnya aku menghubungimu. Aku ke Thailand sebulan ini. Handphone ku dicopet di kereta,”
“Heleh, gembel. Ke Thailand sama siapa? Terus kalau HP kamu kecopetan kan ya bisa pakai hp mu yang dulu, juga bisa beli kan? Ya, gitu deh emang kalau udah nggak penting lagi,” Rentetan kata-kata tanpa spasi itu terus saja dilayangkan oleh Dafina agar kekasihnya itu sadar apa kesalahannya. Tidak hanya membela diri.
“Coba kamu buka semua medsos kamu. Apa ada inbox dari aku?” Sanggah Takumi yang jengah dengan rentetan kata tak berspasi itu. “Nggak ada cewek lain. Emang ada yang mau sama aku?”
“Banyak! Jangan main gila kamu!” Gumam Dafina. Ia lalu membuka ponselnya yang sebenarnya penuh dengan notifikasi pesan dari Takumi yang tertimbun oleh pesan lain. Mereka berdiam-diaman sekitar lima belas menit, meskipun hati mereka sama-sama menginginkan sebuah percakapan.
“Widih Totoro kamu baru ya?,” Takumi mencoba mencairkan suasana. Ia memegang gantungan mobil action figure berbentuk Totoro yang sedang bermain ayunan itu. Karena posisinya digantung di bawah kaca, ia tak sengaja melihat barang yang ada di kursi penumpang. “Buku apa itu? Perasaan tadi nggak ada?”
Dafina menengok. Sebuah buku merah hardcover bermotif batik ada di kursi penumpang. “TAKI, KELUAR SEKARANG!”
“Oke oke oke. Besok aku kesini lagi!” Ucapnya. Ia hendak membuka pintu, namun tidak bisa. Mobil ini masih mobil keluaran 1990-an, pengemudi tak bisa mengendalikan kunci pintu. Muka Takumi mulai panik, sementara Dafina tak kalah paniknya namun lebih tenang daripada Takumi. Takumi terlihat berdoa agar pintu mobil ini dapat terbuka, “He, jangan fitnah aku mau mesum ya! Ya Tuhan, hamba takut nanti difitnah mesum sama anak orang,”
“Udah, diem disitu aja. Kamu ikut di project aku malam ini. Diem, nggak usah kebanyakan omong!” Dafina mencengkram lengan Takumi yang berkeringat karena panik, ekspresinya lebih terlihat seperti pemain bola yang gagal menendang penalti.
“Gendeng!” Serunya saat Dafina malah mengencangkan sabuk pengamannya dan tertawa keras. Ia tidak menyangka, malam ini ia akan mendapat rekan. Entah kenapa ia bisa terkunci di mobil ini bersama kekasihnya. Oh iya, mobil ini harusnya terbuka setelah misi ini berakhir. Jika tidak berhubungan dengan misi, maka orang tidak akan terkunci di dalamnya. Ekspresi Takumi sekarang sangat tidak enak, wajah memelasnya memasang kuda-kuda perlindungan.
Dafina kemudian keluar, membanting pintu mobil dan mengunci Takumi dari luar “Udah di situ aja!”. Ia manut-manut saja, mengangguk seperti bocah nakal sehabis menangis dijewer ibunya. Setelah buku itu ia bawa ke kursi kemudi. Langkah kedua, ia harus mencermatinya. Tanpa menjelaskan apa-apa pada pria yang pasrah di kursi penumpang itu, Dafina mengajaknya membaca kisah hidup pemilik buku harian merah ini.
“Bai Li Wei,” Takumi membaca tulisan Mandarin yang tertulis pada balik sampulnya.
Mereka membuka lembar buku itu satu per satu. Pada halaman pertama terdapat tiga bunga putri malu kering yang tangkainya diplester. Si Pemilik buku menuliskan sebuah kalimat menggunakan huruf tegak bersambung. “Minara Febriana-1998”
“Bunga putri malu, acapkali ruruh diterpa angin lembut sekalipun,”
“Tak cantik, terlupa, tergilas kaki-kaki durjana,”
“Bungkam oleh rintikan hujan yang tak kunjung berhenti,”
“Hingga akhirnya terlarut, tenggelam, dan terlupakan,”
Bai Li Wei saat menulis buku ini (pada tahun 1998) berusia 16 tahun. Ia memiliki nama Indonesia Minara Febriana. Ia lahir sebagai anak bungsu dari empat bersaudara yang semuanya laki-laki. Dari kecil, mereka selalu menyanjungnya bak perwujudan nyata dari lukisan putri dari dinasti Ming yang tergantung di kamar orang tuanya. Setidaknya itu yang ia dengar dari mulut kakak laki-lakinya. Sepulang sekolah, seperti perempuan lain sebayanya, ia membantu orang tuanya mencuci piring di kedai mie miliknya sendiri. Kedai tersebut masih berskala mikro dengan pendapatan minim, apalagi di tengah krisis yang melanda.
Mina menjelaskan semua keindahan itu dalam bukunya. Dimana ayahnya selalu menyisihkan uang dalam celengan celengan sesuai dengan shio putra putrinya. Ia menuliskan cita-cita putra-putrinya dan ditempel di celengan tersebut. Celengan milik Mina berbentuk ayam. Ia menempelkan sebuah doa harapan berbahasa mandarin yang artinya, “Untuk Putriku yang berharga, Li Wei yang bermimpi menjadi koki. Semoga kau bisa membawa ayam ini hingga puncak kejayaan mu. Teruslah bersabar hingga ayam ini bertelur dan membawa lebih banyak manfaat untukmu,”
Begitupun ketiga kakaknya. Ia mengumpulkan uang dalam celengan yang berbeda pula. Celengan bentuk kambing untuk kakak ketiganya yang bercita-cita menjadi pengusaha supermarket. Naga untuk kakak keduanya yang ingin menjadi pilot, dan harimau untuk kayak pertamanya yang baru merintis karir menjadi atlet bulu tangkis.